Agus Noor
cetak.kompas.com
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat
menghambur. “Hati-hati!” teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat
larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos
itu. Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk
membayang-bayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru
menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali
kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk
hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya
pun segera berlari berteriak, “Biiikkk, Bibiiikkk”. Ia nyaris kepleset dan
menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya
terengah-engah begitu.
“Ada apa, Non?”
“Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?”
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya
langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang
bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja.
Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. “Sekarang,
setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos?” suara pembantunya terdengar
serba salah. “Saya ndak tahu mesti jawab apa?” Memang, tak gampang menjelaskan
semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan sendiri selalu
berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, “Kok kartu pos
Mama belum datang ya, Pa?”
“Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari?”
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos
ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak pulang.
Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat Beningnya.
Marwan kadang meledek istrinya, “Hari gini masih pake kartu pos?” Karna Ren
sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. Meski baru play group, Beningnya sudah
pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid punya hand phone agar
bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah, untuk berjaga-jaga
kalau ada penculikan.
“Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu pos?”
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang
hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang
dapat surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya
sahabat pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang
bila menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya
keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya
sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat
yang dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang pelaut.
“Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul dari
negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu?” ujar
Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan, “Aku
selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang.” Ren kecil duduk
di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu pos yang
mereka pandangi. “Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan punya Ayah
pelaut.” Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan. “Mungkin aku
memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang aku rasakan?”
Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan
yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang
dikirimkannya dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya berdiri
sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu yang dulu
juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik jam dinding
kamarnya. Pukul 11.20.
“Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?”
Marwan menggandeng anaknya masuk.
“Besok Papa bisa anter Beningnya enggak?” tiba-tiba anaknya bertanya.
“Nganter ke mana? Pizza Hut?”
Beningnya menggeleng.
“Ke mana?”
“Ke rumah Pak Pos?”
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
“Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya,
ngambil kartu pos dari Mama.”
Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk kartu
pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar DVD
Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi gambar-gambar
kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung melintas
langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning keemasan.
Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht tertambat. Air
mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit karang yang
menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos. Rasanya, ia
kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu terobsesi pada
senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu
hingga Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada
bocah itu?
“Bilang saja Mamanya pergi?” kata Ita, teman sekantor, saat Marwan makan
siang bersama. Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima pagi,
setelah Beningnya pulas,
“Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?”
“Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.”
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan
menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa
rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip.
Pasti mereka menduga ia dan Ita?.
“Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren…”
Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya meloncat
turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi bocah
itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia sengaja
tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu pos
itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya
memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk
rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
“Wah, udah datang ya kartu posnya?”
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
“Ini bukan kartu pos dari Mama!” Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu.
“Ini bukan tulisan Mama?”
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan
berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali
memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak
seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia
bisa membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke
pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan.
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang
harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah
ditemukan.
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas lewat,
sekilas ia melihat jam kamarnya.
“Ada apa?” Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
“Beningnya?”
Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya.
Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang
terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti
tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari
dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi
lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
“Beningnya! Beningnya!” Marwan segera menggedor pintu kamar yang entah
kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar
dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau
amoniak. Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai
melahap kasur.
“Beningnya! Beningnya!” Bik Sari ikut berteriak memanggil.
“Buka Beningnya! Cepat buka!”
Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu
seketika lenyap dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut.
Segera Marwan menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada api,
semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.
“Tadi Mama datang,” pelan Beningnya bicara. “Kata Mama tukang posnya emang
sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri?.”
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu
pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan yang
tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.
Singapura-Yogyakarta, 2008. http://sastra-indonesia.com/2009/03/kartu-pos-dari-surga/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire