Judul Buku: Tangan untuk Utik
Penulis: Bamby Cahyadi
Penerbit: Koekoesan
Tebal: 133 halaman
Cetakan pertama, Oktober 2009
Cerita-cerita pendek, cerita-cerita yang kita baca tidak lebih dari setengah jam, cerita-cerita di halaman seni atau budaya koran-koran Minggu, atau di tengah-tengah sebuah majalah atau tabloid, selalu saja memiliki peminat. Ruang-ruang yang ada di media cetak itu, yang diisi berbagai cerpen dari berbagai penulis, telah menghasilkan beberapa pendatang atau cerpenis baru.
Bamby Cahyadi dalam buku Tangan untuk Utik menyajikan 14 cerita yang hadir dari perjalanannya sebagai cerpenis sejak tahun 2007. Bamby adalah sosok pengarang yang bergerak bersama arus zaman. Karya-karyanya, sebelum mendapat sambutan luas di berbagai media cetak, telah tersebar di berbagai publikasi dunia maya (internet). Lewat dunia maya inilah ia mengasah kemampuannya menulis: dari tiap pujian dan kritik yang diterimanya.
Buku Tangan untuk Utik diawali dengan sebuah cerpen yang sangat dramatik berjudul Karyawan Tua. Dalam cerpen ini kita awalnya disuguhi cerita tentang suasana kerja perkantoran yang moderen, dan keakraban dua orang beda generasi yang terbina spontan dan wajar. Namun, tokoh utama yang dikisahkan dalam cerita itu -- yaitu seorang karyawan tua yang tampak selalu rapi dan mengundang hormat -- pada akhir cerita mengalami liukan dan gejolak yang drastis. Karyawan tua itu ternyata memiliki hidup yang muram dan sepi, di balik setiap pesona yang mampu membuat siapa pun terpikat kepadanya.
Liukan di bagian akhir inilah yang tampaknya menjadi ciri khas Bamby Cahyadi dalam cerpen-cerpennya. Ia mengangkat berbagai tema yang berbeda dalam tiap cerpen, namun balutan yang khas dalam cerpen-cerpennya adalah alur cerita yang meliuk tajam di bagian akhir. Liukan-liukan itu nyaman diikuti oleh pembaca karena jalan cerita yang dibangun Bamby selalu menghadirkan suspense yang mulus: merangsang kita agar cerpen-cerpennya terus dan terus diikuti. Selain itu, salah satu andalan penulis muda ini dalam membangun jalan ceritanya adalah renungan yang mendalam dan konflik dalam batin si pencerita.
Tangan untuk Utik, cerpen yang dijadikan judul bagi kumpulan cerpen ini, rasanya amat tepat mewakili kemahiran Bamby dalam menyuguhkan cerita-cerita yang sarat renungan. Di sini dikisahkan tentang Didin yang sejak masa kecilnya selalu kasihan pada Utik yang lahir cacat tanpa sepasang lengan. Adegan-adegan yang dikisahkan dalam cerita tentang bagaimana Didin -- yang dalam cerita ini menjadi si pencerita -- berusaha memberikan sebuah tangannya, atau bahkan kedua tangannya bagi Utik, benar-benar lahir dari imajinasi yang liar namun manis. Kita disuguhi kisah kasih tulus tanpa pamrih sepasang anak kecil yang kerap tertawa riang dalam persahabatan mereka, namun seorang di antaranya -- yakni Didin -- selalu terganjal dan terganggu dengan sahabat tersayangnya yang tak memiliki sepasang lengan.
Hampir semua cerpen yang dibuat Bamby menghadirkan imajinasi yang muram, namun bervariasi. Sebuah cerpen dengan solilukui (percakapan dengan diri sendiri) yang panjang ada pada cerpen berjudul Rencana Bunuh Diri. Cerpen dengan tema nasionalisme yang kental adalah Bendera itu Tidak Berkibar di Sini. Cerpen Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku dan Percakapan dengan Bayi menghadirkan renungan yang dalam tentang perjalanan waktu dalam hidup manusia.
Kasih dan pengabdian pada orang tua dikisahkan begitu liris pada cerpen Tameng untuk Ayah dan Hadiah untuk Ibu. Sebuah perbuatan tak senonoh yang kecil namun berdampak fatal dikisahkan dalam Menemui Ujang. Asmara yang kelewatan dan sedikit terkesan vulgar ada pada cerpen Tato. Cerpen yang amat imajinatif dengan awal yang sederhana dan berlanjut dengan renungan yang universal adalah Mimpi dalam Stoples Kaca.
Setelah Tangan untuk Utik, cerpen Halte dan Koran Minggu adalah dua buah cerpen yang sangat kuat menggugah kesadaran batin pembaca akan hakikat hidup manusia. Dalam Halte, rasa ingin tahu kita dipancing terus: Mengapa sang ayah yang uzur dalam cerita ini selalu menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting? Dalam Koran Minggu kita akan bersimpati pada sebuah keluarga kecil yang berkepala keluarga seorang pengangguran. Si pengangguran ini kemudian berupaya menulis cerita, dan mengirimkannya ke berbagai koran di hari Minggu yang menyediakan ruang untuk publikasi cerpen. Alur yang dibuat bercabang di bagian akhir dalam cerpen ini diakhiri dengan manis oleh Bamby. Cerpen ini menjadi cerpen penutup di buku ini.
Dalam pengantarnya yang cukup panjang terhadap buku kumpulan cerpen ini, sastrawan Hudan Hidayat menyatakan: "Manusia memang kenyataan, tapi kenyataan itu sampai kepada kita melalui kenangan. Melalui representasi dirinya sampai ke dalam kesadaran kita yang menyadari."
Pernyataan Hudan Hidayat amat relevan dengan apa yang pernah dinyatakan R.Z. Sheppard, seorang kontributor majalah Time, ketika berkata tentang cerpen: "The short story is like an old friend who calls whenever he is in town. We are happy to hear from it; we casually fan the embers of past intimacies, and buy it lunch."
Ya, cerpen-cerpen Bamby membangkitkan suatu kesadaran akan berbagai sisi kehidupan manusia yang mirip dengan apa yang pernah kita alami. Bamby Cahyadi mengajak kita untuk berimajinasi dengan cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpennya hadir seperti seorang teman lama. Itulah yang membuatnya berhasil menyapa sidang pembaca, ketika satu demi satu cerpen hadir dan terbungkus dalam berbagai latar belakang, tokoh dan tema.
Ada sesuatu yang -- walaupun hampir selalu tersaji imajinatif -- dekat dengan kita dalam cerpen-cerpennya. Rasa-rasanya, apa yang ada di cerpen itu pernah kita alami, sebutlah sebagai -- meminjam kutipan tadi -- "the embers of past intimacies" (kehangatan dari keintiman-keintiman di masa lalu). Dari sinilah kita dibuat terjaga, mengenang, merenung, dan kemudian menghargai lagi: kehidupan yang terus bergerak dan pelajaran penting dari masa lalu yang terbentang.
***
https://sastra-indonesia.com/2020/12/berimajinasi-bersama-bamby-cahyadi/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire