Semangat multikulturalisme dan pemihakan terhadap kaum marjinal, itulah kesan yang menonjol yang dapat kita tangkap ketika mencermati cerpen-cerpen Pudji Isdriani kali ini. Meski semangat pembelaan atas kaum marjinal dan usaha untuk mengangkat peran kaum perempuan sudah tampak dalam antologi cerpennya yang terdahulu (Hati Seorang Ibu, 2001; Reinkrnasi Titis, 2003; Cokelat dan Sepotong Dosa, 200; dan sebuah novelnya, Memory in Sorong, 2005), kali ini gaya bertuturnya seperti sengaja hendak memancarkan empatinya yang mendalam. Tokoh-tokoh yang ditampilkan Pudji -dalam antologi ini- seperti merepresentasikan kepeduliannya -terutama- pada nasib kaum marjinal, dan secara keseluruhan peri kehidupan masyarakat berikut dengan problem yang ditumbulkannya.
Dari sana -teristimewa dalam hal mengangkat sisi gelap kehidupan kaum marjinal di ibukota- kita (: pembaca), seperti sengaja disapa dengan sangat halus. Tak ada fatwa yang menggurui atau indoktrinasi yang artifisial. Segalanya bagai tanpa pretensi, tanpa beban. Bergulir seperti aliran air. Ia bercerita mengalir begitu saja. Tetapi, ketika semangat pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan menempel lekat, yang muncul ke permukaan adalah empati yang kokoh. Pudji Isdriani telah memperlihatkan kualitas dirinya sebagai cerpenis yang peka atas kehidupan di sekelilingnya, peduli pada lingkungan sosial di sekitarnya. Di sinilah, peran sosial sosok pengarang, mengejawantah tanpa perlu gembar-gembor atau melakukan unjuk rasa menyuarakan suara rakyat yang tertindas. Nasihat dan kritik sosial yang disampaikan dalam cerpen-cerpen ini, telah berjalin kelindan dengan karakterisasi tokoh-tokoh yang digambarkannya. Sebuah capaian yang bagus dari proses perjalanan panjang menuju kematangan.
Selain penyuaraan simpatik dan empati yang kokoh itu, dalam cerpen-cerpen yang ditempatkan di bagian awal, kita juga dapat menangkap semangat multikulturalisme yang ditawarkannya. Periksa misalnya tentang problem sosial budaya masyarakat Papua dalam cerpen “Catatan Harian Seorang Prajurit.” Usaha mengangkat citra positif atas semangat kejuangan prajurit kita dihadapkan dengan problem rumit yang menyangkut aspek sosial-budaya yang melekat kuat dalam salah satu masyarakat etnik kita (Papua). Bukankah yang digambarkan Pudji dalam cerpen itu sesungguhnya semacam representasi dari problem etnisitas yang dihadapi bangsa ini?
Meskipun cara penyelesaiannya berbeda dengan apa yang digambarkan dalam cerpen “Cinta Sa Naga,” semangatnya dalam menghormati kultur etnik tetap ditempatkan dalam konteks kehidupan kebangsaan. Pudji seperti tidak ingin melukai keluhuran nilai-nilai etnisitas. Ia coba menempatkan kearifan lokal (local genius) atau cerlang budaya dalam kerangka yang lebih luas, dalam kehidupan sebagai masyarakat bangsa. Dengan demikian, ia tidak terjerumus pada pandangan primordialisme yang sempit, melainkan mencantelkannya dalam konteks keindonesiaan. Jadilah, gambaran tentang potret Papua, Sunda, Makassar, Jawa, Betawi, Indo, bahkan etnis Tionghoa sekalipun, sekaligus memancarkan kearifan lokalnya sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan etnik Indonesia. Sebuah perspektif kultural keindonesiaan yang sepatutnya melekat dan menjadi ruh-jiwa dalam setiap warga bangsa yang multi-etnik.
Jika dikaitan dengan fungsi sastra yang menghibur dan mendidik itu, maka boleh jadi cerpen-cerpen model yang ditawarkan Pudji Isdriani ini dapat menjadi bahan menarik bagi pengajaran sastra. Ia tidak sekadar menawarkan sebuah potret tentang sebuah kultur etnik, melainkan menyelusupkan sebuah wacana lain, bagaimana problem kultural itu ditanggapi dan dipahami oleh kultur etnik yang lain. Di sinilah, sastra dapat menjadi objek diskusi yang menarik, dan sekaligus membangun sebuah paradigma demokrasi yang menerima keberagaman sebagai kekayaan dan menghargai perbedaan sebagai semangat melangkah untuk mencapai kemajuan.
***
Meski di satu sisi, Pudji Isdriani berhasil membangun sebuah wacana -melalui tokoh-tokohnya yang berlatar berbagai etnik- problem keindonesiaan, dari sisi yang lain -dalam beberapa cerpennya- ia terkesan terlalu bersemangat hendak membuat kejutan yang ditempatkan di akhir cerita. Kejutan (surprise) memang merupakan bagian penting dalam membangun tegangan (suspence). Siasat mengecoh model itu -yang banyak kita jumpai dalam cerita-cerita detektif- memang sering kali menjadikan karya itu terasa lebih memukau. Tetapi semangat yang berlebihan sehingga mengabaikan aspek logika cerita, tidak jarang malah mengganggu.
Dalam hal itulah, hendaknya Pudji lebih sabar dalam menciptakan klimaks sebagai akhir cerita. Periksa, misalnya, cerpen “Lelaki Keenam” dan “Bayi Merah Nona”. Kesan hendak memberi hukuman pada suami (:laki-laki), terkesan seperti terlalu mengabdi pada frame yang telah dirancang sejak awal. Memang ada aspek kejutan di sana. Tetapi, kejutan tanpa proses yang meyakinkan, justru dapat menimbulkan kesan seperti dipaksakan. Dalam hal itulah, pengkhianatan terhadap frame yang telah dirancang sebelumnya, justru penting dilakukan untuk menawarkan kejutan lain yang sama mengecoh horison harapan pembaca. Bukankah hukuman yang ditimpakan pada tokoh-tokoh cerita justru dapat menciptakan hingar (noise), jika logika cerita diabaikan?
***
Secara keseluruhan, antologi yang memuat 12 cerpen ini mengangkat persoalan yang beragam: tentang gaya hidup pegawai negeri, semangat kejuangan prajurit dan problem dunia pendidikan, kerusuhan Mei yang menghancurkan jiwa etnik Tionghoa, pilihan pada kultur leluhur, perselingkuhan dalam kehidupan rumah tangga, sisi gelap kehidupan kaum marjinal di ibukota, dan kelalaian berbakti pada ibu dan agama.
Sejumlah tema itu, nyaris semuanya dikemas dengan pola kejutan di akhir cerita. Memang menarik dan mengecoh. Tetapi, di sini pula justru problemnya. Kekuatan sekaligus bisa juga menjadi kelemahan. Pudji Isdriani agaknya perlu memperkaya dengan pola kejutan yang lebih beragam. Cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti dan Sutardji Calzoum Bachri, atau cerpenis terdahulu macam Rijono Praktikno atau Noegroho Notosoesanto, agaknya representatif menawarkan model itu.
Meskipun demikian, dilihat dari perkembangan kepengarangan Pudji Isdriani dalam cerpen-cerpennya kali ini, agaknya dalam beberapa tahun mendatang, ia akan tampil sebagai salah seorang cerpenis penting wanita yang menyuarakan empatinya pada masyarakat marjinal. Pudji -dalam beberapa cerpennya- telah berhasil membebaskan diri dari persoalan domestik “kehidupan rumah tangga” yang sering kali terjebak untuk sekadar menyuarakan problem gender. Empati dan kepeduliannya terhadap masyarakat marjinal dan kaum yang tertindas merupakan modal berharga yang kebanyakan tidak dimiliki oleh cerpenis wanita lainnya.
Membaca cerpen-cerpen Pudji Isdriani, kita seperti menghadapi serangkaian potret sosial-kultural yang dalam konteks kehidupan kebangsaan, justru menjadi problem serius. Di sinilah, Pudji Isdriani berhasil menempatkan dirinya sebagai warga bangsa yang coba menelusuri kedalaman kehidupan sosio-kultural yang di sana tidak terhindarkan, telah mengeram sekian lama problem etnisitas. Dan ketika ia memancarkan -lan kebangsaan, ia mengejawantah sebagai problem keindonesiaan.
Rasanya, menikmati cerpen-cerpen ini, laksana memandangi panorama Indonesia yang berada nun jauh di sana, padahal sesungguhnya tidak jauh, bahkan berada dan melekat di sekitar lingkungan hidupan kita.
Semoga begitu!
Bojonggede, 27 Januari 2007.
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/12/semangat-multikultural-dan-empati-pada-kaum-marjinal/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire