mercredi 14 juillet 2021

Baca Sastra? Buang Waktu Saja!

Djoko Pitono *
jawapos.com
 
ZAMAN sulit gini masih baca buku sastra? Sorry ya, buang-buang waktu saja! Itu hanya untuk orang-orang edan yang kurang kerjaan!Bayangkan, pernyataan ini muncul saat panitia Gebyar Buku Murah 2009 di DBL Arena, berencana meluncurkan novel Karti Kledek Ngrajek, Selasa (24/3). Acara itu mendatangkan dua sastrawan kawak, penyair Zawawi Imron dan Ahmad Tohari, novelis yang kondang dengan karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk (1981).
 
Ya, mengapa banyak orang membuang-buang waktu membaca cerita-cerita khayal, yang sering tak masuk akal pula? Seperti Harry Potter yang pintar main sihir? Mengapa novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer, Gabriel Garcia Marquez, dan Ernest Hemingway diterjemahkan ke puluhan bahasa dan laris di banyak negara? Mengapa pula tokoh besar seperti Bung Karno suka baca buku-buku sejarah dan karya drama? Mengapa John F. Kennedy senang puisi-puisi Robert Frost, dan Jimmy Carter terpesona syair-syair Dylan Thomas?
 
Pertanyaan itu mungkin akan berlanjut ketika seseorang membaca laporan The New York Times (NYT) belum lama ini. Laporan itu, Reading on the Rise: A New Chapter in American Literacy, dikeluarkan berdasar data dari Survei Partisipasi Publik dalam seni yang dilakukan Biro Sensus Amerika Serikat pada 2008. Di antara temuan dari survei tersebut, untuk pertama kalinya sejak 1982, proporsi orang dewasa 18 tahun ke atas yang membaca karya sastra dalam 12 bulan terakhir telah meningkat. Rinciannya, pada 1982 tingkat warga yang membaca karya-karya sastra –novel, cerpen, puisi atau drama dalam bentuk cetak atau online– tercatat 56,9 persen. Tahun 1992 turun menjadi 54 persen, dan pada 2002 turun lagi tinggal 46,7 persen Namun pada 2008 meningkat lagi, menjadi 50,2 persen.
 
Berita tersebut muncul di saat industri penerbitan berkutat dengan penurunan oplah di tengah iklim ekonomi yang buruk. Sebagian media bahkan sudah bangkrut.
 
Proporsi orang dewasa yang membaca karya sastra belum melampaui proporsi pada 1982 atau 1992, dan proporsi mereka yang membaca puisi dan drama terus menurun. Namun proporsi secara keseluruhan meningkat di semua kelompok usia, etnis, dan kategori demografis sejak 2002. Peningkatan itu terlihat dramatis di antara generasi muda usia 18 hingga 24 tahun, yang sebelumnya merosot.
 
”Memang telah terjadi perubahan budaya yang berarti dalam komitmen masyarakat untuk membaca karya-karya sastra,” kata Dana Gioia, ketua National Endowment for the Arts. ”Dalam iklim budaya di saat kita hanya mendengar berita-berita buruk, kita sekarang mendapati fakta yang meyakinkan bahwa kecenderungan itu telah berbalik.”
 
Gioia mengatakan, membaca sastra di internet dimasukkan dalam data 2008, namun pertanyaan utama tak berubah sejak 1982. Tetapi, ia menyebutkan, dirinya tidak melihat perubahan tingkat membaca sastra itu akibat adanya internet. Ia mengatakan, peningkatan itu adalah berkat program-program komunitas seperti klub buku ”Big Read” yang dipandu Oprah Winfrey, buku serial Harry Potter dan Twilight karya Stephenie Meyer yang sangat populer. Juga berbagai upaya para guru, pustakawan, orang tua, dan tokoh-tokoh masyarakat.
 
Banyak kalangan, termasuk para penerbit buku sastra dan para pengarang, gembira mendengar laporan tersebut. Tetapi, jelas, buku-buku sastra bukan sekadar urusan para pengarang dan penerbit. Buku-buku sastra sangat dibutuhkan untuk membersihkan jiwa manusia dan meningkatkan rasa simpati terhadap sesama manusia lainnya.
 
Tentang hal ini, Ahmad Tohari pernah mengajukan sinyalemen bahwa salah satu sebab kekacauan politik di Indonesia adalah karena para pemimpin nasionalnya tak pernah membaca karya-karya sastra. Orang boleh tidak sependapat, tetapi karya-karya sastra yang membedakan tokoh-tokoh seperti Bung Karno, John Kennedy, dan Jimmy Carter dengan tokoh-tokoh lainnya. Simpati dan perasaan keadilan mereka terhadap orang-orang yang terinjak-injak dan keserakat hidupnya amat menonjol. Mereka lebih humanis. Ini mungkin, seperti kata novelis Stephen King, fiksi adalah kebenaran di balik kebohongan. Atau dalam ungkapan penyair Ralph Waldo Emerson, fiksi mengungkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.
 
Karya-karya fiksi memang perlu ditumbuhkan, kata novelis Belinda Seaward, yang terkenal dengan karyanya, Hotel Juliet. Menurut dia, ketika kita meluangkan waktu untuk membaca fiksi, kita ingin tahu beragam karakter, setting dan ikut terhanyut dalam cerita-ceritanya. Membaca karya fiksi secara benar membutuhkan upaya keras. Begitu kita membaca sebuah buku, kita praktis “menyetubuhinya”. Kita tidak bisa membaca fiksi dengan pasif dan mengaku telah menikmatinya. Kita harus (ikut) merasakan kesedihan, penderitaan, kegembiraan, atau ketakutan.
 
”Bila kita membaca, kita menempatkan diri dalam situasi-situasi khayal secara intens yang tak pernah kita impikan dalam realitas. Ini memperkaya kita, membebaskan kita. Kita mungkin terlambat kerja, tertahan lagi oleh keterlambatan kereta, tetapi buku di tangan kita memberikan pada kita kesempatan untuk menjadi lebih dari sekadar diri sendiri,” kata Seaward.
 
Mau menjadi pengusaha yang baik? Bacalah karya-karya sastra, kata Russell Kirk, penulis buku The Conservative Mind. Dalam artikelnya 50 tahun yang lalu berjudul The Inhuman Businessman, Kirk mengatakan bahwa para pengusaha ”kurang disiplin dalam menumbuhkan imajinasi yang baik dan karakter moral yang kuat”, dan ia menyebut ini tidak baik bagi Amerika.
 
Di dunia pers, para jurnalis top banyak dibentuk oleh kesukaan mereka membaca karya-karya sastra. Laporan-laporan mereka jadi lebih hidup. Sebagian mereka juga menjadi sastrawan terkemuka, seperti Gabriel Garcia Marquez dan Ernest Hemingway. Keduanya adalah pemenang Hadiah Nobel Sastra.
 
Benar sekali ungkapan bahwa keindahan fiksi sebagai sebuah bentuk seni ibarat ruang angkasa yang terbuka. ”Banyak hal dapat terjadi. Novel yang bagus selalu royal kepada para pembacanya. Setiap kali kita membaca sebuah cerita yang menyentuh, kita menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi kita sendiri,” kata Seaward.

*) Djoko Pitono adalah editor buku. http://sastra-indonesia.com/2009/03/baca-sastra-buang-waktu-saja/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria