vendredi 11 décembre 2020

Berimajinasi Bersama Bamby Cahyadi

Peresensi: Sidik Nugroho
Judul Buku: Tangan untuk Utik
Penulis: Bamby Cahyadi
Penerbit: Koekoesan
Tebal: 133 halaman
Cetakan pertama, Oktober 2009
 
Cerita-cerita pendek, cerita-cerita yang kita baca tidak lebih dari setengah jam, cerita-cerita di halaman seni atau budaya koran-koran Minggu, atau di tengah-tengah sebuah majalah atau tabloid, selalu saja memiliki peminat. Ruang-ruang yang ada di media cetak itu, yang diisi berbagai cerpen dari berbagai penulis, telah menghasilkan beberapa pendatang atau cerpenis baru.
 
Bamby Cahyadi dalam buku Tangan untuk Utik menyajikan 14 cerita yang hadir dari perjalanannya sebagai cerpenis sejak tahun 2007. Bamby adalah sosok pengarang yang bergerak bersama arus zaman. Karya-karyanya, sebelum mendapat sambutan luas di berbagai media cetak, telah tersebar di berbagai publikasi dunia maya (internet). Lewat dunia maya inilah ia mengasah kemampuannya menulis: dari tiap pujian dan kritik yang diterimanya.
 
Buku Tangan untuk Utik diawali dengan sebuah cerpen yang sangat dramatik berjudul Karyawan Tua. Dalam cerpen ini kita awalnya disuguhi cerita tentang suasana kerja perkantoran yang moderen, dan keakraban dua orang beda generasi yang terbina spontan dan wajar. Namun, tokoh utama yang dikisahkan dalam cerita itu -- yaitu seorang karyawan tua yang tampak selalu rapi dan mengundang hormat -- pada akhir cerita mengalami liukan dan gejolak yang drastis. Karyawan tua itu ternyata memiliki hidup yang muram dan sepi, di balik setiap pesona yang mampu membuat siapa pun terpikat kepadanya.
 
Liukan di bagian akhir inilah yang tampaknya menjadi ciri khas Bamby Cahyadi dalam cerpen-cerpennya. Ia mengangkat berbagai tema yang berbeda dalam tiap cerpen, namun balutan yang khas dalam cerpen-cerpennya adalah alur cerita yang meliuk tajam di bagian akhir. Liukan-liukan itu nyaman diikuti oleh pembaca karena jalan cerita yang dibangun Bamby selalu menghadirkan suspense yang mulus: merangsang kita agar cerpen-cerpennya terus dan terus diikuti. Selain itu, salah satu andalan penulis muda ini dalam membangun jalan ceritanya adalah renungan yang mendalam dan konflik dalam batin si pencerita.
 
Tangan untuk Utik, cerpen yang dijadikan judul bagi kumpulan cerpen ini, rasanya amat tepat mewakili kemahiran Bamby dalam menyuguhkan cerita-cerita yang sarat renungan. Di sini dikisahkan tentang Didin yang sejak masa kecilnya selalu kasihan pada Utik yang lahir cacat tanpa sepasang lengan. Adegan-adegan yang dikisahkan dalam cerita tentang bagaimana Didin -- yang dalam cerita ini menjadi si pencerita -- berusaha memberikan sebuah tangannya, atau bahkan kedua tangannya bagi Utik, benar-benar lahir dari imajinasi yang liar namun manis. Kita disuguhi kisah kasih tulus tanpa pamrih sepasang anak kecil yang kerap tertawa riang dalam persahabatan mereka, namun seorang di antaranya -- yakni Didin -- selalu terganjal dan terganggu dengan sahabat tersayangnya yang tak memiliki sepasang lengan.
 
Hampir semua cerpen yang dibuat Bamby menghadirkan imajinasi yang muram, namun bervariasi. Sebuah cerpen dengan solilukui (percakapan dengan diri sendiri) yang panjang ada pada cerpen berjudul Rencana Bunuh Diri. Cerpen dengan tema nasionalisme yang kental adalah Bendera itu Tidak Berkibar di Sini. Cerpen Tuhan, Jangan Rusak Televisi Ibuku dan Percakapan dengan Bayi menghadirkan renungan yang dalam tentang perjalanan waktu dalam hidup manusia.
 
Kasih dan pengabdian pada orang tua dikisahkan begitu liris pada cerpen Tameng untuk Ayah dan Hadiah untuk Ibu. Sebuah perbuatan tak senonoh yang kecil namun berdampak fatal dikisahkan dalam Menemui Ujang. Asmara yang kelewatan dan sedikit terkesan vulgar ada pada cerpen Tato. Cerpen yang amat imajinatif dengan awal yang sederhana dan berlanjut dengan renungan yang universal adalah Mimpi dalam Stoples Kaca.
 
Setelah Tangan untuk Utik, cerpen Halte dan Koran Minggu adalah dua buah cerpen yang sangat kuat menggugah kesadaran batin pembaca akan hakikat hidup manusia. Dalam Halte, rasa ingin tahu kita dipancing terus: Mengapa sang ayah yang uzur dalam cerita ini selalu menganggap halte sebagai sebuah tempat yang penting? Dalam Koran Minggu kita akan bersimpati pada sebuah keluarga kecil yang berkepala keluarga seorang pengangguran. Si pengangguran ini kemudian berupaya menulis cerita, dan mengirimkannya ke berbagai koran di hari Minggu yang menyediakan ruang untuk publikasi cerpen. Alur yang dibuat bercabang di bagian akhir dalam cerpen ini diakhiri dengan manis oleh Bamby. Cerpen ini menjadi cerpen penutup di buku ini.
 
Dalam pengantarnya yang cukup panjang terhadap buku kumpulan cerpen ini, sastrawan Hudan Hidayat menyatakan: "Manusia memang kenyataan, tapi kenyataan itu sampai kepada kita melalui kenangan. Melalui representasi dirinya sampai ke dalam kesadaran kita yang menyadari."
 
Pernyataan Hudan Hidayat amat relevan dengan apa yang pernah dinyatakan R.Z. Sheppard, seorang kontributor majalah Time, ketika berkata tentang cerpen: "The short story is like an old friend who calls whenever he is in town. We are happy to hear from it; we casually fan the embers of past intimacies, and buy it lunch."
 
Ya, cerpen-cerpen Bamby membangkitkan suatu kesadaran akan berbagai sisi kehidupan manusia yang mirip dengan apa yang pernah kita alami. Bamby Cahyadi mengajak kita untuk berimajinasi dengan cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpennya hadir seperti seorang teman lama. Itulah yang membuatnya berhasil menyapa sidang pembaca, ketika satu demi satu cerpen hadir dan terbungkus dalam berbagai latar belakang, tokoh dan tema.
 
Ada sesuatu yang -- walaupun hampir selalu tersaji imajinatif -- dekat dengan kita dalam cerpen-cerpennya. Rasa-rasanya, apa yang ada di cerpen itu pernah kita alami, sebutlah sebagai -- meminjam kutipan tadi -- "the embers of past intimacies" (kehangatan dari keintiman-keintiman di masa lalu). Dari sinilah kita dibuat terjaga, mengenang, merenung, dan kemudian menghargai lagi: kehidupan yang terus bergerak dan pelajaran penting dari masa lalu yang terbentang.
***
 
https://sastra-indonesia.com/2020/12/berimajinasi-bersama-bamby-cahyadi/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria