mercredi 27 janvier 2021

Bayangan Mbah Yai

Jadid Al Farisy *
 
Ketika sedang asik menikmati kepulan asap kretek dan seduhan secangkir kopi hitam di teras rumah, sebuah mobil sedan berhenti di depan pagar. Tiga orang lelaki bersarung dan berkopyah keluar dari pintu mobil yang cukup mewah itu. Dua orang berjalan ta’dhim di belakang seseorang yang nampak berwibawa.
 
Aku masih belum beranjak dari kursi rotanku. Siapa gerangan yang bertamu sepagi ini? fikirku. Ketika kira-kira sudah sampai lima langkah dari pintu pagar, barulah aku berdiri menyambut para tamuku tersebut. Salah seorang dari mereka mengucap salam dan tersenyum. Seolah sudah lama mengenaliku. Aku pun membalas salam dan tersenyum pula padanya.
 
“Masih ingat aku ta, Kang?” tanya seorang berkopyah putih. Aku masih diam mematung karena belum bisa mengenalinya. Aku mengrenyitkan dahi. Kulihat ia kembali tersenyum. Sepertinya sengaja memberiku jeda untuk mengenalinya. Sebenarnya aku tidak begitu asing lagi dengan tamu yang sepantaran denganku ini. Setelah beberapa lama memeras memori otakku, fikiranku langsung tertuju pada putra bungsu mbah yai Sholeh.
 
“Gus Syukron, ya?” aku menyahut sambil melempar senyum, tamuku tersebut mengangguk.
 
“Alhamdulillah, ternyata masih ingat juga, Kang” Gus Syukron menjabat tangan dan merangkul pundakku. Untuk beberapa saat kami saling bertanya kabar. Kami bernostalgia mengenang keakraban tempo dulu. Lebih-lebih antara aku dan gus Syukron memang sudah seperti saudara sendiri. Perbincangan kami pun berlanjut di ruang tamu.
 
Setelah saling bercerita panjang lebar, beliau pun mengutarakan maksud kedatangannya ke rumahku bersama dua santri senior yang saat ini menjadi pengurus di pesantrennya.
 
“Pokoknya sampeyan harus ikut nulis, Kang,” seru gus Syukron menodongku. Aku menanggapinya dengan tersenyum santai.
 
”Wah, Gus, apa nanti ndak malah ditertawakan orang yang membaca, lha wong saya ini tidak mahir menulis dan mengarang. Dulu waktu masih sekolah, menulis surat izin saja minta bantuan teman. Hehe…” kelakarku menjawab permintaan gus Sukron.
 
“Ah, kang Rafif ini bisa saja, tetap suka guyon seperti dulu.”
“Lha kalau ndak gitu, saya khawatir cepat tua, Gus” Kembali candaku disambut senyum dan tawa tamu-tamuku.
 
“Njenengan boleh menulis tentang apapun, Kang. Selagi masih berhubungan dengan dunia pesantren kita ini. Kang Rafif ini kan termasuk santri senior yang masih menangi zaman almaghfurlah Kiai Sholeh ketika masih sugeng, pastilah mempunyai segudang pengalaman yang bisa kita jadikan bahan dalam sebuah buku yang akan kami susun,” terang Adnan, salah seorang tamuku yang sepertinya ditunjuk keluarga ndalem sebagai penanggung jawab.
 
“Leres Kang, apalagi njenengan ini juga pernah ngawulo di ndalem. Jadi akan sangat menarik jika njenengan mengulas tentang sesuatu yang mungkin tidak semua para santri mengetahui. Semacam sisi lain dari kehidupan pesantren yang kami harapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca,” tutur tamuku lain yang bernama Ghofur. Aku masih diam sesaat, karena memang belum mempunyai gambaran yang pasti dengan rencana pembuatan buku tentang pesantren Al Munawwar. Tapi untuk ngestuake permintaan gus Syukron dan para tamuku itu, aku mengiyakan saja.
 
“O…iya-iya, do’akan saja semoga jari-jariku ini mendapat ilham, dituntun untuk bisa lancar menulis.” Kembali jawabanku disambut dengan senyum dan tawa ketiga tamuku tersebut sehingga suasana menjadi sangat cair.
***
 
Sejak aku menyatakan kesanggupan untuk ikut menulis dalam buku yang rencananya akan dilaunching pada acara haul mbah yai Sholeh yang ketiga bulan depan, aku sekarang mempunyai aktifitas yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Sudah tiga hari ini aku meluangkan waktu untuk mencoba mulai menulis. Ya, meskipun sampai hari ketiga ini belum nampak hasilnya.
 
Aku memilih waktu malam hari untuk memulai aktifitas menulisku. Karena siang hari harus mengurusi usaha peternakan ayam potong di area tegalan pinggir bukit kapur. Meskipun sudah ada beberapa karyawan, tetap saja untuk urusan dengan para tengkulak dari luar daerah, aku sendiri yang harus turun tangan mengaturnya.
 
Agar mata tetap terjaga dan bisa diajak kompromi, tidak lupa secangkir kopi hitam pahit sudah kusiapkan. Tak lupa pula kretek kesukaanku untuk menanggulangi jika sewaktu-waktu ditengah-tengah menulis tiba-tiba mampet ide. Ah, jangankan mampet ide di tengah tulisan, untuk menulis huruf pertama saja rasa-rasanya sangat sukar sekali. Memang urusan menulis lebih sulit dari yang kubayangkan sebelumnya.
 
Kusulut kretek yang sedari tadi kutaruh di samping tumpukan kertas. Kunikmati kepulan asap tembakau sembari berharap muncul semacam ilham atau petunjuk sebagai bahan tulisanku. Dalam proses menulis, aku tidak menggunakan komputer atau laptop. Jujur saja, aku tidak bisa menggunakan kedua alat elektronik itu meskipun di rumah juga ada, karena memang milik adikku yang anak kuliahan. Salah satu jenis elektronik yang bisa dan sering kugunakan adalah HP dan kalkulator. Maklumlah, bakul ayam potong.
 
Sekian lama kusulut sebatang demi sebatang kretek kesukaanku. Kuimbangi dengan sruputan kopi hitam pahit yang kubuat sendiri. Puntung rokok menggunung di asbak. Tidak terasa sudah satu cepet habis. Parahnya, tak sehuruf pun mampu kutulis.
 
Asap rokok kuhembus ke langit-langit kamar. Membentuk lingkaran dan bentuk-bentuk abstrak lainnya. Memang bagi pecandu rokok sepertiku, suasana seperti ini sungguh menenangkan fikiran. Biasanya saat-saat trance seperti ini segala macam ide brilian bisa tiba-tiba saja muncul. Tapi aneh saja disaat aku membutuhkan imajinasi untuk menulis tentang pesantren, tak kunjung juga kudapatkan kekuatan itu.
 
Untuk sekedar melepas lelah, kusandarkan dengan santai punggungku di kursi. Kupejamkan kedua mataku meski sebenarnya sama sekali belum mengantuk. Anehnya, bayangan mbah yai Sholeh terlihat jelas di depanku. Sedikit tersentak, kubuka mataku. Kuarahkan pandanganku ke atas dinding. Foto mbah yai Sholeh terpampang jelas di sana. Aku masih ingat foto itu dengan bangganya kupasang ketika tahun pertama aku nyantri di pesantren Al Munawwar asuhan beliau. Tiba-tiba saja rasa kangen pada mbah Yai menyeruak di hatiku.
 
Sampai saat ini, kesabaran dan ketawadhu’an beliau belum kutemui tandingannya. Tidak jarang dengan kearifan beliau, banyak para santri yang dulu terkenal mbeling di pesantren kini menjadi orang yang berguna di masyarakat, paling tidak, mereka tidak menjadi sampah masyarakat. Aku sangat yakin itu semua berkat do’a dan juga sentuhan cinta dari beliau.
 
Kubuka satu cepet rokok lagi di sakuku. Kusulut dan kunikmati sensasinya sambil kuteruskan mengenang kisah bersama mbah Yai. Dawuh-dawuh beliau seolah hidup. Hingga saat ini banyak para alumni yang masih terngiang pitutur bijak beliau. Masih terekam jelas bagaimana mbah Yai menyelesaikan masalah yang kelihatan sukar diatasi menjadi gamblang penyelesaiannya.
 
Bagaimana bisa terlupa, kisah seorang santri pencuri ayam di kampung sekitar pondok yang tertangkap basah di tengah malam oleh warga sekitar. Hampir saja santri itu dihakimi masa. Namun karena para warga masih memandang dan menghormati mbah Yai Sholeh sebagai pengasuh, masyarakat langsung membawa santri tersebut sowan langsung ke ndalem beliau.
 
Sesampainya di ndalem, kemarahan para warga langsung bisa teredam dengan sikap tenang mbah yai. Memang Luar biasa aura kewibawaan beliau. Dengan tersenyum ramah, mbah yai berucap lirih, “Matur nuwun sanget laporannya ngge, bocah ini biar menjadi urusanku secara pribadi. Kalian pulanglah dan istirahat. Besok sudah harus kembali mencari nafkah untuk keluarga. Bekerja dengan ikhlas itu juga ibadah.”
 
Mungkin banyak yang mengira santri tersebut akan diusir dari pesantren. Para santri senior dan pengurus pondok pun banyak yang tidak bersimpati dengan santri itu. pasalnya, memang santri itu sudah terkenal paling bengal dan susah diatur. Namun semua perkiraan meleset. Santri itu malah dijadikan abdi dan dipersilahkan bertempat tinggal di ndalem beliau.
 
Mengingat kisah itu, aku tidak bisa menahan diri. Air mataku tumpah. Rasa kangen membuncah tanpa bisa kutahan. Untuk beberapa saat, aku sesenggukan. Hingga bisa menjadi seorang pengusaha seperti ini. Semua berkat kesabaran mbah yai Sholeh dalam membimbing jalanku. Jalan terjal menyesatkan yang pernah kualami. Seandainya waktu itu aku jadi diusir dari pesantren, tidak pernah bisa kubayangkan kehidupan yang akan kutempuh. Yang pasti, ditengah gelapnya lorong yang kulalui, secercah cahaya menuntunku menuju jalan kebenaran. Ila Ruhi mbah yai Sholeh, lahul fatihah…
 
Setelah beberapa saat, aku kembali menghadap tumpukan kertas kosong. Namun aku sadar, aku memang tidak punya bakat menulis. Tapi aku bisa bertutur tentang suri tauladan mbah yai. Sebuah kisah nyata yang pernah kualami. Sudah kuputuskan, biarlah para santri penulis yang akan menyalin ceritaku menjadi sebuah kisah yang lebih hidup dan mampu menghidupi nyala jiwa yang tlah padam akan penerang jalan. Besok, pagi-pagi sekali, aku harus sowan ke pondok dan juga ke maqbaroh mbah yai.
 
Lamongan, Januari 2021

*) Jadid Al Farisy, lahir di bantaran Bengawan Solo, Desa Kendal, Sekaran, Lamongan. Menulis puisi, cerpen, esai, geguritan. Beberapa karyanya tersiar di media Republika, Radar Bojonegoro, Iqro.id, Alif.id, Pesantren.id. Puisi dan cerpennya bisa dijumpai dalam antologi bersama: Bocah Luar Pagar, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, Hikayat Daun yang Jatuh dan Muhasabah Warna. Buku tunggalnya: Kopi Kang Santri (cerpen), Aku Membacamu, Kekasih (puisi), Dialektika Akar Rumput (esai), Kawula Mung Saderma (geguritan). Pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan, dan MI Ma’arif NU Islamiyah Kendal. http://sastra-indonesia.com/2021/01/bayangan-mbah-yai/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria