Ketika sedang asik menikmati kepulan asap kretek dan seduhan secangkir kopi hitam di teras rumah, sebuah mobil sedan berhenti di depan pagar. Tiga orang lelaki bersarung dan berkopyah keluar dari pintu mobil yang cukup mewah itu. Dua orang berjalan ta’dhim di belakang seseorang yang nampak berwibawa.
Aku masih belum beranjak dari kursi rotanku. Siapa gerangan yang bertamu sepagi ini? fikirku. Ketika kira-kira sudah sampai lima langkah dari pintu pagar, barulah aku berdiri menyambut para tamuku tersebut. Salah seorang dari mereka mengucap salam dan tersenyum. Seolah sudah lama mengenaliku. Aku pun membalas salam dan tersenyum pula padanya.
“Masih ingat aku ta, Kang?” tanya seorang berkopyah putih. Aku masih diam mematung karena belum bisa mengenalinya. Aku mengrenyitkan dahi. Kulihat ia kembali tersenyum. Sepertinya sengaja memberiku jeda untuk mengenalinya. Sebenarnya aku tidak begitu asing lagi dengan tamu yang sepantaran denganku ini. Setelah beberapa lama memeras memori otakku, fikiranku langsung tertuju pada putra bungsu mbah yai Sholeh.
“Gus Syukron, ya?” aku menyahut sambil melempar senyum, tamuku tersebut mengangguk.
“Alhamdulillah, ternyata masih ingat juga, Kang” Gus Syukron menjabat tangan dan merangkul pundakku. Untuk beberapa saat kami saling bertanya kabar. Kami bernostalgia mengenang keakraban tempo dulu. Lebih-lebih antara aku dan gus Syukron memang sudah seperti saudara sendiri. Perbincangan kami pun berlanjut di ruang tamu.
Setelah saling bercerita panjang lebar, beliau pun mengutarakan maksud kedatangannya ke rumahku bersama dua santri senior yang saat ini menjadi pengurus di pesantrennya.
“Pokoknya sampeyan harus ikut nulis, Kang,” seru gus Syukron menodongku. Aku menanggapinya dengan tersenyum santai.
”Wah, Gus, apa nanti ndak malah ditertawakan orang yang membaca, lha wong saya ini tidak mahir menulis dan mengarang. Dulu waktu masih sekolah, menulis surat izin saja minta bantuan teman. Hehe…” kelakarku menjawab permintaan gus Sukron.
“Ah, kang Rafif ini bisa saja, tetap suka guyon seperti dulu.”
“Lha kalau ndak gitu, saya khawatir cepat tua, Gus” Kembali candaku disambut senyum dan tawa tamu-tamuku.
“Njenengan boleh menulis tentang apapun, Kang. Selagi masih berhubungan dengan dunia pesantren kita ini. Kang Rafif ini kan termasuk santri senior yang masih menangi zaman almaghfurlah Kiai Sholeh ketika masih sugeng, pastilah mempunyai segudang pengalaman yang bisa kita jadikan bahan dalam sebuah buku yang akan kami susun,” terang Adnan, salah seorang tamuku yang sepertinya ditunjuk keluarga ndalem sebagai penanggung jawab.
“Leres Kang, apalagi njenengan ini juga pernah ngawulo di ndalem. Jadi akan sangat menarik jika njenengan mengulas tentang sesuatu yang mungkin tidak semua para santri mengetahui. Semacam sisi lain dari kehidupan pesantren yang kami harapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pembaca,” tutur tamuku lain yang bernama Ghofur. Aku masih diam sesaat, karena memang belum mempunyai gambaran yang pasti dengan rencana pembuatan buku tentang pesantren Al Munawwar. Tapi untuk ngestuake permintaan gus Syukron dan para tamuku itu, aku mengiyakan saja.
“O…iya-iya, do’akan saja semoga jari-jariku ini mendapat ilham, dituntun untuk bisa lancar menulis.” Kembali jawabanku disambut dengan senyum dan tawa ketiga tamuku tersebut sehingga suasana menjadi sangat cair.
***
Sejak aku menyatakan kesanggupan untuk ikut menulis dalam buku yang rencananya akan dilaunching pada acara haul mbah yai Sholeh yang ketiga bulan depan, aku sekarang mempunyai aktifitas yang sebelumnya belum pernah kulakukan. Sudah tiga hari ini aku meluangkan waktu untuk mencoba mulai menulis. Ya, meskipun sampai hari ketiga ini belum nampak hasilnya.
Aku memilih waktu malam hari untuk memulai aktifitas menulisku. Karena siang hari harus mengurusi usaha peternakan ayam potong di area tegalan pinggir bukit kapur. Meskipun sudah ada beberapa karyawan, tetap saja untuk urusan dengan para tengkulak dari luar daerah, aku sendiri yang harus turun tangan mengaturnya.
Agar mata tetap terjaga dan bisa diajak kompromi, tidak lupa secangkir kopi hitam pahit sudah kusiapkan. Tak lupa pula kretek kesukaanku untuk menanggulangi jika sewaktu-waktu ditengah-tengah menulis tiba-tiba mampet ide. Ah, jangankan mampet ide di tengah tulisan, untuk menulis huruf pertama saja rasa-rasanya sangat sukar sekali. Memang urusan menulis lebih sulit dari yang kubayangkan sebelumnya.
Kusulut kretek yang sedari tadi kutaruh di samping tumpukan kertas. Kunikmati kepulan asap tembakau sembari berharap muncul semacam ilham atau petunjuk sebagai bahan tulisanku. Dalam proses menulis, aku tidak menggunakan komputer atau laptop. Jujur saja, aku tidak bisa menggunakan kedua alat elektronik itu meskipun di rumah juga ada, karena memang milik adikku yang anak kuliahan. Salah satu jenis elektronik yang bisa dan sering kugunakan adalah HP dan kalkulator. Maklumlah, bakul ayam potong.
Sekian lama kusulut sebatang demi sebatang kretek kesukaanku. Kuimbangi dengan sruputan kopi hitam pahit yang kubuat sendiri. Puntung rokok menggunung di asbak. Tidak terasa sudah satu cepet habis. Parahnya, tak sehuruf pun mampu kutulis.
Asap rokok kuhembus ke langit-langit kamar. Membentuk lingkaran dan bentuk-bentuk abstrak lainnya. Memang bagi pecandu rokok sepertiku, suasana seperti ini sungguh menenangkan fikiran. Biasanya saat-saat trance seperti ini segala macam ide brilian bisa tiba-tiba saja muncul. Tapi aneh saja disaat aku membutuhkan imajinasi untuk menulis tentang pesantren, tak kunjung juga kudapatkan kekuatan itu.
Untuk sekedar melepas lelah, kusandarkan dengan santai punggungku di kursi. Kupejamkan kedua mataku meski sebenarnya sama sekali belum mengantuk. Anehnya, bayangan mbah yai Sholeh terlihat jelas di depanku. Sedikit tersentak, kubuka mataku. Kuarahkan pandanganku ke atas dinding. Foto mbah yai Sholeh terpampang jelas di sana. Aku masih ingat foto itu dengan bangganya kupasang ketika tahun pertama aku nyantri di pesantren Al Munawwar asuhan beliau. Tiba-tiba saja rasa kangen pada mbah Yai menyeruak di hatiku.
Sampai saat ini, kesabaran dan ketawadhu’an beliau belum kutemui tandingannya. Tidak jarang dengan kearifan beliau, banyak para santri yang dulu terkenal mbeling di pesantren kini menjadi orang yang berguna di masyarakat, paling tidak, mereka tidak menjadi sampah masyarakat. Aku sangat yakin itu semua berkat do’a dan juga sentuhan cinta dari beliau.
Kubuka satu cepet rokok lagi di sakuku. Kusulut dan kunikmati sensasinya sambil kuteruskan mengenang kisah bersama mbah Yai. Dawuh-dawuh beliau seolah hidup. Hingga saat ini banyak para alumni yang masih terngiang pitutur bijak beliau. Masih terekam jelas bagaimana mbah Yai menyelesaikan masalah yang kelihatan sukar diatasi menjadi gamblang penyelesaiannya.
Bagaimana bisa terlupa, kisah seorang santri pencuri ayam di kampung sekitar pondok yang tertangkap basah di tengah malam oleh warga sekitar. Hampir saja santri itu dihakimi masa. Namun karena para warga masih memandang dan menghormati mbah Yai Sholeh sebagai pengasuh, masyarakat langsung membawa santri tersebut sowan langsung ke ndalem beliau.
Sesampainya di ndalem, kemarahan para warga langsung bisa teredam dengan sikap tenang mbah yai. Memang Luar biasa aura kewibawaan beliau. Dengan tersenyum ramah, mbah yai berucap lirih, “Matur nuwun sanget laporannya ngge, bocah ini biar menjadi urusanku secara pribadi. Kalian pulanglah dan istirahat. Besok sudah harus kembali mencari nafkah untuk keluarga. Bekerja dengan ikhlas itu juga ibadah.”
Mungkin banyak yang mengira santri tersebut akan diusir dari pesantren. Para santri senior dan pengurus pondok pun banyak yang tidak bersimpati dengan santri itu. pasalnya, memang santri itu sudah terkenal paling bengal dan susah diatur. Namun semua perkiraan meleset. Santri itu malah dijadikan abdi dan dipersilahkan bertempat tinggal di ndalem beliau.
Mengingat kisah itu, aku tidak bisa menahan diri. Air mataku tumpah. Rasa kangen membuncah tanpa bisa kutahan. Untuk beberapa saat, aku sesenggukan. Hingga bisa menjadi seorang pengusaha seperti ini. Semua berkat kesabaran mbah yai Sholeh dalam membimbing jalanku. Jalan terjal menyesatkan yang pernah kualami. Seandainya waktu itu aku jadi diusir dari pesantren, tidak pernah bisa kubayangkan kehidupan yang akan kutempuh. Yang pasti, ditengah gelapnya lorong yang kulalui, secercah cahaya menuntunku menuju jalan kebenaran. Ila Ruhi mbah yai Sholeh, lahul fatihah…
Setelah beberapa saat, aku kembali menghadap tumpukan kertas kosong. Namun aku sadar, aku memang tidak punya bakat menulis. Tapi aku bisa bertutur tentang suri tauladan mbah yai. Sebuah kisah nyata yang pernah kualami. Sudah kuputuskan, biarlah para santri penulis yang akan menyalin ceritaku menjadi sebuah kisah yang lebih hidup dan mampu menghidupi nyala jiwa yang tlah padam akan penerang jalan. Besok, pagi-pagi sekali, aku harus sowan ke pondok dan juga ke maqbaroh mbah yai.
Lamongan, Januari 2021
*) Jadid Al Farisy, lahir di bantaran Bengawan Solo, Desa Kendal, Sekaran, Lamongan. Menulis puisi, cerpen, esai, geguritan. Beberapa karyanya tersiar di media Republika, Radar Bojonegoro, Iqro.id, Alif.id, Pesantren.id. Puisi dan cerpennya bisa dijumpai dalam antologi bersama: Bocah Luar Pagar, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, Hikayat Daun yang Jatuh dan Muhasabah Warna. Buku tunggalnya: Kopi Kang Santri (cerpen), Aku Membacamu, Kekasih (puisi), Dialektika Akar Rumput (esai), Kawula Mung Saderma (geguritan). Pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan, dan MI Ma’arif NU Islamiyah Kendal. http://sastra-indonesia.com/2021/01/bayangan-mbah-yai/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire