Bagian paling menyenangkan dalam membaca cerita-cerita Budi Darma adalah ketika kita menemukan fragmen-fragmen yang ganjil. Dalam Olenka ada adegan di mana Olenka meloncat-loncat ke sana kemari bagai tupai. Dalam Ny. Talis (Kisah mengenai Madras) banyak pula adegan tokoh-tokoh yang melompat; ada yang melompat dari pohon ke pohon, dari dinding ke dinding, meniti tali, salto, dan sebagainya. Bahkan Madras dan kedua orang anaknya—Wiwini dan Sidrat (Madrasi Kwadrat)—serta menantu Madras yang bernama Leni punya kebiasaan melompat-lompat. Sampai-sampai sewaktu kecil Leni—istri dari Sidrat—dijuluki Tarzan Betina karena dia hobi loncat-loncat sambil hanya mengenakan kutang dan cawat.
Apa hanya soal lompat-lompat? Tentu tidak. Tersebut pula Ny. Talis, seorang perias pengantin cantik nan anggun yang meyakini bahwa tembong (tanda lahir) di badannya adalah pertanda sial. Ia memiliki kemampuan istimewa (atau aneh?), yaitu sanggup merias puluhan pengantin dalam waktu sehari semalam. Tentu saja itu ganjil. Kalau dalam kehidupan sehari-hari ada orang mengaku dapat merias puluhan pengantin dalam sehari, tentu kita akan menganggapnya sedang berbual belaka. Tetapi dalam semesta Budi Darma, hal-hal semacam itu menjadi tampak masuk akal dan dapat diterima.
Ada pula riwayat Nur Ainun Kusbandiyah. Dia adalah ibu Madras. Mulanya dia mengaku kepada Madras bahwa ayah Madras adalah seorang saudagar kain bernama Abdul Murod Markasan. Namun menjelang kematiannya Nur Ainun Kusbandiyah membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari Madras. Rupanya orang yang telah menghamilinya hingga ia melahirkan Madras bukanlah Abdul Murod Markasan, melainkan seorang lelaki yang kebetulan lewat di jalan depan rumah saat Nur Ainun Kusbandiyah sedang membuka jendela rumah. Lelaki itu meloncat pagar, melesat ke pekarangan, menerobos jendela, memasuki kamar, dan begitulah, sembilan bulan sembilan hari kemudian Madras lahir.
Setelah pertemuan sekejap dalam kamar, lelaki itu keluar melalui jendela, melesat ke pekarangan, melompati pagar, mendarat di jalan, dan tiba-tiba ada sebuah mobil melesat cepat, menabrak lelaki itu, dan begitulah, dia pun mati. Nur Ainun Kusbandiyah diusir dari rumah oleh orang tuanya setelah menceritakan soal lelaki itu. Dia pun mengurus Madras seorang diri sampai mati. Tetapi seperti Maryam yang dikaruniai anugerah Tuhan, apa yang diusahakan oleh Nur Ainun Kusbandiyah berjalan lancar dan sukses. Namanya harum dan dia bisa merawat Madras dengan baik.
Apa itu cukup? Tentu belum. Terkisahkan pula riwayat suami Ny. Talis. Suami Ny. Talis memiliki darah orang gila, darah iblis. Ada satu fragmen di mana tiba-tiba seekor burung aneh mencaplok dua bola mata suami Ny. Talis sampai lepas (saat membaca bagian ini saya teringat serbuan burung-burung dalam film The Birds garapan Alfred Hitchcock). Suami Ny. Talis dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit, ada fragmen ganjil lagi, yaitu saat leher suami Ny. Talis mendadak bernanah, lalu kepalanya lepas dan menggelinding sambil menjulur-julurkan lidah, menghebohkan rumah sakit, hingga akhirnya kepala itu berhenti menggelinding tepat di hadapan kaki Ny. Talis. Dan suami Ny. Talis dinyatakan meninggal dunia.
Novel yang Budi Darma tulis selama dua bulan ini (9 November 1990-8 Januari 1991) disusun dalam bab-bab pendek. Ceritanya terkesan meloncat ke sana kemari seolah tidak memiliki arah yang jelas. Di sana-sini terselip percakapan-percakapan lucu, unik, dan menyenangkan. Saya membayangkan Budi Darma menulis novel ini tanpa memikul beban-beban muluk di pundaknya. Tidak ada beban untuk menjadikan novel ini bercorak realisme sosialis supaya disanjung sebagai novel yang pro-rakyat kelas bawah. Tidak pula ada kesan untuk menunjukkan bahwa novel ini membawa nilai-nilai luhur yang dapat membasmi perang dan segala penindasan. Tidak ada tendensi muluk-muluk seperti itu—setidaknya yang saya lihat. Yang ada hanya cerita yang terkesan main-main, meloncat-loncat lincah, tapi menyenangkan. Seandainya Budi Darma adalah seorang pesepakbola, pasti dia Ronaldinho atau setidaknya Neymar Da Silva. Tapi, apakah main-main itu bukan sesuatu yang penting? Bukankah manusia adalah homo ludens? Bukankah dunia adalah tempat bermain-main dan bersenda gurau?
Lagi pula main-main tidak berarti “tak berguna” dan “tak berfaedah”. Meskipun terkesan main-main, toh novel ini sebetulnya penuh permenungan. Coba saja baca bagian pertama dan akhirnya. Di situ Budi Darma menyebut tentang debu beterbangan. Tentang hakikat manusia. Tentang kehidupan dan kematian. Manusia bermula dari debu dan akan kembali ke debu. Tidak ada sesuatu yang berasal dari sesuatu yang tidak ada. Ex nihilo nihil fit.
[Keterlaluan, saya tidak membahas Wiwin si pelukis dan Santi Wedanti si penyanyi dan pemilik Rumah Kopi Galena (sekaligus istri Madras). Tapi biarlah. Begini saja cukup.]
Judul: Ny. Talis (Kisah mengenai Madras)
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Grasindo
Tahun: Cetakan Pertama, 1996
Tebal: 280 halaman
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. Blognya: setelahmembaca.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2021/01/fragmen-fragmen-yang-ganjil-cerita-yang-main-main/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire