lundi 24 mai 2021

Abdurrahman Wahid: Ketegaran Pluralisme Akar Rumput

 
Mohammad Bakir, M Zaid Wahyudi
Kompas, 23 Mei 2008
 
BAGI sebagian kalangan, kiprah tokoh Nahdlatul Ulama ini sering kali mengundang kontroversi, bahkan rasa tidak simpatik. Namun, di kalangan umatnya warga nahdliyyin, kelompok minoritas, dan mereka yang gigih mendorong pluralisme, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini adalah simbol kebebasan dan kesetaraan.
 
Bicara apa adanya, blakblakan, dan tidak jarang membuat kuping pendengarnya panas. Ungkapan-ungkapan lantangnya tak jarang membuat orang terkaget-kaget. Bagi pria yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren ini, pluralisme adalah keniscayaan sekaligus berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak akan terhapus di bumi Indonesia sampai kapan pun.
 
Perjalanan sejarah bangsa sejak zaman Kerajaan Majapahit telah membuktikan adanya pluralisme itu. Para pendiri Indonesia juga telah mewariskan nilai-nilai utama dalam membangun kehidupan bangsa yang majemuk. Mereka mampu menempatkan antara agama dan nasionalisme secara seimbang.
 
Sikap dan perjuangan Gus Dur membela mati-matian pluralisme tidak datang seketika. Ia memahami sejarah kebangsaan dan ke-NU-an dengan cermat, sebelum akhirnya memilih jalan itu. Tokoh-tokoh NU sejak sebelum kemerdekaan, KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, telah memikirkan bagaimana menempatkan Islam agar dapat berfungsi dalam Indonesia yang majemuk serta menjadikan Islam hidup berdampingan dengan agama lain.
 
Bahkan, pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935, NU telah memutuskan bahwa Hindia Belanda (nama Indonesia waktu itu) tidak memerlukan Islam sebagai ideologi negara. Namun, umat Islam tetap wajib membela negaranya meskipun negaranya tidak berbentuk negara Islam.
 
Keputusan ini pulalah yang membuat NU mengakui Pancasila dan UUD 1945 saat ormas-ormas Islam lain masih memperdebatkannya. UUD 1945 dan Pancasila yang memberikan jaminan atas pluralisme juga banyak mengandung nilai Islam, seperti mewujudkan kesejahteraan bersama serta menciptakan masyarakat adil dan makmur.
 
Sering kali Gus Dur mengutip atau bahkan mendasarkan tindakannya sesuai dengan kaidah ushul fiqih, menanggapi keadaan atau situasi bangsa. Dalam soal kepemimpinan, misalnya, Gus Dur sering mengutip kaidah ushul, tasharruful imam ’alal ra’iyah, manuutun bil maslahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, bergantung pada kemasalahan atau kesejahteraan).
 
Dalam soal pembaruan, Gus Dur juga memakai kaidah ushul al muhafadzatu ’ala al qadimis shalih, wal akhdu bil jadidil ashlah (memelihara sesuatu yang lama tetapi baik, dan menerima sesuatu yang baru, yang lebih baik). Artinya, sikap pluralisme Gus Dur sudah terbangun sejak kecil dan menerapkannya pada era modern. Apa yang selama ini dipahami sebagai tradisi, Gus Dur mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermakna.
 
Lihat bagaimana Gus Dur melihat perbedaan pendapat yang sering kali mewarnai para pendiri NU. Menurut Gus Dur, perbedaan itu tidak sedikitpun mengurangi penghormatan mereka terhadap yang lain serta tidak mengurangi sedikit pun keyakinan agamanya. ”Para pemimpin NU telah mewariskan nilai-nilai toleran dan tahu harus bertindak apa dalam kondisi-kondisi tertentu tanpa mengabaikan keyakinannya,” kata Wahid.
 
Semangat itu pula yang menginspirasinya untuk menjadikan Indonesia yang sejahtera dengan kemajemukan warganya. ”UUD 1945 telah menjamin hak hidup dan kemerdekaan untuk menganut keyakinan dan mengungkapkan pendapat. Ini harus dipertahankan mati-matian apa pun risikonya,” kata Wahid.
 
Kemanusiaan
 
Dalam hidup berbangsa, umat Islam perlu saling mengembangkan dialog dan kerja sama dengan umat agama lain. Hanya dengan dialog dan kerja sama inilah yang akan membuat umat Islam terus belajar dan mampu hidup berdampingan dengan umat lain. Kondisi ini menempatkan Islam bukan sebagai alternatif, tetapi sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa.
 
Memaknai ajaran agama, di mata Gus Dur, juga tidak dapat dilepaskan dari sisi kemanusiaannya. Untuk menjadi penganut agama yang baik, selain meyakini kebenaran ajaran agamanya, juga harus menghargai kemanusiaan. ”Jika kemanusiaan diabaikan, itu adalah pangkal hilangnya nilai-nilai keagamaan yang benar,” katanya.
 
Fundamentalisme yang marak akhir-akhir ini diyakini tidak akan bertahan lama. Gerakan yang dilakukan oleh kelompok radikal agama ini dinilai Wahid hanya memanfaatkan waktu yang tersisa sembari memanfaatkan sokongan dana dari luar negeri. Radikalisme itu tidak akan mengancam pluralisme selama rakyat Indonesia masih meyakini UUD 1945.
 
Bagi kalangan minoritas, Wahid dianggap sebagai pembela utama eksistensi mereka. Masyarakat Papua, etnis Tionghoa, atau umat Nasrani menganggap Wahid sebagai pembela di tengah tentangan dan ancaman politis masyarakat atau negara. Menurut Wahid, pembelaan terhadap kelompok minoritas bukan perjuangan gampang. Oleh karena itu, nasib kelompok minoritas yang selama ini tersisih harus terus diperjuangkan sesuai dengan amanat UUD 1945.
 
”Mereka (kelompok minoritas) hanya ingin diperlakukan sebagai manusia. UUD 1945 telah menjamin perlindungan bagi semua warga negara tanpa pandang agama, etnis, ataupun budayanya. Ini yang saya lakukan,” katanya.
 
Menurut Gus Dur, pemerintah tidak perlu melihat segala tuntutan kelompok minoritas hanya dari kacamata politis. Jika segala tindakan kelompok minoritas dipandang sebagai gerakan politis, berarti negara telah kehilangan penghargaan atas keragaman yang dibangunnya sendiri. ”Pluralisme Indonesia paling kuat dibandingkan negara lain. Karena itu, perbedaan itu tidak perlu dipolitisasi,” lanjutnya.
 
Kegigihannya membela pluralisme inilah yang membuat Wahid pada awal Mei lalu dianugerahi Medals of Valor dari The Simon Wieenthal Center di Amerika Serikat. Ia dinilai gigih memperjuangkan moderasi dalam Islam dan membangun dialog dengan agama-agama lain dan turut menciptakan perdamaian dunia.
 
Negara-negara luar umumnya melihat proses toleransi dan demokrasi di Indonesia tetap baik meskipun semangat fundamentalisme dan radikalisme menguat. Keyakinan ini terlihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat madani yang ada. Namun, negara asing sering kali dibingungkan oleh sikap pemerintah dan birokrasi yang tidak mampu bersikap tegas dalam menghadapi isu-isu agama.
***

http://sastra-indonesia.com/2011/11/abdurrahman-wahid-ketegaran-pluralisme-akar-rumput/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria