Pudyo Saptono
suarakarya-onlineGedung serba guna di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, pekan lalu, menjadi saksi kepiawaian Amien Kamil, seorang penyair, aktor, sekaligus perupa dalam menghidupkan belasan puisi yang dibacakannya secara ekspresif dan menghibur masyarakat sastra Kota Lunpia ini. Amien Kamil, yang buku puisinya Tamsil Tubuh Terbelah masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award 2007-2008, memperlihatkan kelasnya sebagai aktor dan pembaca puisi andal Tanah Air.
Penyair kelahiran Jakarta, tahun 1963, ini merupakan seorang profesional tulen. Dengan rambut gimbal yang ditutup topi rasta rajutan rotan, Amien menunjukkan bahwa tampil tanpa euforia penonton, tanpa lampu panggung standar, dan tanpa setting memadai bukan masalah baginya. Kebanyakan puisi yang dibacakannya malam itu berasal dari buku pertamanya, Tamsil Tubuh Terbelah, dan sisanya adalah beberapa puisi baru yang direncanakan untuk bukunya yang kedua. Semuanya memang bukan sekadar pembacaan puisi biasa. Amien memenuhinya dengan intonasi, diksi, irama, serta artikulasi vokal sekaligus ekspresi tubuh.
Berbicara tentang dunia imajiner ketika "Membaca Tanda-tanda", berdiskusi tentang Bertold Brecht dalam "Pernah Sekali Waktu", atau mengajak jalan-jalan ke "New York Postcard Lusuh Berdebu". Totalitasnya juga ditandai dengan penciptaan suasana melalui bunyi dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Di hadapannya seolah semua benda adalah alat musik. Hentakan kaki pada papan, jentikan jari, desahan napas, dan bunyi dari telepon genggamnya menjadi pengiring pembacaan puisi yang cukup mampu menghantarkan pendengar pada dunia yang diinginkannya itu.
Berbicara tentang dunia imajiner ketika "Membaca Tanda-tanda", berdiskusi tentang Bertold Brecht dalam "Pernah Sekali Waktu", atau mengajak jalan-jalan ke "New York Postcard Lusuh Berdebu". Totalitasnya juga ditandai dengan penciptaan suasana melalui bunyi dari benda-benda yang ada di sekitarnya. Di hadapannya seolah semua benda adalah alat musik. Hentakan kaki pada papan, jentikan jari, desahan napas, dan bunyi dari telepon genggamnya menjadi pengiring pembacaan puisi yang cukup mampu menghantarkan pendengar pada dunia yang diinginkannya itu.
Aucun commentaire:
Publier un commentaire