Sabrank Suparno
Talango menghampar di depan mata. Namun, untuk merengkuh serta menjalajahi
datar tubuh, bukit, lembah, ranau pepohon nyiur dan sayur mayur, aku perlu
setapak langkah lagi. Tanpa perahu-perahu dan kapal kecil, Talango masih sayup
bergelayut di riak-riak ombak.
Essang, desa itu ditulis Sindi dalam suratnya kepadaku. Satu di antara
beberapa desa jujugan tengkulak cabe merah dari Pamekasan, Sampang dan Sumenep.
Luas pulau Talango, seluas kecamatanku. Namun rumah-rumah lawasnya sudah banyak
berganti still desain baru. Apalagi hamparan tanaman cabe, bak gelaran emas 24
karat saat area cabe Brebes dan sebagian pulau jawa tergenang banjir.
Di ujung Kali Anget, mata para tengkulak sudah berwana hijau. Ubun ubun
mereka terlihat sibuk mengacak angka. Berbeda dengan aku yang sibuk mengacak
gadis berwajah oval, alis tebal, kuning langsat cina, dan keramahannya.
Aku menangkap wajah Sindi saat ia menyelinap di gang kota dekat bukit Asta
Tinggi. Ia bagai merak biru sedang melintas. Kepakan sayapnya mengibas bulukudu
dan memathuk segumpal darah jantung hatiku. Geragap pathukan itu benar-benar
melumpuhkan daya cintaku dengan ramuan Maduranya. Sebusur anak panah ku
lepaskan dari jemparingnya tepat ke ulu hati. Dan di malam valentine ia jatuh
terkapar di alun alun kota Sumenep. Aku mendekatinya di antara denting time
thunnel masjid barat alun alun. Segera kukemasi, kupungutu rontok helai bulu
bulunya dan kusanggar rapi dalam sangkar hatiku.
Sejak itu kota yang tadinya asing, kini menjadi ramai. Lampu lampu tampak
mencorong di pojok kota tua yang kerap aku habiskan malam malamnya. Aku jadi
betah mendengarkan penjual kaset memutar lagu lagu ala Madura yang dinyanyikan
dengan aransemen musik meniru garapan si Alif pencipta lagu oeseng Banyuwangian
yang diminati perantau Singonjuruh, Blambangan, Sritanjung, Ketapang yang
bermukim di Denpasar. Padahal, aku tidak mengerti bahasanya.
Bersama Sindi, hari dan kota itu menjadi tepian sorga yang semilirnya
tercipta khusus untukku. Sementara orang lain hanya menjadi pelengkap sausana
kota. Apalagi ketika gerimis mengguyur becek bumi dari langitnya yang dirundung
mendung. Bumi dengan sabarnya mewadai segala tumpahan gelora asap jingga yang
menyekat pandangan kampung halaman. Langit dan bumi pun larut dalam dekapan
semusim yang merekahkan kelopak teratai ungu di pancuran jantung kota.
Pagi di Februari. Sindi mengajariku lagu ‘Sapu Tangan Merah’nyaYus Yunus
yang sering ku lantunkan. Duh Halimah se manis / manis rasana manggis /
kenangan yang indah / tetap teroker di mata / duh Halimah se redin / potrana
bapak Moden / kenangan yang indah / tetap teroker di mata /. Bagai sepasang
menjangan kami berlarian menerobos semak belukar kawasan hutan Batangbatang.
Selain pembakaran batu putih di tungku perapian, pemandangan memanjang adalah
bonsai cemara udang, tanaman yang hanya tumbuh di tempat itu, sekitar pantai
Lombeng. Kata Sindi, harga bonsai cemara berdahan elok itu mencapai jutaan
rupiah. Bahkan kerap dipesan hotel berbintang dan reil esteat ibu kota.
Berbeda dengan Jawa yang banyak ditanami tebu, Batangbatang pohon nyiur
berbaris rapat. Sesekali kami melihat petani turun dan memanjat pohon kelapa.
Tak heran jika pelosok utara Sumenep ini terkenal penyuplai gula kelapa.
Seingatku, inilah desa yang D.Zawawi Imron pernah mengatakan kalau dirinya
tidak dibesarkan di gedung mewah milik orang kota, melainkan dari deresan pohon
kelapa dan siwalan.
Dua jam pelesir bersama Sindi waktu memendek sepuluh menit. Dan pantai
Lombengnya / berpagar pohon cemara /. Ohh sungguh, tak hanya wajah Sindi
selaksa jelmaan bidadari, pantai Lombeng ini lebih dari sekedar yang
dinyanyikan Yus Yunus. Aku sadar, kesalahanku kadang memercayai kabar dari
kenyataan.
Sindi lama duduk di sampingku. Pantai seperti tak henti berkisah tentang
kepiting dan rajungan, atau siput dan kerang. Rambutnya tergerai, walau hanya
pendek sebahu. Kuning tangan dengan bulu lenting yang agak kentara, Sindi
menggandengku menginjak desiran ombak. Matanya yang teduh ia lempar jauh ke
tengah samudera. Aku tak mengerti persis kata hatinya, sepertinya aku disuruh
menyaksikannya.
Tiba tiba fikiranku mengembara seperti angin di atas samudera. Terkaku
menyangka, apa sih yang dikatakan samudera ketika kita dibibirnya? Tentang
keluasan? Yang aku harus melintasinya walau tak menyeberangi. Tentang kedalaman?
Yang aku harus menyelami tuk menyaksikan terumbu karang, ikan dan mutiara.
Tentang kapal dan perahu sampan? Yang aku diayunkan gelombang dalam bahtera
setiap aku berlabuh. Atau tentang badai? Yang akan menenggelamkan aku hingga ke
dasarnya.
Lama Sindi berdiri. Ia seperti berbicara kepada laut. Sedang aku menoleh ke
belakang. Tampak bercak telapak sepasang kaki kami terukir di pesir putih.
Sekali nelayan melaut, ada tiga jawabnya, pulang membawa ikan, membawa sampan,
atau membawa nama. Aku yang tak berani mencampuri kekhusyukannya berelaxasi
dengan laut, cuma menangkap bahasa tunggu. Ohh, aku ingin menjadi laut, agar
mendengar segala keluhan dadanya selain saat bersamaku. Sebab lelaki yang
mencintai wanita, ia mengetahui detail hal terkecil pun yang terselip dalam
wanita.
***
Seminggu aku gelisah. Itulah ketololanku yang tak jelas. Gampang menarik
persoalan orang lain kedalam pribadiku. Bahkan urusan negara sekali pun. Demo
mahasiswa sudah membludak di mana mana. Sedang sekali demo, tak jarang ada
tubuh terluka. Meski bukan sanak famili, tak kuasa aku menghapus cemas. Hidup
di negri dungu seperti karbau ini, urusan demo tak dimengerti. Demo sampai
mampus sekali pun tak digubris, tak dihargai, sebab pemerintah memang orang
yang tak siap didemo, dikritik, diusik kenyamanannya saat bertahta. Yang
pemerintah inginkan hanyalah enjoi dengan kenyamanan jabatan.
Sehabis isyak tiba-tiba pintu no 9 terbuka. Kamar persegi empat yang kuhuni
bersama laptop bututku. Mul dan Mamat, “permisi Kak,” dua perjaka yang akrab denganku
masuk sengan khas sarung dan kopyahnya. “Besok setelah jum’atan ada demo di
masjid agung lun alun. Yang ramai ramai bawa kain panjang itu lho Kak.” Dengan
logat Maduranya, Mul dan Mamat mengabariku. Jariku terhenti di keybord laptop.
“Kalian antarkan aku ke studio siaran radio, yang jam segini memutar tembang
hits anak negri.” Sejenak mereka berfikir, “oow Sancaka FM, aku kenal
penyiarnya Kak, orang dari Malang. Aku sering ngasi bungkusan tembakau Prancak.
Katanya sih, buat bapaknya kalau sedang pulang kampung.” Tanpa mereka tau
tujuanku, kami boncengan bertiga.
Sebelumnya mereka menjelaskan kalau motornya ‘Durno’, motor di kota Sumenep
yang tidak ada STNKnya. Motor ini dibeli dari kapal asing dengan harga murah
meskipun baru. Dari pada tertangkap polisi, kami melewati gang gang terobosan
ke Sancaka FM. “ Dari pada uang dikasikan polisi, mending buat nongkrong di
warung kopi mas,” gumam Mul sambil nyetir berkelak-kelok. “Saya dan Durno ini
pernah kepergok operasi satlantas, ahirnya motor tak tuntun dan tak jalankan
mundur. Pas saya dicegat, ditanyai surat, tak jawab, lho pak polisi, yang ada
undang-undangnyakan kelau mengendarai motor, inikan saya tak tuntun, lagian
jalannya kebelakang, kan gak ada hukumnya.” Spontan kelakar Mamat membuatku
terpingkal, dan konsentrasi setir Mul pun buyar. Siiett! Awas! Brakk! Durno
terguling. Mamat terpental kejebur got bacin. Lututku berdarah. Kepala Mul
bonyok. Gara-gara se ekor kucing betina lari menyeberang dadakan. Rupanya
kucing betina tak punya pilihan, kecuali lari sekencang kencannya saat dikejar
dan hendak diperkosa kucing jantan.
Sesampai di studio, Mamat melobi nimbrung kirim atensi. Dengan alasan
penting, Mamat meminta penyiar membaca puisi yang kusuruh. Sketsa Wajah Rasul /
Cukuplah tinta kebodohanmu melukis wajahnya / Mampukan jarak pandangmu
merumuskannya / YaaRasul atas ketimpangan ini / Volume kepalaku tidaklah
menciut atau membesar / Karna tetap saja aku bisa mengantuk / Cintaku takkan
surut / Karna cahyamu adalah / bagian hidupku / YaaRasul / Bagiku kau lebih
indah jika bersemayam / Dalam hati ketimbang eksemplar sampah / Yang kau
kibar-kibarkan itu / Sumenep Februari 2006 /. Sebagai mana pendemo senusantara,
atas nama pemuda muslim Sumenep turut memrotes ulah pemuda Denmark yang melukis
wajah Rasululloh.
Sepulang dari studio, Durno dan tiga penunggangnya kembali belusukan di
gang. Entah tak jelas sebabnya, esok hingga pukul empat sore, tidak ada tanda
aktivis berdemo.
***
Semua alun-alun yang ku jumpai, kini dipakai pasar dadakan. Lumayan buat
warga refresing bersama keluarga. Bersama Sindi, aku habiskan sisah waktu
pulang kerjanya yang agak siang. Tak ku duga, sekeluar dari warung soto Madura,
empat lelaki menghujaniku kepalan tangan berkali-kali. Mendengar perkataan
kerasnya, mereka menuduh aku nyenggol pacarnya. Cerita Sindi, mereka lari
setelah aku memar dan tidak sadarkan diri. Orang orang dan beberapa teman yang
mengenalku selama di kota itu, membopongku pulang. Aku melihat Sindi sedang
menyaput bonyok wajahku dengan air hangat saat aku siuman dari pingsan semalam.
Wajah cemas Sindi rubuh ke dadaku. Air mata kewanitaannya tumpah bersama
tangis. Mul dan Mamat rupanya cerita ke Sindi perihal usahaku menggagalkan aksi
demo dengan beratensi puisi ke studio. Ketangguhan hati seorang wanita tak
sebanding dengan rasa kekhawatirannya atas kehilangan orang yang dicintainya.
“Mas jangan konyol. Semenjak rencana pemangunan jembatan Suramadu tidak bisa
digagalkan para kiai, negriku ini akan menjadi milik orang asing. Tembakau yang
masih di sawah sudah ditukar dengan motor kriditan. Yang mengeroyok Mas semalam
para provokator kordinasi demo yang sudah dibayar 60 ribu dollar oleh kedutaan
Amerika. Mereka kecewa kerena puisi Mas di radio Sancaka FM semalam.” Aku
terhenyak di awal siumanku. Ternyata Sindi mengetahui detail konstelasi
perpolotikan penggalang demo.
***
Empat tahun sudah berlalu. Kota dengan segala kenangan masa laluku bersama
Sindi memanggilku singgah di kota ini. Empat tahun lalu, bulan Rajab tanggal
muda, aku meneguhkan kelulusan Sindi dalam mencintaiku. Ia tak hanya
mendampingi kala sukaku, kala duka dan aku jatuh terpuruk pun ia setia
menemaniku. Sungguh suatu pengorbanan yang oleh para lelaki perlu waktu seumur
hidup untuk melupakannya.
Keinginanku untuk meminangnya pun kandas, saat tangisan Sindi meledak di
dadaku. “Waktu kecil aku pernah dijadikan pendamping pernikahan kemanten. Dua
gadis kecil sebelah kiri, dan dua lelaki kecil sebelah kanan. Tradisi di sini
sama artinya aku sudah dijodohkan sejak kecil. Dengan pendamping lelaki kecil
pasanganku, kami tak perlu lagi berijab kabul jika sudah dewasa. Tubuhku ini
sudah terpasung tradisi. Namun cintaku dibiarkan mengembara. Sesungguhnya aku
hanya bahagia jika hidup denganmu. Tetapi tak bisa menikah denganmu. Maafkan
aku mas!”
Dari ujung pulau ini aku ingin menatapmu walau sejenak. Aku berharap hijau
ranau Talango adalah riang wajahmu hidup di seberang sana. Mungkin anakmu satu
atau dua, atau mungkin tradisi negrimu yang memecahkan rekor dunia menciptakan
janda muda.
Sumenep 2006-2010 http://sastra-indonesia.com/2010/10/pulau-talango/
vendredi 9 juillet 2021
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire