vendredi 4 juin 2021

Kemelut Kasta di Ngada

 
Yohanes Sehandi *
Warta Flobamora (Surabaya), Edisi 87, Th 9, 2021
 
Pada akhir 2020 terbit novel bagus dalam sastra NTT berjudul Kemelut Kasta karya Aris Woghe. Novel ini diterbitkan Penerbit CV Jejak, Sukabumi, dengan tebal 264 halaman. Aris Woghe lahir di Ngada, Flores, NTT, pada 1986. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDI Warikeo dan SDN Sobo, pendidikan menengah di SMP dan SMA Seminari Mataloko, dan pendidikan tinggi di UPN Veteran Surabaya dan UGM Yogyakarta. Kini berkarya di Ngada, Flores, NTT.
 
Novel ini dibedah secara virtual oleh Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero (STFK Ledalero) pada Sabtu, 13 Februari 2021. Menghadirkan Aris Woghe sebagai penulis novel, Yohanes Sehandi sebagai pengamat dan kritikus sastra NTT dari Universitas Flores, dan Emilianus Yakob Sese Tolo sebagai peneliti dan sosiolog dari STFK Ledalero. Moderator bedah novel Anita Naja, mahasiswa STFK Ledalero. Dihadiri sekitar 250 peserta yang tersebar di seluruh Indonesia.
 
Novel ini mengangkat tema feodalisme kasta tinggi dalam masyarakat Ngada. Feodalisme ini mengekang kebebasan individu dan menghambat terbentuknya masyarakat yang terbuka, egaliter, dan demokratis. Feodalisme yang dimaksudkan di sini adalah sistem sosial dan budaya yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan masyarakat tertentu.
 
Awal kisah terjadi di Desa Manusolu, sebuah desa kecil di Ngada, sewaktu Simon bertemu dan jatuh cinta pada gadis Maria. Keduanya berpacaran. Kemelut terjadi karena orang tua Maria beserta pemangku adat Desa Manusolu menolak Simon menikahi Maria. Alasannya, Maria anak Pak Lambert dari kasta tinggi, sedangkan Simon anak Pak Tani dari Desa Binti dari kasta rendah. Kemelut semakin runyam, karena Maria dan Simon melarikan diri menjadi TKI di Malaysia.
 
Sebagai pemangku kepentingan tradisi kasta tinggi, Pak Lambert sudah mengingatkan anaknya Maria, agar jangan berpacaran dengan Simon anak miskin dari kasta rendah. Dengan tegas ia mengingatkan Maria: “Kamu perempuan, ahli waris keluarga sekaligus penerus keturunan. Sekali darahmu bercampur dengan darah pria yang tidak sederajat, ternoda oleh karena cinta buta, rusaklah generasi kita. Di pundakmu, martabat keluarga dipertaruhkan” (halaman 10).
 
Tentu saja, Maria menolak sikap feodalisme kedua orang tuanya. Bukan sekali dua Maria menentang sikap feodalisme itu. Namun, tidak mampu meredakan sikap arogansi Pak Lambert kepada Maria: “Diam, anak durhaka!” bentak bapaknya memotong Maria. “Dari mana kamu belajar pandangan sesat seperti itu? Sekali lagi kamu bicara sembarang, saya sumbat mulut kamu yang lancang dan kurang ajar. Bapak hanya ingin mempertahankan kemurnian keturunan kita. Apa kamu mau kehilangan kehormatan hanya gara-gara mempertahankan cinta butamu itu?” (halaman 44-45).
 
Kepada anak mantunya Simon, Pak Lambert, tidak pernah kendor mengumpat harubiru dan serampangan: “Dasar biadab, miskin dan tidak tahu adat. Mau lari sampai ke mana! Suatu saat akan berhadapan juga dengan saya. Jangan panggil saya Lambert, bila parang ini tak menebas leher dan mengakhiri kebiadabanmu,” katanya sambil mengacungkan parang tinggi-tinggi (halaman 188).
 
Klimaks novel ini terjadi pada waktu Maria diusir dari Desa Manusolu lewat upacara adat pengusiran yang berlangsung di ngadhu atau rumah adat. Antiklimaks terjadi pada waktu Pak Lambert menjemput anak mantunya Simon untuk kembali ke Desa Manusolu, agar hidup bersama istri, anak, dan keluarga besar. Seluruh rangkaian alur novel ini dibangun dengan bagus dengan alur cerita yang menarik, menggetarkan, dan di bebarapa bagian penuh kejutan.
 
Seperti kata pepatah, sebiadab apapun seseorang, yang namanya manusia, tetap mempunyai hati nurani. Itu yang terjadi pada diri Pak Pak Lambert pada waktu usianya sudah senja dan sakit-sakitan. Raut wajah penyesalan, tersirat di balik keriput wajah tuanya. Kepada Simon ia meminta: “Pulanglah ke Manusolu. Setiap jam, setiap menit dan setiap detik, Maria merindukan kehadiranmu. Kembalilah ke rumah kalian berdua dan berbahagialah hingga malaikat maut datang menjemput. Jangan kamu ragu. Buang semua prasangka buruk, karena saya ingin kita terlahir sebagai manusia baru” (halaman 261).
 
Tinjauan kritis saya terhadap novel ini, dari segi nama para tokoh dan ciri khas bahasa yang mereka gunakan. Semua nama tokoh dalam novel ini tidak membumi. Nama mereka adalah nama santu dan santa dalam agama Katolik. Tidak ada satu pun nama tokoh yang menunjukkan mereka orang Ngada, misalnya Bagho, Watu, Dhiu, Bhebe, Mogo, Lako, Djawanai. Untuk panggilan sehari-hari, boleh pakai nama santu dan santa, seperti Simon, Maria, Lambert, Vero, Teresa, Anton, dan lain-lain, tetapi sesekali harus disebutkan juga nama lengkapnya sebagai orang Ngada. Dari segi nama, terkesan novel ini tidak membumi, tidak kontekstual, padahal berlatar Ngada.
 
Penggunaan bahasa Indonesia para tokoh juga tidak menunjukkan logat berbahasa orang Ngada. Dialog-dialog para tokoh menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak ditemukan sekalipun bahasa daerah Ngada dipakai para tokoh. Mama Teresa dan Mama Vero yang tidak sekolah saja, bahasanya cukup bagus. Mestinya, bahasa setiap tokoh dalam dialog-dialog yang dibangun novelis harus menunjukkan kekhasan dan latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, budaya setiap tokoh. Dalam novel ini, terkesan bahasa para tokoh sama saja dengan bahasa penulis novel, kurang menunjukkan ciri khas cara berbahasa orang Ngada.
 
Unsur gaya bahasa atau seni berbahasa dalam novel ini digarap penulis dengan bagus. Penulis dengan piawai melukiskan suasana batin (psikologis) para tokoh yang sedang bergejolak dengan pelukisan suasana alam dan lingkungan yang mendukung. Misalnya, kalau ada tokoh yang sedang dilanda asmara, alam dan lingkungan sekeliling ikut riang gembira. Sebaliknya, kalau ada tokoh yang sedang dirundung malang, alam dan lingkungan juga ikut berduka.
***
 
*) Yohanes Sehandi, Pengamat dan Kritikus Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.

http://sastra-indonesia.com/2021/06/kemelut-kasta-di-ngada/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria