lundi 26 avril 2021

Panduan Meraih Nobel Sastra

A.S. Laksana *
ruangbaca.com
 
Hudan Hidayat mengirimkan pesan singkat yang panjang sekali pada suatu tengah malam ke telepon genggam saya. Dan telepon genggam saya, benda paling tidak canggih yang saya miliki, memenggal-menggal pesan itu menjadi 14 SMS yang datang berurutan dan masing-masing pesan ruwet bunyinya. Saya baru tahu kemudian, dari pembicaraan teman-teman, bahwa pesan singkat yang panjang sekali itu ternyata adalah Memo Indonesia. Sampai hari ini, ketika teman-teman sudah tidak lagi membicarakannya, saya tetap tidak tahu apa isi memo tersebut.
 
Malam itu, dengan paras mengantuk dan hati murung karena gagal menyatukan 14 SMS menjadi satu karangan utuh, saya membalas Hudan: “Dan, sebaiknya kau menulis satu saja cerita yang membuatmu layak mendapatkan hadiah Nobel, ketimbang mengirimiku rombongan spanduk yang menyedihkan ini.” Beberapa kali sebelumnya, ia sudah sering mengirimkan ke telepon saya slogan-slogan dan, saya pikir, dengan produktivitasnya berslogan ia akan lebih berhasil menjadi penulis spanduk ketimbang penulis cerpen. Tetapi malam itu Hudan berjanji akan menulis cerpen seperti yang saya maksudkan.
 
Mudah-mudahan ia bisa mewujudkan janjinya, tetapi kemungkinan besar ia gagal. Menulis karya yang layak Nobel, Anda mafhum, pastilah tidak mudah dan sampai sekarang tidak ada buku panduannya. Memang ada banyak buku teknik menulis di toko, beberapa ditulis oleh orang-orang yang tidak pernah saya jumpai tulisannya selain buku itu sendiri. Ada yang berjudul Menulis Nggak Perlu Bakat atau Menulis itu Seperti Bicara atau Teknik Menulis Buku Bestseller atau Menjadi Kaya dengan Menulis. Saya sendiri menulis Creative Writing: Teknik-teknik terburuk untuk menghasilkan cerpen dan novel. Jauh sebelumnya, Arswendo telah menulis Mengarang itu Gampang.
 
Kita bisa memperdebatkan judul-judul itu –apakah mengarang itu benar-benar gampang atau tidak perlu bakat atau seperti bicara atau seperti menangis –tetapi buku-buku semacam itu saya pikir tetap bermanfaat. Mungkin mereka akan memberi bekal seperlunya kepada Anda, atau membuat Anda sungguh bisa menulis dengan mudah, atau, apes-apesnya, membuat Anda semakin penasaran untuk mencari buku panduan lainnya yang lebih baik.
 
Tentang buku tuntunan menulis karya yang layak mendapatkan Nobel, terus terang, saya terus merindukannya. Mungkin ini kerinduan yang mengada-ada, tetapi, jika buku itu ada, ia akan memungkinkan siapa saja untuk memimpikan puncak pencapaian. Saya kira para pemenang Nobel Sastra punya kredibilitas untuk menulis buku semacam itu. Persoalannya, mereka pasti tidak memiliki kepercayaan diri yang dipunyai oleh para motivator yang gigih mengajari kita cara menjadi makmur dengan mudah, cara menjadi jutawan tanpa bekerja, atau cara menjadi kaya tanpa modal. Mereka juga tidak seperti para penggugah yang pantang lelah memberi tahu kita bagaimana cara menjadi manajer terbaik, menjadi pengusaha nomor satu, menjadi tukang sihir jempolan, atau menjadi pembuat karpet terbang paling tampan. Karena itu, ketika segala hal ditulis menjadi buku, saya tetap tidak menemukan buku panduan cara meraih Nobel Sastra.
 
Kalau buku semacam itu memang tidak akan pernah ada sampai tiba hari kiamat, mestinya patut dipikirkan cara lain untuk melahirkan penulis-penulis yang baik. Sekarang ini saya semakin gentar mendengar pengakuan (atau cibiran?) teman-teman bahwa mereka tidak pernah bisa tahan membaca karya-karya pribumi. Kalaupun mereka mencoba membaca, pembacaan itu pasti mandek di tengah jalan. Pernyataan ini menyiratkan keputusasaan orang terhadap mutu karya-karya penulis kita.
 
Mungkin kita memerlukan sebuah lab atau proyek atau apa pun namanya untuk mengkaji karya-karya terbaik dan bagaimana menghasilkannya. Di bidang ilmu-ilmu eksakta, Yohannes Surya berani mengumumkan “langkah pertama ke arah Nobel”. Ia memelopori proyek penetasan para juara olimpiade fisika, matematika, biologi, dan sebagainya. Ada jangkauan jauh pada proyek tersebut. Kita bicara soal mimpi di sini –juga soal target. Mimpi membuat kita membebaskan diri dari kungkungan kenyataan, atau apa yang diyakini sebagai kenyataan; target memberikan rangsangan pada otak kita untuk mewujudkan sesuatu yang dimimpikan.
 
Target, Anda tahu, bisa berupa tiang jauh yang disasar dari garis tengah lapangan oleh David Beckham ketika ia berlatih menendang bola setiap hari. Target adalah angan-angan Bruce Lee untuk mencapai batas tertinggi kekuatan tubuh manusia yang bisa diupayakan. Dan Bruce Lee diilhami oleh seorang juara lainnya, Muhammad Ali, petinju dengan bobot seratus kilo lebih, yang mampu menari-nari lincah di atas kanvas. Muhammad Ali mendapatkan ilhamnya dari alam: melayang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. Dan Ali tahu apa yang harus dilakukan untuk menjadikan dirinya seperti itu.
 
Kesusastraan kita saya kira sangat memerlukan orang-orang yang tahu apa yang harus mereka lakukan. Sama seperti bidang ilmu-ilmu eksakta, sastra pun tampaknya memerlukan orang yang berani menyerukan mimpi: “Langkah awal menuju Nobel”. Mungkin gagasan ini mengada-ada atau terasa ngelunjak. Tetapi rasanya lebih baik mengada-ada semacam ini ketimbang mengikuti keruwetan yang tak menggeser kita ke mana-mana.
 
Memang kadang-kadang keruwetan bisa terasa sebagai sesuatu yang mengasyikkan, atau tampak seperti sebuah dinamika, sekalipun yang terjadi sesungguhnya sekadar pergunjingan. Keruwetan yang saya maksud ini belakangan tampil dalam bentuk kesibukan orang untuk memelesetkan nama-nama atau membuat memo pribadi atau meraung-raung menodong kebebasan berekspresi. Ada juga yang menyalak keras-keras mempersoalkan puisi yang dianggap menodai malaikat. Malaikat mana yang dimaksud? Yang bersayap unggas atau yang tidak?
 
Saya akui bahwa kadang-kadang saya menyesali keterasingan saya dari “dinamika sastra Indonesia” itu. Keawaman terhadap gunjing-menggunjing menjadikan saya betul-betul tidak tahu, misalnya, kenapa Hudan dan kawan-kawan menyebut-nyebut soal kebebasan berekspresi dalam memo yang mereka bikin. Saya dengar karena Taufiq Ismail, satu orang saja dari dua ratus juta lebih penduduk Indonesia, senewen terhadap cerita-cerita yang bersyahwat-vulgar.
 
Saya menjadi teringat pada Linus Suryadi Ag. dan Pengakuan Pariyem-nya. Dalam karyanya itu Linus ada menuliskan kalimat “… wah, anunya gede banget. Saya marem meladeninya….” Karya itu mendapat sambutan yang baik dan tidak pernah terdengar Linus, semasa hidupnya, meraung-raung meminta hak atas kebebasan berekspresi. Saya kira memang ada cara menulis yang baik dan ada pula cara menulis yang buruk. Dan jalan untuk menghasilkan tulisan yang baik tentunya bisa dilacak dan ditempuh. Sementara ini, sebelum ada proyek ambisius yang diniatkan untuk melahirkan penulis hebat, kita tetaplah harus belajar dan menempuh latihan kita sendiri: dengan membaca karya-karya terbaik, dengan bertekun mengkaji hal-hal apa saja yang membuat karya-karya itu menjadi baik, dan dengan menulis. Saya kira begitu sajalah.
***

*) A.S. LAKSANA, cerpenis kelahiran Semarang, 25 Desember 1968. Ia merupakan lulusan Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004) terpilih sebagai buku sastra terbaik 2004 pilihan Majalah Tempo. Sementara itu, novelnya Cinta Silver (Gagas Media, 2005) difilmkan dengan judul yang sama. Buku-buku kumpulan cerpennya yang lain adalah Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu (Gagas Media, 2013) dan Si Janggut Mengencingi Herucakra (Marjin Kiri, 2015). Sedangkan buku-buku non-fiksinya yang telah terbit, antara lain Creative Writing: Tips dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel (Mediakita, 2007), Podium DeTik (Sipress, 1995), Skandal Bank Bali (Detak, 1999), dan Creative Writing (Banana, 2020). A.S. Laksana pernah menjadi wartawan Detik, Detak, dan Tabloid Investigasi. Selanjutnya, ia mendirikan dan mengajar di sekolah penulisan kreatif Jakarta School. http://sastra-indonesia.com/2010/10/panduan-meraih-nobel-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria