mardi 29 décembre 2020

Iman Budhi Santosa (IBS) dan Kami

Sohifur Ridho’i

Radar Madura, 20 Des 2020
 
Acap saya mendengar sebuah lelucon di kalangan sastrawan di Jogjakarta ketika mempercakapkan tentang puisi dan/atau penyair Madura. Misalnya, ”kalau kamu nyebrang dari Surabaya ke Madura, pulang-pulangnya kamu sudah jadi penyair.” Atau, ”di Madura, kalau kamu lempar batu ke atas, ketika turun batu itu sudah jadi penyair.” Misalnya lagi, ”jangan kelamaan parkir motor di UIN, nanti motormu jadi penyair.”
 
UIN Sunan Kalijaga, mungkin nyaris semua orang tahu, adalah kampus tujuan sebagian besar orang Madura yang ingin kuliah di Jogjakarta. Sebab, di sana banyak karib dari kampung halaman dan, terutama, biayanya murah bagi keluarga petani seperti kami.
 
Lelucon itu bertumpu pada situasi di mana Jogjakarta adalah salah satu kota yang ditinggali banyak penulis. Di antara sekian banyak penulis yang menghidupi dan memberi makna pada kota ini, beberapa berasal dari Madura. Pendeknya, lelucon di atas terhubung dengan kenyataan di lapangan, seperti yang digambarkan lelucon ini: ”di Jogja, penyair itu kayak tambal ban, hampir di setiap tikungan ada (penyairnya).”
 
Tentu saja saya tidak tahu asal muasal lelucon tersebut. Namun, seperti banyaknya riwayat lelucon di banyak tempat, kebanyakan hadir dengan cara anonim, alias tidak diketahui dengan jelas siapa yang mengarangnya kali pertama. Demikianlah lelucon tentang Madura di lingkungan sastra Jogjakarta telah menjadi milik umum. Dan sebagaimana lelucon, saya sebagai orang Madura menimpalinya dengan tersenyum tipis atau tertawa. Setidaknya, bagi saya, dengan lelucon itu, para sastrawan Madura dianggap menjadi bagian dari trajektori sastra (di) Jogjakarta.
 
Kabar Duka dan Puisi
 
Saya mengingat sejumlah lelucon di atas beberapa jam sehabis mendengar kabar duka tentang penyair yang saya hormati. Demi menghibur diri karena diliputi kesedihan, saya membaca puisi ini: sehabis kututup pintu dan terdiam, sesaat/ tampaklah diriku, ada/ di mana-mana/ di setiap benda.
 
Petikan puisi bertitimangsa 1969 tersebut ditulis oleh Iman Budhi Santosa (IBS). Puisi yang terkumpul dalam buku puisi tunggal Dunia Semata Wayang (2005) karya IBS tersebut adalah puisi yang saya baca di suatu pagi menjelang siang yang panas, pada almanak 10 Desember 2020, sehabis saya membaca berita duka tentang penyair kelahiran Magetan, 28 Maret 1948, itu di dinding Facebook.
 
Saya terdiam dan membatin, betapa kaya sumbangan IBS, bukan hanya bagi kehidupan sastra di Jogjakarta khususnya, tetapi juga bagi orang-orang yang mengenal dan membaca sajaknya. Tentu saja yang disebut ”sumbangan” itu bukanlah sesuatu yang material, melainkan pengetahuan tentang puisi dan makna hidup menjadi manusia. Nama beliau penting bukan hanya sebagai penyair, tapi juga sebagai guru yang tuturannya bagai sumber air di terik siang. Karena itu, sikap hormat para teman-teman muda kepada beliau ditunjukkan dengan memanggilnya ”Romo Iman.”
 
Saya mengetik ”puisi Iman Budhi Santosa” di laman Google yang kemudian membawa saya pada puisi berjudul Sehabis Kututup Pintu di atas. Betul, beliau ada di mana-mana, termasuk di hati dan pikiran saya.
 
IBS dan Sastra Madura
 
Dalam mengenang IBS, kita bisa masuk melalui kisah Malioboro sebagai situs perjumpaan bagi anggota komunitas Persada Studi Klub (PSK) pada 1960-an, tempat IBS muda dan penyair-penyair seangkatannya belajar kepada sosok teladan Umbu Landu Paranggi, atau melalui percakapan-percakapan kecil di depan pintu kamar kos beliau ketika malam belum matang benar, di dekat naungan pohon sawo, Jalan Dipokusuman, Mergangsan, Kota Jogjakarta. Tapi, saya ingin mengenang beliau melalui sumbangan pikirannya mengenai ekosistem puisi di lingkungan penyair-penyair Madura yang sedang atau sementara menempuh hidup-belajar di Jogjakarta.
 
Tiga hari setelah IBS berpulang, penyair dan pendiri Arsip Puisi Penyair Madura Indonesia (APPMI) Selendang Sulaiman menulis kesaksian di dinding Facebook-nya: ”tanpa Pak Iman Budhi Santosa, APPMI tidak ada. Sebab, dari Pak Iman lah pemantik ide keberadaan APPMI.” Kalimat Selendang telah saya sunting seperlunya. Pada paragraf selanjutnya, Selendang menulis tuturan IBS secara verbatim: ”ini adalah masa di mana ada banyak anak Madura yang kuliah di Jogja menekuni dunia sastra. Banyak sekali. Tidak pernah terjadi sebelumnya selama saya tinggal di Jogja. Bisa jadi tak lagi terulang di masa mendatang. Ini penting. Harus dicatat. Harus ditulis. Ini fenomena. Harus ada yang mencatat. Bisa dikatakan, kalau di setiap sudut Jogja ada penyair, maka di setiap sudut itu pasti ada orang Madura.”
 
Tuturan tersebut bersandar pada kenyataan bahwa pada periode 2000-an ekosistem sastra di Jogjakarta turut diramaikan oleh kehadiran penulis-penulis dari Madura, yang jumlahnya mungkin lusinan. Tapi, tulisan ini tidak ingin berpokok pada kuantitas sebagai makna. Namun, sebagai ilustrasi kecil, bukalah buku Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014) terbitan Pesan Trend Budaya Ilmu Giri yang berisi 90 nama penyair Jogja dari berbagai generasi. Buku yang disusun oleh IBS dan Mustofa W. Hasyim itu memasukkan 10 penyair Madura yang semuanya datang dari generasi 2000-an. Tentu itu nama sebagian kecil dari seluruh penyair Madura yang mukim di Jogja.
 
Apabila Anda menginginkan informasi yang lebih detail lagi, mintalah kepada penghayat arsip Muhidin M. Dahlan dari Indonesia Boekoe untuk menuturkan kerja ’sensus penyair’ yang ia lakukan empat tahun silam. Gus Muhidin membacakan hasil sensusnya di malam yang tenang pada 24 Desember 2016, di hadapan penghikmat sastra Jogja dalam acara Pesta Puisi Akhir Tahun yang dihelat oleh Studio Pertunjukan Sastra di Amphiteater, Taman Budaya Yogyakarta.
 
Jika Anda masih menginginkan data yang lebih spesifik lagi, maka berkunjunglah ke laman arsippuisipenyairmadura.com dan silakan tenggelam dalam lautan kata dan data. Dan Anda akan memahami betapa pikiran IBS tentang perlunya upaya pencatatan sebagai penandaan bahwa ada satu periode di mana penyair-penyair Madura turut memberi warna dalam sastra di Jogjakarta bukanlah pernyataan untuk menghibur para penyair Madura yang acap bersibuk-khusyuk menahan lapar belaka.
 
Dalam urusan ide ”pencatatan”, satu hal lagi yang perlu kami catat, yaitu terbitnya buku Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016). Terbitnya buku yang dikurasi dari puisi-puisi karya penyair muda Madura, baik yang tinggal di Madura maupun di luar Madura, itu ditemani oleh IBS, mulai dari diskusi awal sampai peluncurannya pada Februari 2016 di Sumenep. Buku ini sepenuhnya difasilitasi oleh LSS Reboeng (Jakarta), sebuah lembaga sastra yang diinisiasi oleh Ibu Nana Ernawati.
 
Demikianlah saya mengingat IBS dengan seluruh kenangan yang mampu saya ingat, juga gagasannya mengenai ”pencatatan”. Pencatatan, di level yang lebih lanjut, adalah tentang bagaimana puisi-puisi (pengetahuan) didistribusikan ke publik luas, seperti halnya lelucon tentang penyair Madura yang dikisahkan dari warung kopi ke warung kopi lain di Jogjakarta.
 

(mr/*/bas/JPR) https://sastra-indonesia.com/2020/12/iman-budhi-santosa-ibs-dan-kami/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria