mercredi 5 mai 2021

RAHASIA BUBUR PEDAS

T Agus Khaidir *
Kompas, 2 Mei 2021
 
SUAPAN pertama masih lancar melewati tenggorokan. Suapan kedua mulai terasa seret, dan aku perlu bantuan beberapa teguk air untuk meloloskannya pada suapan ketiga. Padahal, dulu, rasa kecewa lantaran gagal mendapatkannya bahkan pernah sampai membuatku meneteskan air mata.
 
”Lumayanlah walau tak seenak bikinan Mak Len,” kata Emak.
 
Aku tiba di rumah lepas tengah hari. Perjalanan Jakarta-Medan dengan pesawat, dilanjutkan tiga jam lebih menumpang bus, menyisakan letih yang menyergap sampai ke pangkal-pangkal tulang. Setelah membersih- kan diri aku jatuh dalam tidur yang lelap. Menjelang petang, kurang 15 menit sebelum waktu berbuka puasa tiba, Emak memanggilku ke meja makan.
 
Emak, Ayah, kakak, dan abang ipar serta dua anak mereka duduk mengelilingi meja. Masih meja yang sama. Sudah berapa tahun berlalu? Di tengah meja, asap tipis dari mangkuk besar berisi bubur pedas didampingi pasangannya yang paling serasi, anyang; sayur pakis dimasak dengan tauge, bawang merah, cabai, dan kelapa parut, mengirim rayuan yang menggelitik perut.
 
”Mak tahu sudah lama kau tak makan bubur pedas. Tak ada di Jakarta, bukan?”
 
Aku geli dalam hati, tetapi mencoba paham. Sejak koran-koran terbitan Medan serentak meminggirkan cerita bersambung dari lembar-lembar halamannya, Emak tak pernah lagi membaca koran. Kata Emak, isi koran sekarang cuma bikin pening kepala. Atas alasan yang sama, Emak juga mempersempit fungsi televisi sekadar untuk mengalirkan kuliah subuh dan dangdut.
 
Maka, wajarlah kalau Emak tak tahu Jakarta sekarang bukan lagi cuma soto betawi dan kerak telor. Bukan hanya nasi ulam, ketoprak, atau kue cucur. Jakarta sekarang tuan rumah bagi makanan-makanan dari seluruh penjuru Nusantara. Termasuk bubur pedas. Memang, setidaknya sampai sejauh ini, bubur pedas belum umum dan dijual di waktu-waktu tertentu. Ramadan, misalnya. Di luar Ramadan susah dicari, kecuali dipesan khusus pada pembuatnya.
 
Namun, Emak juga tidak sepenuhnya salah. Bubur pedas di Jakarta kebanyakan hanya becus memupus selera mata.
 
”Makanlah, dingin nanti berkurang pulak sedapnya,” ucap Emak lagi.
 
Alahai…. Kalau ini, Emak memang sepenuhnya tak tahu. Setelah sekian lama perkaranya tentu tak berhenti sekadar pada perkara sedap tak sedap. Sumpah! Suapan pertama masih terasa terang asin asam dan jejak tajam cabai di ujung lidah. Namun, suapan kedua segera melesatkan kenanganku kepada Mak Len. Mula-mula wajahnya membayang di mangkuk bubur, lalu berkelebat dan melesat ke benakku, membongkar dan merunut potongan-potongan riwayat yang selama ini mengendap entah di mana.
 
Mak Len yang perkasa. Sejak Wak Haji Zainuddin meninggal dunia, dia memilih tidak bersuami lagi. Kepada tiap yang bertanya, Mak Len mengemukakan alasan serupa; di usia yang makin dekat ke batas, dia enggan mengurus laki-laki lain.
 
”Eh, biar tahu kelen, ya. Mungkin awak bisa bahagia, tapi kenangan sama mendiang pasti tak dapat pupus begitu saja. Sesekali pasti datang juga rindu itu. Cobalah sekarang kalian jawab, heh, rumah tangga macam apa yang menyimpan rindu lain di dalamnya? Jadi, tidaklah, tak mau awak menambah-nambah dosa. Lebih baik begini. Bisa awak ke masjid, ke majelis taklim, banyak?banyak mengaji,” katanya.
 
Kalau ada yang usil menyinggung perihal kesepian—suami tak ada anak juga tak punya—jawaban Mak Len tiada kalah tangkas.
 
”Bah, salahlah, kalau kelen sangka itu soal besar. Tahu kelen, untuk orang-orang tua macam awak ini, kesepian cuma ecek-ecek. Kecuali awak dilarang berladang, atau kelen menutup pintu waktu awak datang bertandang. Itu baru masalah,” ucapnya diikuti tawa berderai.
 
Wak Haji Zainuddin dan Mak Len sebenarnya punya satu anak. Perempuan yang tak sempat besar. Anamira namanya. Baru satu bulan lepas empat tahun saat demam berdarah merenggut nyawanya. Cerita Emak, guna memupus pilu Mak Len memintaku. Emak menolak. Kata Emak, di antara empat anaknya, cuma aku laki-laki yang ia punya.
 
Meski kecewa, Mak Len bisa menerima. Dia tetap menganggapku anaknya. Dibanding kakak-kakakku, nyata benar rasa sayangnya padaku lebih besar. Sering dia memberi sesuatu, bahkan tanpa aku memintanya.
 
Pernah satu hari aku pulang dari Masjid Raya dengan air mata bercucuran. Waktu itu Ramadan, dan seingatku, inilah Ramadan pertama yang kutekadkan berpuasa penuh. Sejak tengah hari tak henti kubayangkan cita rasa bubur pedas. Ai! Buburnya yang pas tingkat benar kepadatannya. Lalu sayur, ubi, jagung, dan gurih bumbu-bumbunya, menyatu seimbang. Tidak ada yang lebih dominan dari yang lain. Iyalah! Bubur pedas Masjid Raya memang istimewa karena hanya muncul di bulan puasa. Dimasak satu tong besar, dibagikan percuma kepada siapa pun yang datang. Tak banyak syaratnya. Cukup bawa mangkuk atau rantang sendiri, dan banyaknya tak boleh lebih dari dua.
 
Aku dan sejumlah kawan tiba di Masjid Raya sekitar pukul lima sore, menumpang truk kebun yang kami cegat di jalan ujung kampung. Namun, ternyata kami tak cukup cepat. Bubur sudah habis terbagi. Aku kecewa sekali.
 
Kabar ini sampai ke telinga Mak Len. Esoknya dia datang membawa semangkuk besar bubur pedas. Mulanya kusambut separuh semangat saja. Manalah mungkin bisa menawar kecewa hati, pikirku. Namun, setelah suapan pertama, uihdah, justru kebahagiaan yang meliuk menjalar. Sedap nian! Emak kemudian memberitahu satu rahasia. Sebelum menikah dengan Wak Haji Zainuddin dan dibawa pindah ke kampung kami, Mak Len adalah juru masak bubur pedas di Masjid Raya. Dia mewarisi resep turun-temurun keluarganya. O, pantas!
 
Masih banyak kisah dan kejadian masa lalu yang membuat hubungan kami benar-benar sedekat ibu dan anak. Namun, satu peristiwa merusaknya. Berawal dari kabar yang dibawa Marjili Samsuri. Bilangnya, tanah wakaf sultan yang di atasnya sudah berdiri masjid, sekolah mengaji, dan pekuburan diminta kembali oleh ahli waris.
 
Marjili bagiku masih terhitung paman. Sepupu jauh Ayah. Meski cuma serabutan dan kecil-kecilan, pekerjaannya sebagai makelar tanah sedikit banyak membangkitkan kekhawatiran kami. Jangan-jangan kabar yang dibawanya benar, dan pada akhirnya memang terbukti demikian. Bahkan, bukan hanya tanah wakaf. Seluruh tanah kampung kemudian diklaim oleh Anwar Sadat, konglomerat keturunan entah Arab entah India yang sama sekali tak terkaitpaut dengan sultan atau ahli waris keluarga kerajaan.
 
Kami melawan. Kami mendatangi para ahli waris. Kami menggelar unjuk rasa ke kantor Badan Pertanahan Nasional, kantor gubernur, gedung DPR. Hasilnya nol besar. Kami menempuh jalur hukum, urunan menyewa pengacara lantas menggugat ke pengadilan. Hasilnya juga nol. Pengadilan malah mempertegas keabsahan sertifikat yang entah bagaimana bisa dipegang Anwar Sadat dan menetapkan hari eksekusi.
 
Pada malam setelah vonis dijatuhkan, kami berkumpul di rumah Mak Len untuk membicarakan langkah lebih lanjut. Sebagian bertekad terus melawan. Sebagian menyerah. Aku dan keluargaku termasuk kelompok kedua. Beberapa hari sebelum vonis pengadilan itu jatuh, Atok; ayah Emak, membagi tanahnya dan kami memutuskan pindah ke sana. Ayah berhitung-hitung, ganti rugi yang diberikan cukup untuk membangun rumah baru di atas tanah tersebut. Dan barangkali lantaran merasa segan, malam itu Ayah dan Emak memilih tak menghadiri pertemuan. Mereka mengutusku.
 
”Begitu kata Ayah dan Emak. Awak ikut saja,” kataku saat kelompok yang ingin tetap melawan mempertanyakan alasanku.
 
Sepanjang pertemuan aku tidak bicara apa-apa lagi. Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Mak Len menghidangkan bubur pedas yang malam itu seperti kehilangan rasa di lidahku. Saat pamit pulang, untuk kali pertama dalam hidupku, Mak Len menarik tangannya saat aku hendak menciumnya.
***
 
”EH, masih banyak buburmu?” tanya Ayah menegur. Emak menatap heran.
 
”Tidak enak?” tanya Emak pula.
 
Cepat kusuapkan sesendok ke mulutku. Begitu saja kutelan. Lalu sesendok lagi. Alamak, sekarang bahkan terasa pahit dan tajam saat menyentuh lidah. Namun tak mungkin kusemburkan di depan Ayah dan Emak.
 
”Cepatlah, kau makan. Setelah ini tarawih kita di masjid,” kata Ayah lagi, lantas beranjak meninggalkan meja makan diikuti Emak.
 
”Makanmu makin pelan. Mak sangka perantauan mengajarkanmu cara mengunyah lebih cepat, ternyata tidak,” ujarnya seraya tertawa.
 
Ini pun memang belum berubah. Dulu, teguran Ayah dan Emak mendesakku untuk mempercepat suapan, meloloskan kunyahan-kunyahan yang belum sempurna. Kecuali jika ada Mak Len. Dia duduk menungguku dengan senyum mengembang. Tenang-tenang saja kau, katanya sembari mengacak-acak rambutku. Makan pelan supaya jadi daging, pesannya pula.
 
Ah, akhirnya terbit juga air mataku. Sebulan pascapertemuan terakhir itu aku merantau ke Jakarta, dan kira-kira tiga bulan berselang, Emak berkabar di kampung kami pecah kericuhan besar. Tanah sejumlah warga, termasuk tanah kami, dieksekusi pengadilan. Emak, Ayah, kakak dan abang iparku, sebagaimana kesepakatan kami semula, sudah menyingkir. Pindah dan membangun rumah di tanah pemberian Atok.
 
Mak Len tidak. Dia tetap melawan. Dia menantang para juru sita, menantang polisi dan tentara, menantang kibasan rotan, pentungan karet, moncong bedil, dan deru buldoser. Dia berseru, dunia akhirat tak kurelakan kalian menginjak tanahku!
 
Namun, seberapalah kekuatannya. Mak Len segera jatuh dan terseret-seret. Tubuhnya penuh luka. Pun dia terus menantang, dan baru berhenti setelah benar-benar tak sadarkan diri. Mak Len meninggal enam minggu kemudian. Luka-luka di tubuhnya mulai mengering, tetapi luka di hatinya tak tertanggungkan. Mak Len marah karena, menurut dia, orang-orang kampung tidak kompak, penakut, dan terlalu cepat menyerah.
 
Waktu itu aku tak sempat pulang. Cerita Emak, sesaat sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Mak Len meracaukan kutuk. Taik kucing petatah-petitih kalian, bilangnya. Kalau caranya begini, Melayu betul-betul akan hilang di bumi!
 
Kuhela napas. Bubur di mangkuk masih tersisa separuh.
 
Medan, 2021

*) T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di beberapa media cetak, daring, ataupun sejumlah buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola. https://sastra-indonesia.com/2021/05/rahasia-bubur-pedas/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria