mercredi 21 avril 2021

KEKUATAN MASYARAKAT DIAM

Aprinus Salam *
 
Kekuatan besar dalam suatu negara terletak pada masyarakatnya yang diam, atau memilih diam. Dalam proses sejarah politik dan sosial yang panjang, banyak orang terpaksa belajar diam. Mereka memilih diam karena tidak ingin ada kegaduhan yang tidak penting.

Lebih dari itu, mereka memilih diam karena mereka memiliki pendapat sendiri, sesuai dengan proses negosiasi yang ada dalam ruang kesadaran diri dan pikiran mereka masing-masing.
 
Persoalannya, hal apa saja yang dinegosiasikan dalam ruang kesadaran masyarakat diam tersebut? Bagaimana proses negosiasi itu terjadi? Dalam hal ini, ada empat hal yang bernegosiasi, yakni nilai-nilai lokal (tradisi), nilai-nilai agama, nilai-nilai nasional, dan nilai-nilai kapitalisme. Setiap nilai memiliki karakter dan tujuan tersendiri di dalam dirinya.
 
Modernisme dan globalisme tentu perlu diperhitungkan, tetapi untuk keperluan di sini diwakili oleh kapitalisme.
 
Nilai-nilai lokal atau tradisi, dalam sejarahnya, terbukti adaptif. Lokalitas terbiasa menerima banyak hal. Hal pertama yang “diterima” lokalitas adalah agama. Itulah sebabnya, karakter agama di setiap lokal berbeda-beda. Ada lokal yang mengadopsi agama secara dominan, tetapi ada lokal yang mempertahankan nilai lokalitasnya secara kental.
 
Di beberapa lokal di Jawa, misalnya, nilai-nilai lokal yang memegang teguh pada harmoni, pada kepantasan dan ketidakpantasan, masih menjadi kendali yang penting.
 
Agama memiliki rukun-rukun tersendiri yang khas. Rukun-rukun tersebut memberi keyakinan dan identitas, sehingga agama bisa memasukkan dan mengeluarkan seseorang dalam identitas dan keyakinannya.
 
Ada janji “keabadian” di dalamnya yang tidak dimiliki nilai lain. Sekali lagi contoh, orang Jawa, selamanya tetap Jawa, karena tidak ada aturan yang bisa mengeluarkan atau memasukannya. Akan tetapi, suatu ketika bisa saja orang Jawa tersebut beridentitas dengan agama yang berbeda.
 
Dalam sejarah Indonesia, nasionalitas mencoba mengakomodasi nilai-nilai lokal, agama, dan kapitalisme/modernisme. Hal itu dapat dengan mudah dilihat dalam Pembukaan UUD ’45.  Di luar nilai lokal, agama, dan kemodernan, sesuatu yang khas dari nilai nasional terletak pada persatuan Indonesia. Persatuan dan kesatuan NKRI menjadi sangat penting.
 
Dalam logika yang sama, tentu seseorang bisa saja berpindah warga negara dan itu mengeluarkannya dari nilai persatuan dan nasionalitas.
 
Sementara itu, kapitalisme memiliki kemampuan menyerap semua hal sejauh dalam kalkulasinya menguntungkan dan meningkatkan kinerja dirinya. Artinya, kapitalisme mendorong masyarakat untuk selalu melakukan kalkulasi rasional ekonomis apakah tindakan, prilaku, atau keputusan mereka akan menguntungkan atau tidak.
 
Kita tahu, aspek sekuler memegang kendali penting. Dalam skala yang lebih besar, wajah kapitalisme bisa beragam karena kemampuannya memodifikasi nilai-nilai yang diserapnya untuk dijadikan komoditas.
 
Negosiasi Karakter
 
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa lokalitas dapat beradaptasi dengan apa saja. Dalam posisi itu, lokalitas menjadi bagian-bagian khusus, baik dalam nasional, agama, ataupun kapitalisme/modernisme.
 
Kedirian dan kecirian (lokalitas seseorang) bisa muncul dalam wajah nasional, agama, ataupun sebagai masyarakat modern. Lokalitas bermetamorfosis terus menerus sebagai sesuatu yang menjadi ciri-ciri masyarakat tertentu.
 
Agama bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokal dan nasional, tetapi sulit beradaptasi dengan kapitalisme yang rasional dan sekuler. Ada keyakinan terhadap hal-hal mistis, keberadaan dan peranan Tuhan/Allah, yang dalam setiap agama bersifat universial, tetapi tetap saja rukun-rukun dalam setiap agama ada perbedaan. Itulah sebabnya, banyak negara atau masyarakat di muka bumi ini tidak memposisikan rukun-rukun keagamaan sebagai praktik berbangsa atau bernegara.
 
Kalau melihat perjalanan politik Indonesia, maka diketahui bahwa masyarakat Indonesia memilih pegangan pada nilai nasional yang didukung oleh nilai-nilai lokal. Hal itu dapat dilihat dari berbagai hasil pemilu di tingkat nasional. Kalau dalam perjalanan ekonominya, Indonesia memilih modernisasi, dalam kendali kapitalisme, atau biasa kita sebut sebagai pembangunanisme.
 
Memang, di tingkat daerah terjadi berbagai variasi. Hal tersebut bergantung proses-proses negosiasi di antara berbagai kekuatan nilai tersebut di lokal masing-masing. Ada daerah yang tetap mengedepankan nilai-nilai nasional (nasionalitas), ada daerah yang masih berpegang teguh pada kekuatan nilai dan tradisi lokal, tetapi ada daerah yang kandungan agamanya cukup kuat.
 
Nasionalisme Kapitalis
 
Kembali mencermati situasi Indonesia, baik dalam rentang sejarah politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka proses negosiasi di antara empat nilai tersebut secara relatif dimenangkan oleh “gabungan” nasionalime dan kapitalisme. Persoalannya, apa kaitan “nasionalisme kapitalis” tersebut dengan masyarakat diam?
 
Tentu ini kesimpulan terbatas, karena bagaimanapun proses-proses negosiasi itu terus berlangsung, bergantung pada kondisi yang berkembang, dan berbagai peristiwa dengan komposisi nilai yang berbeda. Berbagai hal tersebut terus dicerna dan diikuti dengan diam dan secara diam-diam.
 
Merekalah yang diam-diam justru menentukan ke mana arah keputusan-keputusan yang akan diambil. Mereka adalah mayoritas yang rasional, cinta tanah air, selalu melakukan perhitungan dengan cermat, dan memilih diam sambil terus bekerja.
 
14 April 2021 Yogyakata

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). http://sastra-indonesia.com/2021/04/kekuatan-masyarakat-diam/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria