mardi 20 juillet 2021

Sastra Jawa yang ‘Nges’

Anjrah Lelono Broto *
 
Masyarakat Jawa telah lazim menempatkan sastra sebagai produk seni yang terangkai dalam indahnya tata bahasa, diksi, serta rima. Tidaklah mengherankan apabila sastra Jawa yang masuk dalam kategori ‘klasik’, tidak hanya menempatkan isi sebagai unsur yang dominan, tetapi juga apiknya tata bahasa, diksi, serta rima. Produk seni sastra yang memenuhi standar tersebut di atas layak menyandang predikat sebagai karya yang ‘nges’ (meminjam istilah Herry Lamongan).
 
Lebih lanjut, produk seni sastra yang ‘nges’ seperti ini memiliki masa orbit yang lebih lama dalam ingatan publik. Kelamaan masa orbit ini dilatarbelakangi juga oleh sesaknya nilai-nilai moral yang diracik dalam simbolisasi yang apik. Artinya, publik merelakan sebagian ruang memorinya untuk menyimpan kesan karya-karya sastra yang ‘nges’ ini mengingat karakter dulce et utile-nya bagi perjalanan peradaban kemanusiaan.
 
Karya-karya sastra, secara umum, tidak lahir dari kehampaan rahim sastrawan, juga bukan lahir dari adonan ala mie instan yang cenderung plagiatif. Sejatinya, karya sastra lahir dari persinggungan penetrasi sosial-budaya, mengingat realitas sosial yang ditangkap radar pengarang yang menjadi gagasan mendasar dalam karya sastra tersebut.
 
Tanpa bermaksud mengarah pada satu genre sastra tertentu, kita jumpai fakta bahwa mayoritas karya sastra Jawa klasik yang ‘nges’ seperti Negarakertagama, Arjunawiwaha, Sutasoma, dll lahir dari penetrasi sosial Hindhu/Budha dengan kultur Jawa. Begitu juga dengan Serat Wulangreh, Cebolek, Wedhatama, Centhini, serta Suluk Cipta Waskitha, dll. Sederet karya sastra Jawa ini lahir dari penetrasi budaya Islam dan Jawa. Benang merah ini terurai dari narasi ilmiah tentang nilai-nilai normatif Hindhu/Budha dan nilai-nilai Islam, dalam racikan ‘njawani’.
 
Karya sastra Jawa yang ‘nges’ hadir menembus batas-batas ruang dan waktu, begitu juga objeknya. Sastrawan menempatkan realitas lintas dimensi peri kehidupan yang ditangkap radarnya tidak dalam format yang random, melainkan dalam sistematika yang terikat pada asas serta visi tertentu. Gunoto Saparie (2006) mengatakan bahwa Serat Wedhatama yang berisi anjuran kemuliaan budi dan larangan memperturutkan budi jahat kepada umat manusia secara implisit mengabarkan bahwa penulisnya (Mangkunegara IV) menangkap realitas dan pandangan Jawa sebagai gejala-gejala lahiriyah dan memiliki kekuatan kosmis-nominus.
 
Bagi penulis, Serat Wedhatama tidak hanya murni sebentuk karya sastra melainkan sastra profetik (kenabian) sebagaimana Ramayana dan Mahabharata di India. Sebab, Serat Wedhatama juga mengajarkan laku spiritual kepada Sang Pencipta dalam rangkaian penghayatan sufistik kelas tinggi. Rangkaian bahasa yang mencerminkan penghayatan sufistik kelas tinggi dengan sendirinya menggunakan simbol-simbol sebagai penanda pesan sastrawannya.
 
Ketika realitas sejarah yang menjadi objek dalam karya sastra Jawa yang ‘nges’, maka Sang Sastrawan juga tengah berupaya menerjemahkan realitas sejarah tersebut dalam simbolisasi penanda dalam kapasitas kesastrawanannya. Maka, Sastra Jawa yang ‘nges’ pun menjadi media penulisnya untuk menyampaikan perasaan dan tanggapannya terhadap peristiwa sejarah itu sendiri. Hal ini dapat kita cermati dalam serat-serat babad seperti, Babad Tanah Jawa, Babad Dipanegara, Babad Tanah Sabrang, dll.
 
Sastra Jawa yang ‘nges’ memandang dunia sebagai konstruksi yang dinamis dan relatif. Nilai kesusastran yang bersemayam di dalamnya kait-berkait dengan kemanusiaan manusia secara holistikal. Karakter seperti ini menobatkan sastra Jawa yang ‘nges’ pada kemampuan untuk menghaluskan sisi batin pembacanya sehingga menuntut tingginya daya apresiasi. Apresiasi pada Sastra Jawa yang ‘nges’ menuntut luasnya wawasan, ketajaman jiwa, serta kehalusan perasaan. Merujuk pada fakta bahwa bahasa yang digunakan dalam Sastra Jawa yang ‘nges’ diracik dalam simbolisasi liat. Sebagaimana ajaran Manunggaling Kawula Lan Gusti yang disimbolisasikan dalam tokoh Bima dan Dewa Ruci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990).
 
T. S. Eliot mengukur kadar kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai implisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis objek (berupa dunia sastrawan).
 
Misalnya, Serat Wedhatama, lapis suaranya dirangkai dalam tembang Gambuh. Lapis artinya berisi pendidikan budi pekerti antar sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan dengan tujuan eksistensi kemanusiannya. Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang harus menguasai 3 prasyarat Wirya (keberanian) yaitu: berani mengorbankan ‘arta’ (harta), ‘raga’ (badan jasmani), dan ‘rasa’ (jiwa). Pribadi hasil 3 Wirya ini, adalah pribadi yang Tri Winasis (cendekia yang cerdas, tangguh, dan bijak memaknai kehidupan).
 
Wellek dan Warren mengingatkan bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi kurang tepat kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya (Lubis, 1997). Hal ini disebabkan karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan realitas sosial secara langsung, imajinasi sastrawan melahirkan simbol-simbol untuk menerjemahkan hasil tangkapan radarnya.
 
Membaca karya sastra Jawa yang ‘nges’ laksana mengarungi samudra makna nir tepi. Pembaca dituntut tidak gegabah memahami yang tersurat namun juga yang tersirat, menggali apa yang bisa diurai. Sudah menjadi rahasia umum, hari ini nilai-nilai yang bersemayam dalam karya-karya sastra ‘nges’ tidak terurai apalagi teraktualisasi. Degup nafas peradaban jaman memang menjauh dari pembacaan tersirat dan lebih mengarah pada apresiasi instanisme. Sastra Jawa yang ‘nges’, selamat beristirahat dengan tenang.
***

*) Penulis dan Penikmat Sastra Jawa, Anggota Senior Teater Kopi Hitam Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2011/09/sastra-jawa-yang-nges/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria