mardi 20 juillet 2021

Memupuk Kebangsaan dengan Sastra

Arie MP Tamba
jurnas.com
 
Pada masa awal ‘terbentuknya‘ Indonesia, banyak karya sastra Indonesia yang bisa menjadi saksi bagaimana proses indonesiasi berlangsung. Dengan penuh semangat, dalam segala keterbatasan, para sastrawan masa itu menghasilkan karya mereka berupa buku sederhana, terbitan terbatas, yang kadang beredar dari tangan ke tangan. Dan setelah kemerdekaan tercapai, sebagian besar penulis itu kesulitan menyelamatkan naskah mereka.
 
Beruntunglah Indonesia memiliki seorang HB Jassin. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, karya-karya imajinatif dan cerdas dari para penulis Indonesia awal itu, sebagian berhasil diselamatkan HB Jassin dengan cara mengoleksi dan mengulasnya. Hingga apa yang dikumpulkan HB Jassin ini kelak tercatat jadi ‘pemula‘ sastra Indonesia modern.
 
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi HB Jassin (lahir di Gorontalo, 13 Juli 1917 — meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun) — adalah seorang pengarang, penerjemah, penyunting, dosen, dan kritikus sastra ternama Indonesia. Ia mendapat banyak penghargaan nasional dan internasional. Ramon Magsasay Award adalah salah satu penghargaan internasional yang disematkan padanya.
 
HB Jassin menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Balikpapan, lalu ikut ayahnya pindah ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Di sana ia menyelesaikan pendidikan menengah (HBS). Dan pada saat itu ia sudah mulai rajin menulis, dan karya-karyanya dimuat di beberapa majalah.
 
Dari Medan, ia sempat bekerja sukarela di kota kelahirannya, di kantor Asisten Residen Gorontalo. Kemudian ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan pemerintahan Belanda, Balai Pustaka, Jakarta, pada 1940.
 
Bergabung dengan Balai Pustaka, perjalanan HB Jassin semakin terfokus ke dunia sastra. Di Balai Pustaka ia berada di pusat kehidupan sastra Indonesia yang menggeliat dengan semangat “sastra nasional”. Para penulis generasi baru Indonesia menjadi teman-temannya. HB Jassin mempromosikan dan menyebarkan karya-karya mereka, yang berisi pemikiran “keindonesiaan”.
 
Mulai dari Balai Pustaka, selanjutnya HB Jassin menjadi redaktur dan kritikus sastra di berbagai majalah. Seperti tak ada habisnya, setiap penerbitan yang menjadi tolok ukur perkembangan sastra Indonesia menyertakan HB Jassin sebagai redaktur. Antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain.
 
Dalam masa paling produktifnya, ulasan-ulasan HB Jassin “berpengaruh” menentukan standar sastra. Meski kritik yang dikembangkannya dianggap bersifat edukatif dan apresiatif, lebih mementingkan kepekaan daripada teori ilmiah ‘“ banyak sastrawan merasa ‘tidak lengkap‘ bila karyanya belum mendapatkan ulasan HB Jassin. Sebuah “acc” HB Jassin seperti pengakuan sah tidaknya mereka jadi sastrawan.
 
Karena begitu besarnya “pengaruh” HB Jassin, pengarang dan penerjemah Gayus Siagian (almarhum) menjulukinya Paus Sastra Indonesia. HB Jassin diandaikan memiliki kapasitas untuk menentukan “benar” dan “salah” dalam sastra Indonesia. Tentu saja hal ini berlebihan, tapi begitulah adanya.
 
Pada 1970-an misalnya, ada beberapa penulis senior yang berada di “lingkaran luar” HB Jassin, sebelum akhirnya diakui ke “lingkaran dalam”. Di antaranya Motinggo Busye dan beberapa penulis yang aktif menulis novel populer. Meskipun karya-karya mereka laris di pasar, mereka di “lingkaran luar” karena “kepausan” HB Jassin belum memperhitungkan karya mereka sebagai sastra serius.
 
Saat itu istilah ‘sastra populer‘ mengemuka dan menimbulkan polemik. Hasilnya beberapa penulis sastra populer, di antaranya Motinggo Busye sendiri, kemudian menulis novelet serius di majalah Horison. Sementara beberapa penulis populer, dengan ‘sadar‘ membentuk kelompok sendiri di luar hiruk-pikuk sastra serius.
 
HB Jassin kerap jadi pusat kontroversi. Pada 1956, ia membela Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal, Chairil Anwar Penyair Angkatan 45. HB Jassin sekaligus menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan sastra baru setelah Pujangga Baru, yakni Angkatan 45. Pro-kontra berlangsung. HB Jassin dianggap ‘memaksakan‘ penamaan angkatan sastra dengan peristiwa politik.
 
Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 1963, yang membuatnya dikecam sebagai anti-Soekarno oleh Lekra. Namun ia juga memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dianggap ‘menghina Tuhan‘ di majalah Sastra pada 1971. Karena menolak mengungkapkan nama asli si pengarang, HB Jassin dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Tindakannya jadi bukti nyata adanya “perlindungan” atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Sampai kini, siapa Ki Panji Kusmin tetap jadi ‘rahasia‘ HB Jassin dan penulisnya.
 
Hasil jerih-payah HB Jassin mengoleksi karya sastra, saat ini bisa ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Berdiri sejak 1977, fasilitas itu diberikan oleh Gubernur DKI Ali Sadikin, untuk mendukung perkembangan sastra Indonesia. Masa itu rumah HB Jassin memang sudah tak sanggup lagi memuat timbunan buku-buku, kliping, majalah, dan berbagai surat pengarang yang dikumpulkannya sejak tahun 1940-an.
 
Dengan adanya PDS HB Jassin, Indonesia telah memiliki pusat dokumentasi sastra Indonesia terlengkap. Dari sana banyak skripsi, tesis dan disertasi ditulis, yang kemudian ikut pula didokumentasikan. Labih dari 50 ribu buku dan majalah sastra, kliping koran, dan catatan pribadi para penulis menanti peneliti. Ruangan PDS HB Jassin juga terbuka untuk forum diskusi dan kunjungan sastra dari sekolah dan kampus.
 
HB Jassin rajin menulis. Kumpulan esai aslinya sekitar 20 buku, dan terjemahan karya asing sebanyak 10 buku. Buku-bukunya yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan Daerahnya, Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan interpretasi membaca Alquran, Alquran Bacaan Mulia. Di dalam buku HB Jassin, Surat-surat 1943-1983, dikumpulkan sekitar 100 surat dari 100 penulis dan seniman Indonesia.
 
HB Jassin mendapat gelar sarjana pada 1957 dan Doktor Honoris Causa delapan belas tahun kemudian di kampus yang sama, Universitas Indonesia. Ia berkesempatan melakukan studi sastra perbandingan ke Universitas Yale, Amerika Serikat. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.
 
Banyak mahasiswa dan kenalannya mengenang kisah unik HB Jassin di UI. Pada saat itu ia merangkap sebagai mahasiswa dan pengajar. Selama kelas sastra, terutama mata pelajaran Jawa kuno, Sansekerta, HB Jassin jadi seorang mahasiswa yang rajin dan duduk penuh perhatian seperti mahasiswa lainnya.
 
Tapi ketika mata kuliah Sastra Modern Indonesia, HB Jassin akan berdiri dan maju ke depan. Memberikan kuliah dengan serius, sebagai seorang Doktor Sastra Indonesia Modern.
 
Arie MP Tamba/dari berbagai sumber /16 Nov 2011 http://sastra-indonesia.com/2012/02/memupuk-kebangsaan-dengan-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria