Jalaluddin Rakhmat
republika.co.id
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di
dunia ini. Hal ini, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, manusia bukan saja
karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya,
tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat kenyataan) asma
dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam
dijadikan dari alam jisim, kemudian Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam jasad
Adam. Allah berfirman, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud.” (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakas atau
kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya
bukanlah jasad lahir yang diciptakan dari unsur-unsur materi, akan tetapi
rohani yang berada dalam dirinya yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan para sufi
dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal
(al-‘aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal
dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan
jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para
ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung
kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada
dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah
dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi
sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang
mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak
tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada; jiwa nabati
(tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari
segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, di samping memiliki daya
makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal
dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya
berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah).
Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi
manusia. Sehingga dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan
yang khusus, dzatnya dan penciptaannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir),
tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat
tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa
manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan
ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka
ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat. Firman Allah, “Sesungguhnya jiwa
yang demikian itu selalu menyuruh berbuat jahat.” (QS Ar-Ra’d: 53)
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka
ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan
keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan
oleh-Nya, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela.” (QS Al-Qiyamah:
2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela,
maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini
Allah menegaskan, “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa
puas lagi diridhai, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
Surga-Ku.” (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi
tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada
sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan
dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh
bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya
mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang
ambivalen. Allah sampaikan, “Demi jiwa serta kesempurnaan-Nya, Allah
mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan.” (QS Asy-Syams: 7-8). Artinya,
dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa terletak pada
perjuangan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek
(intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak,
sedangkan “hati” adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada
pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) di
dada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu
pengetahuan akal (ma’rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah).
Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan
pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan
tertinggi—akal perolehan (akal mustafad)—ia dapat mengetahui kebahagiaan dan
berusaha memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam
kebahagiaan (surga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan
kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka
menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sedangkan menurut para
filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak
pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan
yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ke tingkat akal perolehan.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya
terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati
adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada
sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini,
karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas,
misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus,
hati-nurani –daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga
dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber pengetahuan hati (ma’rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allah
berfirman, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya.” (QS
Al-A’raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut
para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs
insaniyah), tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan
manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan
akal (ma’rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma’rifat
qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber
ma’rifat—suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya
dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh
fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan
moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara’ serta dzikir yang
kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati,
sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma’rifat, dan akan mencapai
pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai
kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani,
sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di
dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan
yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan
justru akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati
dzulmani—hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil
perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang dimaksud dengan
firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar
realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa
nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang
serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada
seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku,
tetapi dengan bersikap asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal
yang berkaitan dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan
menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah
adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan
beribadah, tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani, selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau
jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk
mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada
kemampuan hati-nurani dalam pengendalian dan pengontrolan hati dzulmani.
14 Juni 2011
Sumber: Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah-Pustaka Media.
http://sastra-indonesia.com/2012/02/antara-sukma-nurani-dan-sukma-dzulmani/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire