lundi 15 juin 2020

Puputan Walanda Tack

Fahrudin Nasrulloh
Suara Merdeka 24/08/2008

TAK disangkal cerita ini terus berseliweran bergeliut sawang tak terkuburkan. Menjelma roh cenayang pencilakan berkabut sengir yang menyelimuti para penggila kronik Kompeni-Keraton Jawa. Ya, pada siang jahanam 8 Februari 1686 di Carta Seora, Kapten Tack dibantai Surapati dan gerombolannya, sehingga Kompeni me-marabi mereka, ”Bandit-bandit berlidah anjing pengumbar darah”. Ini menjadi semacam pagebluk yang menguar nyasar ke mana-mana, melesat deras melebihi dencingan anak panah. Terus bergentayangan dalam sekian wiracarita dan perbantahan para tukang cerita VOC.

Sandiwara Amuk Tergila

Seratan Zan Marstel dalam Puputan Walanda Tack akan menuntun jalan cerita ini: Di gang-gang sekisar kraton; berpusing-pusinganlah Kapten Letnan Greving, Letnan Vonck, dan Letnan Eygel. Bersiaga ketat pun tetaplah liwung batin dan pikiran bule-bule itu. Sebelumnya, Greving terus dibayang-bayangi mimpi terkutuknya. ”Laknat culas orang-orang Jawa ini!” semburnya sambil mengelus-elus gagang pistolnya.

Saat sepagi tadi, tatkala menjemput Tack di jembatan Banyudana, mimpi itu masih saja mengulik benaknya, terasa begitu terang menyergap mripatnya yang cerlang diterpa pijar angkasa. Dengan serak lirih ia melapor, ”Maaf, Surapati lolos, Kapten.”

”Memang Sunan dungu itu tak becus mengatasi anjing gendeng itu. Huch, cuhz!!”

Dan Sindureja utusan Amangkurat II yang menyertai Tack itu, tiada siapa tahu menyelinap pergi dari tempat itu bak ditelan bumi.

Cerita terus merayap menggeremat. O, Roh Kudus, selamatkan kami dari ingatan linglung di kesiur senyap. Juga cakap nglantur melayap-layap. Tack berbisik pada Van Vliet dan Van der Meer, ”Ada hubungan rahasia apa antara Surapati dengan Sri Sunan? Orang-orang licin, pembuat onar, dan aneh. Ah, aku rasa aku mencium bau darahku sendiri. Ganjil ini!”

Van Vliet menoleh. Diam. Menatap sayu jarannya Tack. ”Yang satu serigala alas. Satunya katak kembung yang dikelilingi ular blantotan macan. Kita harus berhati-hati, Kapten! Soal darah, tiap hari kita ini mimpi diguyur darah, bukan!” tukas Van der Meer.

Ahualah, lukisan apa pula yang terboreh di sekujur para prajurit bayaran yang dipasok dari Makassar, Sumenep, dan Bali di bawah perintah Wangsanata, Mangkuyuda, dan Singabarong. Siapa pun mereka, menus-menus berjubah putih dan hitam, berudeng mlipir lancip dengan wajah kecut campur cengar-cengir tapi sekilas memancarkan aroma beku-tawar. Pesona raut yang tak mencerminkan berpihak pada siapa-siapa. Apalah yang dapat disangkakan, mereka ini berpihak pada siapa? Siapa membayar siapa? Siapa dibayar siapa? Hawa hasutan di sana-sini terasa mencangkul pikiran dan hati. Sungguh lacur dibayangkan. Hanya orang yang nyawanya terkucuri getih Kristus yang bisa melihat selubung keberpihakan mereka. Namun riwayat tersebar mencacat mereka-mereka ini berada di pihak Sri Sunan. Tapi apa yang terjadi kemudian, teracunilah si penyimak yang tak pernah terjerumus dalam muslihat riwayat bernanah ini.

Pantaslah ditimbang-timbang. Ditelusur-teliti ulang. Diluruskan kembali dengan cermat-seksama perkara laporan-laporan yang amat membingungkan dari Letnan Anthonie Eygel. Orang ini serdadu payah, kerap mabuk, ingatannya diragukan. Memang ia satu-satunya perwira Belanda yang melarikan diri dari pembantaian di alun-alun itu, setelah disergap keterkejutan akan serdadu-serdadunya yang morat-marit meninggalkan senjata-senjata dan panji-panji. Kita tak ingin wiracarita ini kelak jadi reremah cermin pecah, bukan? Lihat pula rincian korban versi Eygel; serdadu Kompeni tewas: 79. Luka-luka ringan: 29. Luka-luka berat: 41. Prajurit Sri Sunan: 95 (cukuplah semerawut kebenaran angka ini. Sebagian dari mereka adalah orang-orang Bali, Mataram, dan Pasuruan yang bersekongkol dengan Surapati. Juga pendekar bayaran Kompeni, dan sisanya prajurit Sri Sunan sendiri. Siapa satu per satu memihak siapa tiada tahu). Keterangan ini rancu? Eygel tak kunjung memecahkan misteri siapa saja yang berkomplot dengan siapa. Tapi Eygel cuma penulis laporan ecek-ecek. Malangnya, seluruh laporannya dijadikan dokumen penting bagi VOC. Konyol dan amburadul.

Situasi berkabut kekalapan itu alangkah pelik diblejeti. Eygel juga tak memberitakan kekejaman begundal-begundal Surapati seperti Suradenta, Suragenta, Cakrapati dan Barongpati. Tak jeli bahwa empat segawon rimba tersohor ini bengisnya minta ampun. Pengalaman mereka bersabung-tarung dalam laga rampokan macan tak diragukan lagi. Ia luput mencatat peristiwa ini, saat kebiadaban mereka mengoyak-ngoyak mayat Tack yang ditemukan tersungkur tragis dengan 21 luka mengerikan: 5 bacokan parang (2 di pelipis kiri-kanan, 1 di tengkuk, 1 di punggung, dan 1 di tempurung kepala). 1 hujaman kapak di lengan kanan, nyaris putus. 2 tusukan keris di jantung dan lambung. 7 tancapan anak panah yang bersarang di jidat dan hampir di sekujur tubuh. 3 sabetan celurit di paha kiri, dada, dan mulut. 1 sabetan golok di pantat, kotorannya berceceran. 1 tetakan trisula di tangkurnya. 2 gempuran rantai besi di wajah dan pundak kiri. 1 cocoran tombak di mata kanan. Barangkali bukan hanya mereka yang melakukan penistaan ini. Orang-orang Kompeni selalu tergelincir dibayang-bayangi aib mereka sendiri. Betapa tidak, kehormatan pasukan Kompeni harus dijaga, lebih-lebih semisal demi seorang jendral, sebagaimana Jendral Coen atau Si Pitekun atau Si Mur Jangkung yang tewas (atau mati karena sakit?) hanya oleh seorang tamtama Mataram pada 1629 di palagan Batavia.

Dua Kelana Kisah Bertabir Mala

Tampaknya siapa pun yang binasa di Carta Seora kala itu, arwahnya akan senantiasa menyusup dalam puspa wiracarita pada masa mendatang, dari yang terterang sampai yang tersamar. Menjelma jejanin cerita yang berlayapan mengerubung ingatan dan membangkitkan syakwasangka. Dan Ki Brajandalagati memborehkan riwayat tersendiri dalam anggitannya yang berjuluk Sesuluk Surapati. Serat ini, sebelum berkisah dengan pejal dan alot, dibabah dengan sepenggal kidungan:

Sura lelana ing segarani pati
Ageming aji moncering lati
La ilaha byar pet sirna jagat
Illallah byar lhap nggulung wahdat
Getih mili nyurup ing Gusti
Wa ma almautu illa bissyaifi au bighairihi

Bebulu di tengkuk sesengkringan, aliran dedarah bergelegakan. Urat-urat tenggorokan sendut-sendutan. Wajah terpanggang hawa merah, kayak disembur-semburkan geni. Yang menerjang, menyepak, menjegal, menggilas, membacok, meletuskan senapan dan bedil, menikam, menggigit dan menghujami dengan tombak, menusuk, menggejrot kepala yang berkelejat-kelejat sekaratul maut: siapa bercampuh lawan siapa, tak penting lagi serdadu siapa. Lebih cepat darah tersimbah lebih baik. Disebabkan serdadu brengsek macam ini, lama dipasti setamsil kecoa digilas ratusan sepatu besi. Kongkalikong! Asu-lah mereka berbuntut buntung. Mati pun, tak sesiapa menangguk untung.

Apa yang mengawang-awang, yang berliuk-liukan di masjid keraton. Menyala-nyalalah lebat api bebakaran. Mampus ditebus mampus. Ajal dibayar ajal. Popor dipatahkan. Panji-panji disuwek diludahi. Pedang dibengkungkan. Tumbak dicuklekkan. Lihat pula bebangkai serdadu Tack: Letnan Greving dan Sersan Samuel Maurits: rubuh diinjak-injak ternistakan. Arwah mereka berjengkelitan menjerit-jerit diperebutkan malaikat buta dan iblis pincang. Juga 25 pengawal mereka bermandi darah di undakan teras kraton. Menyaksikan itu; gemuruh tubuh Eygel, Vonck, dan Van der Meer bak dikencingi demit gundul dan gendruwo, gatal-panas audzubillah, sebelum Tack nongol dan mripatnya bak tercomplong carang lantas memancarkan cahaya beringas kesumat. Munclak-munclaklah ia. Tapi pancen ia serdadu sejati, tak mlungker nyali. Ia sebar perintah dan taktik rapi-apik sehingga gerombolan Surapati keteter terdesak menghambur ke dalem keraton. Kala itulah, siapa menusuk siapa: jadi kisah indah-nyeri demi dibabar-wartakan ke anak-cucu di tlatah Jawa ini….

Tack ini orangnya waspada benar, tapi kesombongannya bikin gatal hidung. Terasalah ia merogoh diri bakal binasa. Betapa terbaca, ketika ia menggerakkan perwira Herfts bersama 57 prajurit dan 11 pucuk meriam untuk berjaga-jaga di gerbang keraton. ”Awasi juga gerak-gerik Sri Sunan! Penipu licik dan penakut itu bisa-bisa menghasut siapa saja. Dasar munyuk gundhul! Cepatlah kau disambar gledek!” pekik cerca Tack di hadapan serdadu-serdadunya.

Lalu 150 serdadu dijejerkan Tack di loji di bawah komando Kapten Leeman.

”Surapati dan gudel-gudel Bali itu tak bakal bertahan lama. Begitu melihat aku datang, mereka pasti lari kecirit-cirit,” desis Tack, serentak disambut bahak terpingkal-pingkal para prajuritnya.

Demi mata maut tersangit, kesombongan niscaya tergelincir.

Sekonyong-konyong Tack disentakkan oleh laporan Adipati Urawan dan Adipati Jepara soal berandal-berandal Surapati lain yang berhuru-hara membakari rerumah di sebelah timur keraton. Lantaran terlalu berapi-api menumpas para pengacau itu — dan sebab itu perhitungannya tercecer — Tack memerintahkan Letnan Eygel dengan 6 prajurit meluncur ke tempat kejadian. Terkecoh ia. Di sana, alah acuih, tak ada siapa-siapa. Hanya kobaran geni jejilatan menerbangkan lelatu kayu yang mulai bergedebrukan ambruk.

Pasukan Surapati yang terkepung di keraton terpaksa merapat berlindung di belakang tembok istana dan rumah-rumah yang sebagian telah kobong. Mangkuyuda, Singabarong, Surenglelana, dan Suradenta menyusup ke kandang macan. Entah merancang kelicikan apa. Sementara di alun-alun, asap tebal mengabut, menggeliut-geliut, kian merusakkan segala mata yang kalap dan kalut. Lamat-lamat terdengar ada yang menggeremat di kuping, tak tahu dari mana: gendingan Banyu Getih mengalun menggebah wewulu kuduk dan mendidihkan air kencing. Surapati yang tiba-tiba didampingi Singabarong dan Mangkuyuda bersungut-sungut bersiaga dengan senjata terhunus.

Ujug-ujug terdengarlah pekik tempik orang-orang Surapati ”Babat, amuk, babat!”

Serupa macan-macan kesurupan mereka merangsek pasukan Tack. Cacah mereka memang tak begitu banyak. Lantaran teriakan itu bak dihantui geram kesumat, welahwelah, seolah mereka disorong ribuan arwah pencucup ubun-ubun yang ngedan menceleng-buta. Pertarungan bengispun tak terelakkan. Dentingan pedang dan bayonet beradu berpercikan. Bedil dan senapan dibuang. Siapa yang terbrutal itulah yang selamat. Saat kudus seperti ini, nyawa tak lebih sedebrus kentut. Dan musuh harus ditebas-babat bagai anjing pesakitan.

Melihat 12 prajuritnya bergelimpangan, Tack mundur. Menoleh-noleh kanan-kiri-belakang. Berkali-kali. Sedikit gentar. Tapi pijar sorotnya tetap mencorong menantang maut. Bedilnya di tangan kirinya masih mengepulkan asap. Sempat terhirup olehnya dan terasa menyesakkan dada. Seolah ia ingin menyesap kekuatan nyawa-nyawa yang bertumbangan di hadapannya. Pikirannya menembus kekelaman terjahat dan berkejar-kejaran dengan seabrek musuh yang pernah ditumpasnya. Tak jauh darinya, Surapati melesat gesit. Jarak antara keduanya hanya lima tombak. Dua serdadu Tack yang tersisa coba menghalanginya, menghunus dengan sangkur siap tujes. Seketika batang leher mereka ditebang dalam dua gebrakan mahakilat. Surapati mendesis bak ular weling, matanya mecicil ke arah Tack sambil misuh-misuh ia menjilati darah dua korbannya yang menciprati pipi dan mulutnya.

”Kapiten, apakah sira masih bertakabur diri bahwa kami cuma anjing-anjing kumuh yang ciut nyali melabrak bedil, senapan, dan meriam Kompeni? Billahi ingsun bersumpah, riwayat sira kelak akan dicibir menjelma aib lantaran sira mampus di tangan si bandit Surapati. Ya, bajingan kroco kayak ingsun ini. Terbangkanlah jiwa piatu sira, Kapiten!! Sebelum jadi mayat, apa kalimat terakhir sira untuk dikenang di alam baka?”

”Demi tetesan darah Kristus yang tiada surut memancarkan belas kasih di Bukit Golgota, kita akan berlaga lagi di neraka, Surapati!!”

Dengan sigap Tack mencelat menunggang jaran setonya. Menerjang Surapati dengan beringas. Pedang panjangnya dikibas-kibaskannya ke jantung Surapati. Surapati berguling-gulingan di antara mayat-mayat yang berserakan. Ia terkekeh-kekeh berteriak, ”Pertarungan macam apa ini, Tack? Babi kepet pengecut!! Ayo turun! Serdadu sejati lawan begundal kelas teri!!”

Tack tak menggubris. Sekali lagi dengan kecepatan tinggi ia mengentak-entak turangganya sembari memutar-mutar pedangnya di atas kepalanya. Kali ini Tack menghimpun kekuatan penuh. Bersijurus membabatnya bersama gebrakan si jaran. Dalam jarak dua puluhan tombak, Surapati tetap saja berdiri tegap. Ia melolos keris dari warangkanya. Sedang tangan kanannya masih tetap menggenggam pedang. Ia pun menghambur berlari bak digebuk hantu. Membungkukkan tubuhnya lalu menggelesor ke tanah hendak menyambar Tack dari arah kiri. Brass, cress, tang ting tang!! Campuh timpuk bersabetan. Serangan Tack luput. Tapi pedang Surapati sempat menggeres dengkul kanannya. Ia terjatuh tak jauh dari jarannya. Tack meringis getir melihat dengkulnya mengucur darah. Segera ia bangun dan memungut pedangnya yang terpental. Namun sebelum Tack menapakkan kakinya pada sanggurdi jarannya, Surapati yang lebih dulu bangkit melihat peluang ini dan tanpa cas-cis-cus secepat kera gila menyerang Tack dalam jarak tiga tombak.

Andai Tack sempat melihat gerak ngedan Surapati itu, ia mungkin bisa menangkis serangannya. Namun gerakan Surapati melebihi sengal napas Tack. Ia menyogrok leher Tack dengan kerisnya hingga tembus. Mencabutnya kembali. Getih pun bermancuran. Tenggorokannya seperti dihajar bara baja. Tack menyumbat muncratan di lehernya dengan tangan kirinya yang tergetar hebat. Mripatnya berkerjap-kerjap melotot-lotot memercikkan serapah keji yang tak kuasa dibalasnya. Ia terhuyung-huyung limbung. Pedang di tangan kanannya masih disabet-sabetkan ke arah Surapati sebelum ia tersungkur. Saat ajalnya meregang sekarat, ia memandang aroma bangsat raut Surapati yang menjilat-jilati kerisnya yang berleleran darah itu.

Lalu segerombol orang berbaju putih, hitam keklawu-klawuan, dumadakan bermuntahan datang berteriak-teriak bengis dan secara sadis mencocori Tack hingga ia lepas ajal dengan 27 luka mengerikan di sekujur tubuhnya.

Pertempuran brutal dan bersawang teka-teki itu (atau tepatnya mungkin kerusuhan terbejat?) mengakibatkan 68 prajurit Kompeni tumpas. 1 raib. Dan 12 lainnya terluka tapi sempat terselamatkan ke tempat lebih aman. Sementara 40 prajurit Surapati tewas. 20 sekarat. 15 kabur lalu mati dan dikubur di bengawan Sala.

Hanya kematian bersimbah lukalah berbanjir getihlah yang diganjar takzim nan kutukan sekaligus pepletikan api yang dikuduskan Ilahi di palagan alun-alun Carta Seora itu. Jangan nyana lelara dua kelana ini tak bersawan nelangsa sepanjang masa. Tapi aduhai ngilu-pukau bergayut dahsyat cecabang kisah mereka hingga kuasa menerbangkan bebunga khayalan siapa saja.


*)Padepokan Lembah Pring Jombang, 2006-2008

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria