dimanche 18 juillet 2021

Surabaya Tak Butuh Festival Seni

W Haryanto
cetak.kompas.com
 
Sebuah festival seni, awalnya dimaksudkan sebagai perayaan komunal atau ritual terhadap kehadiran Tuhan di muka bumi. Maka, setiap elemen dalam komunitas akan menyertakan produksi-produksi budaya sebagai bagian dari penyatuan atas perayaan tersebut.
 
Bagi masyarakat tradisional, sebuah festival dikaitkan dengan prosesi keagamaan seperti Grebeg Suro atau Grebeg Mulud. Bagi seniman, sebuah festival juga dipahami sebagai penyertaan momentum-momentum klimaks dari kreativitasnya. Maka, festival secara kultural terikat dengan relasi-relasi antarindividu di mana festival itu berlangsung. Persinggungan dalam festival, bukan upaya menominalisasi pencapaian proses seniman.
 
Celakanya, pengertian festival dewasa ini telah bergeser jauh dan hanya sebagai ajang eksistensi dan pemiskinan ideologi-ideologi seni yang semula bersifat sangat individual menjadi sesuatu yang cair dan disesuaikan dengan pasar.
 
Komunikasi antarseniman dan produksi inovasinya (dalam festival seni) yang awalnya adalah dialektika, bergeser menjadi pembakuan-pembakuan teoritis, di mana sang kurator dan dewan juri menjadi yang mahatahu dan menjadikan seniman sebatas anak sekolah yang perlu dituntun untuk mengikuti setiap tanda baca.
 
Di sisi lain, festival kini difungsikan tidak lebih sebagai pasar sesaat dan seni menjadi benda dan seniman dibendakan. Lebih celaka lagi, seniman-seniman di mana ajang tersebut berlangsung hanya sebatas audiens tanpa keterlibatan dalam proses dialektika ini.
 
Kecenderungan di atas muncul pada event tahunan seperti Festival Seni Surabaya. Festival ini mengambil dimensi yang kelewat luas dan abstrak, terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan seni di Surabaya. Kreativitas seniman-seniman Surabaya dikontrol dan dikondisikan sesuai paradigma festival.
 
Putu Wijaya atau Teater Payung Hitam yang beberapa kali dihadirkan dalam FSS secara politis tidak dipakai untuk pendewasaan kelompok-kelompok teater di Surabaya (sebagai rujukan proses), tetapi malah dijadikan perangkap proses bagi komunitas teater. Tak aneh pula jika sehabis FSS berlangsung, pelbagai ujud pengucapan teater-teater di Surabaya identik dengan Putu Wijaya maupun Teater Payung Hitam. Hal serupa juga muncul di sub-sub seni lain.
 
Indikator lain, festival seni di Surabaya tidak punya strategi dan cara pandang kultur terhadap komunitas Surabaya. Akan tetapi, hanya melanjutkan simbolisasi mataraman (Yogyakarta), utamanya pada pertanyaan-pertanyaan mendasar, mengapa sebuah festival harus terjadi? Mengapa pelbagai wujud kreatif-inovatif yang individual direkayasa menjadi satu pengertian sosiologis? Mengapa kota terbesar kedua setelah Jakarta harus memiliki standar hiburan (yang oleh akademis seni disebut tinggi)?
 
Sementara di sisi lain, kepahaman masyarakat Surabaya tentang produksi budaya sudah terjadi, kalaupun standar ini kerap hanya diasumsikan sebagai gejala sosial ketimbang kreativitas.
 
Aspek simbolis
 
Dengan mengusung tema ?Surabaya Experience?, panitia mencoba merasionalisasikan festival seni dari peristiwa budaya menuju histografi Surabaya. Maka, rujukan utama sebuah festival seni (jika itu terjadi di Surabaya), harus melewati struktur kesadaran komunitas pabrik. Jadi katakanlah, drama-drama teoritis Teater Payung Hitam (Bandung) atau musik-musik mekanis Kelompok Debu (Jakarta) hanya menampilkan keterasingan dan memprasangkai selera masyarakat pabrik yang dianggap rendah.
 
Panitia FSS cenderung memprakarsai adanya permainan bisnis dan memaksakan identitas seni. Di sisi lain, seniman-seniman Surabaya yang kurang bergairah berproses menyambut nominalisasi seni sebagai sesuatu yang harus dimaklumi tanpa reserve. Seperti ungkapan Antok Agusta bahwa seniman tak lebih pengemis yang sehat dan intelektual yang merintih di tikungan jalan (Majalah Kidung, IV/2000). Hingga seni diproduksi tanpa ideologi yang tegas.
 
Klantink
 
Di luar konteks FSS, kelompok Klantink yang tumbuh dan berproses dari relasi ekonomi yang sederhana, sebagai komunitas pengamen yang saban hari mengisi penumpang bis kota. Katakanlah, ini adalah kacamata terbalik dari apa yang telanjur kita kenal dengan jagat kesenian.
 
Klantink, setidaknya menyadarkan kita (sebagai warga sejarah Surabaya), bahwa produksi kesenian awalnya relasi kreativitas dengan ekonomi. Sebagai kelompok seni jalanan, Klantink menjalani profesi kreatifnya sebagai sandaran hidup. Tanpa pengenalan ideologi seni dan pergulatan teoritis, Klantink mengkontruksi musik keroncong yang santun di luar pakem Jakarta atau langgam Jawa menjadi keroncong yang lebih rancak, cepat, dan ekspresif.
 
Toh, kalaupun tak seperti musik garda depan John Cage, Klantink patut kita akui sebagai fenomena budaya Surabaya. Seperti ungkapan penyair Derek Walcott bahwa bangsa yang ditekan akan menunjukkan bahasanya sendiri. Klantink menunjukkan gejala yang sama.
 
Ketika fenomena Klantink muncul di Indonesia Mencari Bakat (Trans TV), serta-merta kesadaran sejarah kita pun tergugah. Kreativitas jalanan yang jauh dari tangan-tangan pergulatan seni mainstream, ternyata sanggup bicara tentang ekspresi Surabaya secara lebih faktual dan marketable.
 
Kembali pada pertanyaan di atas, apa pentingnya lagi sebuah Festival Seni Surabaya, jika histografi Surabaya tak bisa dilacak dan dikonsepkan. Atau memang itu sebuah strategi bisnis dan politis agar Surabaya tetap menjadi satelit budaya Jakarta atau Yogyakarta. Jika benar hal ini yang terjadi, sungguh sangat disayangkan.
***

*) W. Haryanto Penyair, Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar. http://sastra-indonesia.com/2010/10/surabaya-tak-butuh-festival-seni/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria