dimanche 27 juin 2021

Jakarta vs Daerah dalam Sastra

Dwi Fitria
jurnalnasional.com

Mengabaikan warna daerah, sebagian pengarang kehilangan (akar) pegangan.

Dalam karya-karyanya, sastrawan Taufik Ikram Jamil kerap mengangkat masalah-masalah lokal yang terjadi di daerah kelahirannya, Riau.Salah satu yang kerap ia angkat adalah kondisi masyarakat miskin yang hingga hari ini jumlahnya tak bisa dibilang sedikit.

Padahal Riau kaya akan kandungan minyak bumi, juga sumber daya alam lain semisal kelapa sawit yang juga menjadi hasil utama salah satu tanah terkaya di pulau Sumatera itu. Otonomi daerah yang diberlakukan sebenarnya memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk memakmurkan Riau sejalan dengan potensi alam melimpah yang dikandungnya.

Sayangnya, berbagai potensi ditambah kesempatan untuk mengembangkan diri ini tidak membuat kemiskinan menjadi fenomena yang makin jarang di tanah Riau. Data mencatat kemiskinan di wilayah kaya potensi tersebut masih mencapai angka di atas 20 persen. Padahal otonomi daerah yang menerbitkan harapan telah diberlakukan di Riau sejak 2001 lalu.

“Sekilas jika dilihat, memang saya seolah menyuarakan protes terhadap Jakarta. Namun sesungguhnya apa yang saya angkat dalam novel-novel saya adalah semata usaha untuk menyuarakan ketidakadilan yang saya lihat sehari-hari di tanah kelahiran saya,” ujar Taufik dalam sebuah wawancara dengan Jurnal Nasional pada Jumat (24/10) lalu.

Dalam membuat karya-karyanya yang kental bernuasa sosial-budaya Taufik memang mengakrabkan diri dengan masyarakat Riau, terutama masyarakat Melayu yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Taufik sendiri tidak melihat pertentangan antara Jakarta dan Riau seperti yang selama ini dianggap jadi pertentangan pusat dengan daerah. Menurutnya yang sebenarnya terjadi adalah, seniman cenderung melihat Jakarta sebagai sebuah tempat, di mana fasilitas dan kesempatan terbuka amat lebar sehingga memberikan peluang amat luas bagi para sastrawan untuk mengekspolorasi diri dengan lebih maksimal.

Kesamaan tema

Pun dalam hal tema, ia merasakan bahwa tema-tema yang dicetuskan para sastrawan yang tinggal di Jakarta banyak memiliki persamaan juga dengan tema-tema yang dicetuskan oleh para sastrawan yang tinggal di daerah. “Sastra tak bisa lepas dari kondisi masyarakat yang menjadi pendukungnya. Saya merasakan, bahwa apa yang tercetus dalam novel-novel adalah nilai-nilai yang sesungguhnya amat universal.”

Proses modernisasi yang terjadi di Jakarta juga terjadi di daerah. “Jakarta memang modern, tetapi bukan berarti hal ini tak terjadi di daerah. Bahkan mungkin lebih dahsyat,” ujar sastrawan yang dilahirkan pada 19 September 1963 di Teluk Belitung, Bengkalis, Riau tersebut.

Jika kemudian nilai-nilai Barat yang marak berkembang dalam novel-novel karya para novelis yang disebut-sebut sebagai para novelis Sastra Wangi, yang mengeksplorasi nilai-nilai yang bisa dianggap modern dalam tanda kutip karena menyoal seksualitas dengan cara yang amat gamblang, semisal Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu, Taufik melihatnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara saja. “Itu cuma semacam euforia saja, tidak lebih dan tak kurang, tidak menggambarkan kondisi sastra Indonesia dalam waktu yang lebih panjang.”

Taufik sendiri lebih melihat pertentangan antara pusat dan daerah itu lebih kepada perjuangan untuk tetap bertahan mengeksplorasi apa yang memang merupakan kekayaan daerah masing-masing. “Semisal para sastrawan Bugis yang tak lagi membahas soal kepulauan,” kata Taufik. “Yang ada hanya gaya-gayaan. Dan eksplorasi yang sifatnya pragmatis saja, sesuai dengan sifat manusia Indonesia sebetulnya,” ujar Taufik.

Ini sebenarnya menggambarkan kondisi sastra nasional yang saat ini menurutnya sudah kehilangan akarnya. “Sudah kehilangan pegangan dan pijakannya pada tradisi, dan saya melihat kondisi ini nyaris di tiap daerah,” ujar sastrawan yang memenangkan banyak penghargaan untuk karyanya Sandiwara Hangtuah.

Di Indonesia jenis sastra lokal yang mengangkat kekayaan masing-masing daerah, yang menjadi tempat itu berasal dimasukkan ke dalam kategori sastra subkultur. Sayangnya dalam ranah sastra Indonesia, jenis sastra yang satu ini kurang berkembang dengan baik. 

Ini lebih karena tak di semua daerah sastra subkultur memiliki eksponen yang piawai mengolah kekayaan budaya daerahnya ke dalam bentuk sastra. Selain itu, bentuknya yang khas membuat jenis sastra ini agak sulit bersaing dengan ragam sastra lain yang lebih mengikuti mainstream.

Ronggeng Dukuh Paruk

Setelah di tahun 1950-an Ajip Rosidi tidak begitu berhasil membuat sebuah gerakan untuk mengangkat warna kedaerahan dalam sastra Indonesia, di tahun 1980-an muncul kecenderungan mengangkat warna daerah dalam sastra Indonesia.

Menurut Gunoto Saparie dalam tulisannya Wacana: Nuansa Lokal dalam Sastra Indonesia, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG menjadi pemicu kebangkitan warna lokal ini.

Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan tentang kehidupan Srinthil, seorang ronggeng yang tersohor namun harus berakhir tragis akibat peristiwa 65. Latar sebuah desa miskin di pulau Jawa, menjadi bagian terkuat dari novel ini.

Di kalangan para penulis generasi baru, Gus tf Sakai membuat karya-karyanya dengan budaya Minangkabau yang ketat, semisal lewat novelnya Tambo. Zawawi Imron mengangkat warna Madura yang kental dalam puisi-puisinya, sebagaimana Acep Zamzam Noor menjadikan desa Cipasung dan daerah Tasikmalaya sebagai sumber inspirasi yang tak kunjung kering dalam sajak-sajaknya.

Sementara penyair Raudal Tanjung Banua kerap menampilkan pembacaan puisi dengan membawakannya mirip dengan gaya berdendang para pemusik minang. Di era sebelumnya Sutardji Calzoum Bachri berhasill mengolah mantra menjadi teknik pembacaan puisi yang membawa angin segar sekaligus membuat kejutan tersendiri dalam khasanah sastra Indonesia.

Meski kerap mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan permasalah sosial yang terjadi di daerahnya di dalam karya, Taufik Ikram Jamil sendiri menolak jika karya-karyanya kemudian dikategorikan dalam genre sastra yang satu ini.
***

http://sastra-indonesia.com/2008/12/jakarta-vs-daerah-dalam-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria