Sohifur Ridho’i
Radar Madura, 20 Des 2020Acap saya mendengar sebuah lelucon di kalangan sastrawan di Jogjakarta ketika mempercakapkan tentang puisi dan/atau penyair Madura. Misalnya, ”kalau kamu nyebrang dari Surabaya ke Madura, pulang-pulangnya kamu sudah jadi penyair.” Atau, ”di Madura, kalau kamu lempar batu ke atas, ketika turun batu itu sudah jadi penyair.” Misalnya lagi, ”jangan kelamaan parkir motor di UIN, nanti motormu jadi penyair.”
UIN Sunan Kalijaga, mungkin nyaris semua orang tahu, adalah kampus tujuan sebagian besar orang Madura yang ingin kuliah di Jogjakarta. Sebab, di sana banyak karib dari kampung halaman dan, terutama, biayanya murah bagi keluarga petani seperti kami.
Lelucon itu bertumpu pada situasi di mana Jogjakarta adalah salah satu kota yang ditinggali banyak penulis. Di antara sekian banyak penulis yang menghidupi dan memberi makna pada kota ini, beberapa berasal dari Madura. Pendeknya, lelucon di atas terhubung dengan kenyataan di lapangan, seperti yang digambarkan lelucon ini: ”di Jogja, penyair itu kayak tambal ban, hampir di setiap tikungan ada (penyairnya).”
Tentu saja saya tidak tahu asal muasal lelucon tersebut. Namun, seperti banyaknya riwayat lelucon di banyak tempat, kebanyakan hadir dengan cara anonim, alias tidak diketahui dengan jelas siapa yang mengarangnya kali pertama. Demikianlah lelucon tentang Madura di lingkungan sastra Jogjakarta telah menjadi milik umum. Dan sebagaimana lelucon, saya sebagai orang Madura menimpalinya dengan tersenyum tipis atau tertawa. Setidaknya, bagi saya, dengan lelucon itu, para sastrawan Madura dianggap menjadi bagian dari trajektori sastra (di) Jogjakarta.
Kabar Duka dan Puisi
Saya mengingat sejumlah lelucon di atas beberapa jam sehabis mendengar kabar duka tentang penyair yang saya hormati. Demi menghibur diri karena diliputi kesedihan, saya membaca puisi ini: sehabis kututup pintu dan terdiam, sesaat/ tampaklah diriku, ada/ di mana-mana/ di setiap benda.
Petikan puisi bertitimangsa 1969 tersebut ditulis oleh Iman Budhi Santosa (IBS). Puisi yang terkumpul dalam buku puisi tunggal Dunia Semata Wayang (2005) karya IBS tersebut adalah puisi yang saya baca di suatu pagi menjelang siang yang panas, pada almanak 10 Desember 2020, sehabis saya membaca berita duka tentang penyair kelahiran Magetan, 28 Maret 1948, itu di dinding Facebook.
Saya terdiam dan membatin, betapa kaya sumbangan IBS, bukan hanya bagi kehidupan sastra di Jogjakarta khususnya, tetapi juga bagi orang-orang yang mengenal dan membaca sajaknya. Tentu saja yang disebut ”sumbangan” itu bukanlah sesuatu yang material, melainkan pengetahuan tentang puisi dan makna hidup menjadi manusia. Nama beliau penting bukan hanya sebagai penyair, tapi juga sebagai guru yang tuturannya bagai sumber air di terik siang. Karena itu, sikap hormat para teman-teman muda kepada beliau ditunjukkan dengan memanggilnya ”Romo Iman.”
Saya mengetik ”puisi Iman Budhi Santosa” di laman Google yang kemudian membawa saya pada puisi berjudul Sehabis Kututup Pintu di atas. Betul, beliau ada di mana-mana, termasuk di hati dan pikiran saya.
IBS dan Sastra Madura
Dalam mengenang IBS, kita bisa masuk melalui kisah Malioboro sebagai situs perjumpaan bagi anggota komunitas Persada Studi Klub (PSK) pada 1960-an, tempat IBS muda dan penyair-penyair seangkatannya belajar kepada sosok teladan Umbu Landu Paranggi, atau melalui percakapan-percakapan kecil di depan pintu kamar kos beliau ketika malam belum matang benar, di dekat naungan pohon sawo, Jalan Dipokusuman, Mergangsan, Kota Jogjakarta. Tapi, saya ingin mengenang beliau melalui sumbangan pikirannya mengenai ekosistem puisi di lingkungan penyair-penyair Madura yang sedang atau sementara menempuh hidup-belajar di Jogjakarta.
Tiga hari setelah IBS berpulang, penyair dan pendiri Arsip Puisi Penyair Madura Indonesia (APPMI) Selendang Sulaiman menulis kesaksian di dinding Facebook-nya: ”tanpa Pak Iman Budhi Santosa, APPMI tidak ada. Sebab, dari Pak Iman lah pemantik ide keberadaan APPMI.” Kalimat Selendang telah saya sunting seperlunya. Pada paragraf selanjutnya, Selendang menulis tuturan IBS secara verbatim: ”ini adalah masa di mana ada banyak anak Madura yang kuliah di Jogja menekuni dunia sastra. Banyak sekali. Tidak pernah terjadi sebelumnya selama saya tinggal di Jogja. Bisa jadi tak lagi terulang di masa mendatang. Ini penting. Harus dicatat. Harus ditulis. Ini fenomena. Harus ada yang mencatat. Bisa dikatakan, kalau di setiap sudut Jogja ada penyair, maka di setiap sudut itu pasti ada orang Madura.”
Tuturan tersebut bersandar pada kenyataan bahwa pada periode 2000-an ekosistem sastra di Jogjakarta turut diramaikan oleh kehadiran penulis-penulis dari Madura, yang jumlahnya mungkin lusinan. Tapi, tulisan ini tidak ingin berpokok pada kuantitas sebagai makna. Namun, sebagai ilustrasi kecil, bukalah buku Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014) terbitan Pesan Trend Budaya Ilmu Giri yang berisi 90 nama penyair Jogja dari berbagai generasi. Buku yang disusun oleh IBS dan Mustofa W. Hasyim itu memasukkan 10 penyair Madura yang semuanya datang dari generasi 2000-an. Tentu itu nama sebagian kecil dari seluruh penyair Madura yang mukim di Jogja.
Apabila Anda menginginkan informasi yang lebih detail lagi, mintalah kepada penghayat arsip Muhidin M. Dahlan dari Indonesia Boekoe untuk menuturkan kerja ’sensus penyair’ yang ia lakukan empat tahun silam. Gus Muhidin membacakan hasil sensusnya di malam yang tenang pada 24 Desember 2016, di hadapan penghikmat sastra Jogja dalam acara Pesta Puisi Akhir Tahun yang dihelat oleh Studio Pertunjukan Sastra di Amphiteater, Taman Budaya Yogyakarta.
Jika Anda masih menginginkan data yang lebih spesifik lagi, maka berkunjunglah ke laman arsippuisipenyairmadura.com dan silakan tenggelam dalam lautan kata dan data. Dan Anda akan memahami betapa pikiran IBS tentang perlunya upaya pencatatan sebagai penandaan bahwa ada satu periode di mana penyair-penyair Madura turut memberi warna dalam sastra di Jogjakarta bukanlah pernyataan untuk menghibur para penyair Madura yang acap bersibuk-khusyuk menahan lapar belaka.
Dalam urusan ide ”pencatatan”, satu hal lagi yang perlu kami catat, yaitu terbitnya buku Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016). Terbitnya buku yang dikurasi dari puisi-puisi karya penyair muda Madura, baik yang tinggal di Madura maupun di luar Madura, itu ditemani oleh IBS, mulai dari diskusi awal sampai peluncurannya pada Februari 2016 di Sumenep. Buku ini sepenuhnya difasilitasi oleh LSS Reboeng (Jakarta), sebuah lembaga sastra yang diinisiasi oleh Ibu Nana Ernawati.
Demikianlah saya mengingat IBS dengan seluruh kenangan yang mampu saya ingat, juga gagasannya mengenai ”pencatatan”. Pencatatan, di level yang lebih lanjut, adalah tentang bagaimana puisi-puisi (pengetahuan) didistribusikan ke publik luas, seperti halnya lelucon tentang penyair Madura yang dikisahkan dari warung kopi ke warung kopi lain di Jogjakarta.
(mr/*/bas/JPR) https://sastra-indonesia.com/2020/12/iman-budhi-santosa-ibs-dan-kami/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire