dimanche 18 juillet 2021

Dari Pentas Blakotang Bengkel Muda Surabaya

: Mentertawakan Kemiskinan
 
S. Jai *
Radar Surabaya, 6 Juni 2010
 
TERTAWA sebetulnya adalah peristiwa teater. Sekalipun tertawa itu klise. Sementara peristiwa teater senantiasa menolak hal-hal yang bersifat klise. Karena tertawa berdasarkan temuan ilmu kesehatan dan psikologi mutakhir membuat manusia itu sehat. Sebagaimana pula tugas kesenian, teater adalah menemukan manusia sebagaimana keutuhannya, juga kesehatannya.
 
Pada drama-drama konvensional sejak zaman Yunani telah kukuh mengakar perihal itu. Bahwa Plato, Aristoteles, Sophocles, Aeschylus, Euripides dan Aristophanes.mempercayai dan menyakini apa yang kemudian disebut catharsis. Nyanyian pengantar tragedi upacara korban penyembelihan kambing diimani sebagai pengantar pengutuhan manusia menjadi dewa kesuburuan (Dyonisius). Juga pada komedi sebagai karikatur cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia?penderitaan yang berujung pada happy ending.
 
Yang perlu digarisbawahi adalah kata karikatur yang dalam bahasa mereka menggunakan mimetic, tiruan, imitasi kehidupan jasmaniah demi kepentingan kenyataan. Karena itu, berdasarkan pemahaman konvensional drama-drama tersebut, yang menentukan kualitas drama bukanlah terletak pada sejauh mana kepentingan imitasi (artistic) belaka namun demikian juga tergantung pada seberapa luas demi kepentingan memperjuangan kenyataan (estetik) dari pertunjukkan drama tersebut.
 
Dengan kata lain, sekalipun tertawa adalah sesuatu hal yang klise, namun demikian bagaimana cara tertawa, apa yang ditertawakan, siapa yang ditertawakan dan mengapa tertawa sangatlah mungkin menentukan kualitas tertawa itu sendiri. Yang pada akhirnya juga menentukan kualitas pengutuhan diri manusia-teater itu sendiri maupun publicnya.
 
Drama Blakotang yang Selasa malam 25 Mei 2010 dipentaskan di Balai Pemuda, Surabaya hampir 2, 5 jam, mengisahkan pahit getir kehidupan kampung kumuh (slum) di pinggiran rel kereta. Sepasang suami istri Sanim dan Lasmi, diperankan Hengky Kusuma dan Irfa setiap hari cek-cok karena himpitan ekonomi. Sanim pengangguran dan Lasmi membuka kedai kecil. Sementara Kamit (Multato) pedagang keliling mainan anak-anak dengan mengayuh sepeda onthel, akhirnya terbelit utang rentenir dan berakhir membunuh sang rentenir. Sementara Mariyoso (Puryadi) hanyalah pengamen yang bergelut dengan kata-kata bijak dan Mak (Ndindy) tinggal sendirian di gubuk yang menyandarkan takdir dengan memanggil Bandang, sang anak yang entah berada dimana.
 
Barangkali Karsono selaku sutradara pertunjukan teater Blakotang, yang malam itu persembahan dari Bengkel Muda Surabaya sengaja menggabungkan unsur tragedi dan komedi untuk keperluan itu. Mempertajam tragedi sekaligus merangkum komedi. Atau sebaliknya memboyong komedi sembari memanggul tragedi. Dua hal yang sebetulnya sangat berat dalam konsep sekaligus amat sulit untuk dikuliti pada era mutakhir, modern dan pasca modern saat ini. Rupanya, eksperimen Karsono terletak pada membiarkan itu terjadi pada peristiwa teater dan pembiaran itu beresiko pada usaha untuk menguji masing-masing pihak: Karsono menguji dirinya sendiri, menguji aktor, menguji audience. Termasuk di dalamnya ajakan untuk saling menguji kualitas dirinya sendiri-aktor maupun audience.
 
Setidaknya peristiwa teater tersebut bakal selancar di puncak-puncak pencapaian jawaban bahwa di luar tertawa itu sebagai sesuatu yang klise, apakah masih banyak hal-hal klise lainnya yang patut ditertawakan. Atas dasar eksperimen Karsono menguji itu, tentu jawabannya pun beragam, tergantung respon dan kebutuhan masing-masing. Namun secara umum peristiwa teater itu sendiri bersepakat bahwa sedang berlangsung kegiatan mentertawakan kemiskinan. Terlepas dari identifikasi dan identitas makluk apa dan siapa sebetulnya kemiskinan itu? Sehingga sukses Blakotang sebagai komedi, bisa jadi lebih terletak pada menempatkan sudut pandang (point of view) saya, kami, kita ke dalam usaha untuk satu frame ideology mentertawakan kemiskinan tersebut.
 
Hal ini pula tampaknya yang menjadi kekuatan teks teater Blakotang. Pada akhirnya kedekatan teks naskah dengan audience dipercaya agar public menentukan sendiri mengidentifikasi di belakang teks kemiskinan- walaupun sebetulnya tidak bisa dijadikan alibi bagi sutradara maupun aktor-aktor untuk tidak melakukan riset dan studi kasus pada masyarakat. Tema kemiskinan yang kemudian dibalut dengan bahasa Suroboyoan maupun spirit budaya arek memang ampuh untuk usaha mendekatkan teater dengan audience. Andaikata, Karsono sadar keampuhannya ini bukanlah hal satu-satunya yang terpenting bagi proses teater, mungkin teks-teks Blakotang akan lebih berbalik menambah kualitas bahasa Suroboyoan maupun spirit budaya arek tersebut. Bahwa keduanya tidaklah sekadar kendara atau alat teater-sebagaimana selama ini telah banyak digunakan oleh ludruk dan mencapai titik kulminasinya pada jula-juli Kartolo Cs–, melainkan keduanya adalah materi teater itu sendiri.
 
Kehebatan lain yang muncul dari peristiwa teater Blakotang adalah semangat untuk mendamaikan antara melodrama dan komedi. Mengutip kamus sederhana Simpliology-nya Mark Joyner, melodrama sebagai situasi yang tidak bisa dihindari, terlepas dari usaha terbaik sang korban peristiwa dan tragedi sebagai lakon yang menggambarkan berbagai peristiwa malang akibat kelemahan karakter seseorang. Pada melodrama, ada takdir yang menempatkan dirinya dalam situasi hitam atau putih. Sementara tragedi lebih menyingkap kesanggupan untuk mengampu pada keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam dirinya. Semacam konflik dalam diri akibat tragika antara nasib dan kebebasan, antara “hukuman” dan hasrat jiwa. Dalam bahasa Oliver Marchand, sebagaimana dikutip Goenawan Mohamad, melodrama dibangun oleh monopati yaitu kesatuan perasaan yang membuat seseorang merasakan diri utuh. Tokoh-tokoh dalam sebuah melodrama -tak punya konflik yang mendasar dalam dirinya”-berbeda dari tokoh-tokoh tragis, yang terobek-robek antara nasib dan kebebasan, antara kewajiban besar dan gelora hati.
 
Secara tanpa tedeng aling-aling, teks Blakotang menyediakan itu semua melodrama, tragedi sekaligus komedi, hal yang dalam dunia nyata sebetulnya amat sulit kita jumpai. Barangkali karena ini imitasi, ini hanyalah teater dalam pengertian waham Yunani. Maka titik temu dari silang sengkarut itu ada pada kualitas karakter tokoh-tokohnya secara psikologis- meski sudah barang tentu sonder lepas dari aspek sosiologis. Ada tiga demensi yang terbentuk karenanya, yang dalam bahasa Giddens disebut motivasi tak sadar (unconciuous motives), kesadaran praktis (practical consciousness) dan kesadaran diskursif (discursive counsciousness). Tentu ketiga-tiganya tentu bisa berkecamuk dalam satu dunia, meski tentu ada yang mendominasi.
 
Mengusung banyak sekali konsep gagasan memang bukan tanpa resiko. Sayangnya seringkali, resiko-resiko itu tidak diikuti dengan riset atau studi kasus yang mengerucut pada satu titik temu gagasan yang baru. Acapkali yang dipilih adalah jalan pintas, kompromis dan menaklukkan hal-hal teknis serta penyiasatan untuk kemudian bisa tetap leluasa tertawa. Pun pada Blakotang, banyak teks-teks yang tidak didukung logika teks yang sehat, cerdas dan menggelitik kendatipun tak sedikit muncul irrasional teks teater yang menakjubkan.
 
Boleh jadi segalanya boleh ditempuh, asal bisa tertawa. Sekalipun dengan cara berpikir Aristotelian- teater musti mentertawakan dirinya sendiri. Ia musti melayani demi kenyataan hidup yang lebih baik biarpun dengan rendah diri.
***
 
*) Penulis adalah pengarang, Kepala Devisi Budaya Center for Relegious and Communtiy Studies (CeRCS) Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2010/08/dari-pentas-blakotang-bengkel-muda-surabaya/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria