dimanche 27 juin 2021

POTRET BETAWI DALAM PUISI-PUISI RIDWAN SAIDI

Maman S. Mahayana *
 
Sastra Betawi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sastra Indonesia, selama ini berada dalam posisi marjinal, terpinggirkan. Padahal, jika kita merunut ke belakang, ke sejarah awal pertumbuhan kesusastraan Indonesia, maka boleh jadi embrio pembentukan sastra Indonesia justru dimulai dari sastra Betawi, kesusastraan Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu-Betawi yang kemudian secara sepihak dikategorikan sebagai bacaan liar.[1] Lihat saja, sebelum golongan peranakan Tionghoa memanfaatkan alat cetak yang mengawali perkenalan dengan majalah da suratkabar berbahasa Melayu,[2] Mohammad Bakir telah merintis pekerjaan mengarang sebagai profesi.[3] Ia menulis-mengarang buku-buku cerita dan meminjamkannya ke masyarakat dengan bayaran tertentu.[4] Rumahnya menjadi tempat penyewaan naskah-naskah koleksinya. Itulah yang kini disebut sebagai taman bacaan.[5]
 
Sejak berdiri Balai Pustaka dan kemudian menjadi mesin kebudayaan pihak kolonial Belanda, kesusastraan Melayu-Betawi dan kesusastraan Melayu-Tionghoa, tetap saja dianggap berada di luar mainstream. Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt Madjoindo (1956) Sastra Betawi dan para pengarang Betawi, seperti nyaris tak terdengar. Bahkan posisi Firman Muntaco yang bercerita tentang kehidupan Betawi dan menggunakan bahasa Betawi, dan SM Ardan yang bercerita tentang dunia Betawi dengan deskripsi bahasa Indonesia, ditempatkan dalam dua kotak yang berbeda: sastra Betawi dan sastra Indonesia.
***
 
Berbeda dengan yang terjadi pada diri penyair Tuty Alawiyah dan Susy Aminah Aziz yang coba mengungkapkan kegelisahan diri keperempuanannya dalam larik-larik puisi berbahasa Indonesia. Ia tidak dimasukkan sebagai sastrawan Betawi dalam pengertian etnik, melainkan sebagai sastrawan Indonesia. Nama-nama itu juga tenggelam oleh sejumlah nama besar.
 
Kini, khazanah sastra Indonesia telah mencatat lagi beberapa nama, seperti Zeffry al-Katiri, Yahya Andi Saputra, dan belakangan Ridwan Saidi. Masing-masing dengan caranya sendiri coba menawarkan bentuk estetiknya sendiri. Zeffry al-Katiri seperti coba hendak merekronstruksi-merevitalisasi-mengevaluasi dan menafsir ulang potret Betawi masa lalu. Dari sana kita dapat menangkap potret masa lalu Betawi dengan inklusivisme masyarakatnya, dengan berbagai keberagamannya. Yahya Andi Saputra, justru tidak melakukan itu. Ia bisa berbicara apa saja seperti penyair lain yang bertebaran.
 
Ada ciri khas “dan itu penting” yang coba dikedepankan Ridwan Saidi dalam sejumlah puisinya itu yang kemudian menjadi lain sama sekali ketika kita membandingkannya dengan Zeffry dan Yahya, dua penyair yang tadi disebutkan. Ridwan Saidi seperti membiarkan bebas begitu saja kosa-kata Betawi bertebaran di sana-sini.[6] Maka, dengan cara itu, semangat kultural yang mendekam dalam teks sastra, justru terasa lebih pas merepresentasikan semacam potret budaya, potret masyarakat, dan potret penyairnya yang coba melakukan kritik.
 
Kosa kata Betawi yang bertebaran dalam puisi-puisi Ridwan Saidi, tidak sekadar pamer istilah, tempelan, artifisial, atau hendak menunjukkan diri penyairnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia dan masyarakat Betawi, melainkan justru memantulkan ciri estetik yang erat berkaitan dengan sikap budaya masyarakatnya. Sejak awal, kultur Betawi wujud seperti sebuah hibrida. Ia menerima siapa pun atau apa pun yang dianggap baik, tanpa harus membuang atau mengganggu produk yang ada dan sudah terpelihara. Maka, proses akulturasi dan inkulturasi seperti berlangsung begitu saja, tanpa ketegangan, tanpa friksi.
 
Dalam konteks itu, Betawi sesungguhnya laksana miniatur Indonesia yang apa pun yang datang dari negeri mana pun, diterima begitu saja dengan suka cita, sejauh dianggap baik dan tak menyentuh persoalan ideologi. Dalam pada itu, mereka juga tidak serta merta membuang yang sudah ada, ketika segala yang baru diterima. Semua diterima, semua dipelihara, dan semuanya mendapat tempat!
 
Selain persoalan itu, hal lain yang juga penting adalah semangat egalitarian, kelugasan, keikhlasan dan sikap masyarakatnya dalam menghadapi persoalan apa pun. Periksalah puisinya yang berjudul “Robohnya Labuhan Kalapa”. Sebuah kisah sejarah yang menggambarkan perang besar berebut pengaruh dan kekuasaan berbagai kerajaan atau kesultanan di Pulau Jawa. Dan pusat perebutan itu tidak lain adalah Sunda Kelapa. Tidak syak lagi, itu sebuah kisah yang fenomenal, menyejarah dan tidak dapat dibuat main-main. Puisi itu memaksa kita mencari cantelan di luar teks, yaitu peristiwa sejarah. Tetapi apa yang terjadi dalam puisi itu? Periksalah kutipan berikut:
 
Si Jagur ada tangannya lagi ngepelin
Jeriji empat jempol diselipin
 
Kayak tangan Bima lambing kejantanan
Kok sekarang jadi kode persetubuhan?
 
Sebuah wacana besar yang diungkap dalam puisi itu menunjukkan wawasan penyair yang begitu luas, tetapi juga laksana hendak merevitaliasi atau menafsir ulang sejarah masa lalu dalam konteks kekinian.
 
Puisi yang berjudul “Orang Pula Orang Pesisir” boleh jadi lebih dekat merepresentasikan sikap budaya masyarakat Betawi yang lugas, bebas, tanpa beban, tanpa pretensi, dan terkesan suka-suka. Apa pun masalahnya, berat-ringat, serius atau tidak, dapat disampaikan dengan cara demikian. Dengan begitu kita dapat melihat bahwa puisi Ridwan Saidi itu, tidak sekadar mewartakan sebuah atau serangkaian persoalan yang menimpa masyarakatnya, melainkan juga semangat budaya. Dalam hal ini, puisi (: sastra) selain menjadi dokumen sosial, juga sebagai pantulan sikap dan perilaku masyarakatnya.
 
Dengan cara demikian pula, kisah-kisah sejarah yang fenomenal (“Robohannya Labihan Kalapa”) atau kepahitgetiran oarng-orang pesisir, dapat disampaikan tanpa beban, lepas bebas, dan suka-suka. Periksa beberapa larik puisi itu yang dikutip berikut ini:
 
Hidup itu asyik betul
kata kultul
Hidup itu mengaso
kata roko-roko
Hidup itu ngejedok
kata blekok
Hidup itu getir
kata orang pula orang pesisir
 
Bagaimana sebuah paradoks dibenturkan: manusia dan unggas yang ternyata lebih berbahagia unggas daripada manusia (orang pesisir). Dalam suasana ketercampakan itu, dalam keadaan hidup manusia yang lebih buruk daripada unggas itu, keikhlasan dan menerima segalanya begitu saja adalah hal yang lain lagi.
 
Saingan di laut kapal keduk kurang ajar
Nelayan negara jiran berjiwa barbar
Tapi rejeki tak ketukar
Ada saja yang bisa dibawa pulang
Ada bini biar pada madang
Nyainya anak-anak kepengen kutang
Yang kelirnya merah kayak putu mayang
Buat simpan uang ada kantongnya sepasanga
Mak pasti girang
 
Begitulah, betapa pun pahit-getirnya hidup bagi orang pesisir itu, kepasrahan dalam menerima nasib, keyakinan dalam soal pembagian rezeki, menjadikan mereka dapat menjalani kehidupan seperti tanpa beban. Dalam bait itu pun, sesungguhnya tampak pula semangat guyon, becanda dalam suasana apa pun.
 
Lihat juga puisi berikutnya “Pictograph di Atas Pasir” yang masih tetap memperlihatkan semangat lepas, bebas, lugas, tanpa beban dalam menghadapi kehidupan ini. Maka, apa pun masalahnya, serius atau tidak, kecil atau besar, segalanya bisa saja diperlakukan sambil becanda, guyon.
 
Si tokoh liris, Musanip bin Bokir, dihadapkan dengan kenyataan hidup yang makin pahit dengan para petinggi negara yang makin tidak peduli pada rakyatnya. Dan ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tak berdaya, tak dapat berbuat apa-apa, kecualimembuat goresan-goresan piktograf: Ini ekspresi Betawi yang sudah menzaman/Kepahitan dan keperihan/hati yang terlaluka oleh keadaan/dan oleh mereka yang berjudi kekuasaan/ Sembari nasib rahayat dipake taruhan/Persis kayak duit gobangan//
 
Dalam situasi seperti itu, titik kulminasinya adalah sebuah paradoks tentang perlawanan yang sia-sia.
 
Ha ha ha ha ha ha ha ha ha
Biar lu tau rasah pada
Emang gue tanpa daksa apa
Gak bisa apa-apa uda
Lu sala
Ha ha ha ha ha ha ha ha ha
Batidur rata
Ata dilakiw mutu-mutu jahe
Lu trima nih kiriman gue
Musanip rame amat sih emang ada apa-an
Mujenah gadis kencur penjaja jagung rebus setampahan
mendekati Musanip yang memandang pasir penuh goresan
Idih apa-an Mujenah keheranan
Ini pan gambar kontol-kontolan
Mujenah lari blingsatan bahna ketakutan
Sambil jejeritan
Semua pada kesetanan
Musanip yang keorangan
Malah ketawa cekikikan
***
 
Begitulah, hampir keseluruhan puisi-puisi yang terhimpun dalam antologi Lagu Pesisiran: Puisi-Puisi Betawi karya Ridwan Saidi ini, tidak dapat lain: Betawi banget! Di sana, kita menemukan kosa kata Betawi yang memang pas tempatnya di situ. Kata ngebak dalam puisi “Kali Ciliwung” memang tidak pas benar jika diterjemahkan bermain air, mandi berlama-lama, mandi sambil bermain-main, dan seterusnya. Kata ngebak, khas ungkapan untuk menunjukkan anak-anak yang (suka) bermain di sungai atau kolam berlama-lama. Meski begitu, dalam beberapa hal, kata-kata Betawi atau kata Jawa atau Sunda, Belanda, atau apa pun bisa begitu muncul, semata-mata lantaran tuntutan tema cerita. Di belakang itu, tampak bahwa masyarakat Betawi dapat begitu gampang menerima pengaruh dari mana pun. Ia merepresentasikan inklusivisme, terbuka dalam menerima apa pun, sejauh dianggap baik.
 
Secara keseluruhan, “Lagu Pesisiran” merupakan potret Betawi “fisik dan psikis”nya. Maka, yang terungkap adalah wilayah-wilayah Betawi yang tegusur, kondisi sosial ekonomi yang termarjinalkan. Sementara yang berkaitan dengan persoalan psikis masyarakat Betawi, terungkaplah, betapa Betawi masih mempunyai harapan, betapapun pahitnya. Maka, selain otokritik tentang Jakarta yang terus kebanjiran, tentang Ciliwung yang kini tak lagi dapat dipakai ngebak atau tentang kisah si Pitung, segalanya seperti sebuah pewartaan kisah Betawi masa lalu dan masa kini.
 
Terlepas dari persoalan tematik itu, Ridwan Saidi tampaknya hendak menempatkan antologi puisi ini sebagai sebuah saluran besar untuk menumpahkan berbagai kisah tentang Betawi. Ia sekadar berkisah, tanpa beban, lepas, lugas. Justru dengan begitu, kita seperti berhadapan dengan kelakar panjang kisah masyarakat Betawi, seperti dongeng enteng pasosore, orang Sunda. Ada kegetiran dalam kelakar itu, tetapi tokh tetap juga harus dihadapi sebagai sebuah fakta, seperti kehidupan itu sendiri yang harus dijalani mengalir begitu saja. Dan Ridwan Saidi enteng saja berkisah tentang masyarakatnya dari berbagai penjuru. Boleh jadi lantaran ekspresinya yang tanpa beban itu, maka kita bahagia saja menikmatinya, betapapun di situ ada kisah getir dan pahit.
 
Bagaimanapun juga, jika kita meyakini, bahwa sastra sebagai roh kebudayaan dan di sana ada representasi sikap budaya masyarakatnya, maka antologi puisi ini, sungguh, Betawi banget. Di balik itu, boleh jadi masyarakat Betawi ini pun seperti miniatur masyarakat Indonesia ketika ia menerima dan memperlakukan kultur asing sebagai sesuatu yang baik jika tak menyinggung persoalan idelogi. Jadi, boleh juga antologi ini sebagai salah satu pintu masuk untuk memahami kultur Indonesia secara keseluruhan. Kiranya begitu!
 
Bojonggede, 21 September 2008
 
[1] Periksa Maman S. Mahayana, Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005, terutama pembicaraan mengenai “Sistem penerbitan Sastra Indonesia,” hlm. 323-332, dan “Yang Tercecer dalam Sejarah Sastra Indonesia,” hlm. 389-414.
 
[2] Cermati Md. Sidin Ahmad Ishak, Penerbitan dan Percetakan Buku Melayu 1807-1960 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998) dan Ahmat Adam, Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (Jakarta: Hasta Mitra, 2003). Periksa juga Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).
 
[3] Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, tinggal di Kampung Pecenongan Gang Langgar Tinggi, Betawi. Ia penulis produktif, menyalin atau mengarang sendiri. Ada 28-an naskah yang dihasilkan Bakir. Ia kemudian membuat semacam taman bacaan yang menyewakan buku-buku koleksinya. Henri Chambert-Loir mencatat, sedikit ada 70-an judul naskah koleksi Muhammad Bakir. Periksa Henri Chambert-Loir, “Muhammad Bakir: A Batavian Scribe and Author,” Rima, Vol, 18, 1984. Lihat Dewaki Kramadibrata, Hikayat Sempurna Jaya: Cerita Wayang Melayu Kreasi Muhammad Bakir (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1991), tesis tidak dipublikasikan.
 
[4] Dalam naskah Hikayat Maharaja Gerebeg Jagad, ada kolofon yang menyatakan bahwa naskah itu selesai ditulis pada 29 Rabiul akhir Hijratun Nabi Sallalahu alayhi wassalam sanat 1310 atau 19 November 1892. Dinyatakan pula, bahwa Bakir sebagai orang miskin yang mempunyai anak-istri. Tidak mempunyai pekerjaan, dan hanya mengharapkan pemasukan uang dari penyewaan hikayat dengan tarif sehari-semalam sebesar 10 sen untuk setiap naskahnya.
 
[5] Di Jakarta, tempat-tempat penyewaan naskah pada masa itu terdapat di daerah Kerukut, Pecenongan, Kampung Jawa, Kampung Peluit, Kampung Tembora, Sawah Besar, Kampung Sawah Jembatan Lima, dan Tanah Abang. Pemilik naskah lazimnya janda yang mengandalkan penghasilan dari usahanya menyewakan naskah. Nama-nama -pemilik naskah antara lain, Mak Kecil, Mak Tembora, Mak Pungut, Nyonya Sawang, dan Nyonya Rahima.
 
[6] Langkah Ridwan Saidi tentu saja bukan hal yang baru. Ajip Rosidi, Ayatrohaedi, Dodong Djiwapradja, Ramadhan KH adalah beberapa penyair Sunda yang sangat menyadari ketidakberdayaannya ketika kosa kata bahasa ibunya (Sunda) muncul begitu saja dalam ekspresi kreatifnya. Linus Suryadi dan Darmanto Jatman (Jawa), Zawawi Imron (Madura), atau Taufik Ikram Jamil (Melayu), juga sering kali enteng saja menyelusupkan kosa kata etniknya. Tentu saja penyairnya sendiri sangat menyadari, betapa dalam banyak hal tertentu, bahasa ibunya lebih dapat mewakili unek-uneknya ketika sesuatu hendak diungkapkan dalam bahasa Indonesia.
***

*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2009/03/potret-betawi-dalam-puisi-puisi-ridwan-saidi/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria