vendredi 2 juillet 2021

Taufik Ikram Jamil, Putra Teluk Belitung Punya Cerita


Eko Permadi
bahanamahasiswa.co, 15 Des 2016
 
Seperti Buku-buku Merindu, dawat kepada kertas ingin bertaut genggam
Bagi bunyi kepada huruf memendam idam, aku selalu tiba di rumah kalian
Dalam renyai kata-kata, yang belum sempat ditampung kalimat
Paragraf dan bab yang penuh harap, dalam naskah senantiasa berhujjah.
***
 
Penggalan sajak berjudul Seperti Buku-buku Merindu diatas tersaji dalam buku sajak penggal ketiga Tersebab Daku Melayu. Buku berisi kumpulan sajak karya Taufik Ikram Jamil, budayawan Riau. Ini adalah buku kumpulan karyanya yang kedelapan telah diterbitkan, dan ia masih terus berkarya.
 
Pada tanggal 19 September 2016, ia tepat berusia 53 tahun. Lahir di Teluk Belitung, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, dari pasangan Jamil Nur dan Azizah. Anak ke empat dari 10 bersaudara ini mulai menyukai sastra sejak sekolah dasar. Prestasi ia raih ketika menjadi juara umum pada kompetisi baca sajak tingkat sekolah menengah pertama.
 
Tak hanya membaca sajak, Taufik juga aktif menulis di media cetak saat di Sekolah Pendidikan Guru. Selesai belajar di sekolah setingkat menengah atas, ia ingin kuliah di Pulau Jawa. Pada 1983, ayah dari tiga anak ini minta izin untuk dibolehkan belajar di Jakarta. Sayang, restu tak didapat.
 
Tak patah arang, ia minta izin untuk kuliah di Pekanbaru. Ia mendaftar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Karena keaktifannya menulis, Rida K Liamsi, pendiri Riau Pos Grup, menawarinya jadi wartawan koran Genta di Bengkalis. Tahun 1970-an hanya ada Koran Genta di Riau.
 
Gayung bersambut, ia kuliah sambil bekerja sebagai wartawan. Tak hanya di Genta, ia juga menulis di Suara Karya. “Bisa mencukupi kebutuhan selama kuliah,” ujar Taufik. Kecintaannya dengan jurnalistik, membuat ia juga bergabung dengan Bahana Mahasiswa di tahun 1984. Selama 2 tahun, ia berproses dan sampai menjadi Redaktur Pelaksana.
 
Said Suhil Ahmad, alumni Bahana Mahasiswa yang juga rekan satu fakultas Taufik pada tahun 1984 bercerita soal kepiawaian menulis Taufik. Menurutnya, karena Taufik sudah berpengalaman, tulisan yang dihasilkannya di Bahana sudah baik. “Proses kreatif menulisnya bagai sinar yang menembus segala waktu,” ujar Said Suhil. Ia juga bersama Taufik bekerja di Genta dan tinggal di kantor redaksi koran tersebut.
 
Tahun 1980-an Pekanbaru Gencar Promosikan Budaya Melayu
 
Karena berasal dari daerah kental dengan Melayu, ia pun tertarik mempelajarinya. Taufik kerap berdiskusi dengan Umar Usman Hamidy atau dikenal UU Hamidy, budayawan Riau. Ia juga banyak berdiskusi dengan Tabrani Rab. Ia suka berdiskusi untuk menambah pengetahuannya.
 
Cukup empat tahun Taufik menamatkan pendidikan strata satu. Tahun 1988, ada peluang untuk kerja di harian umum Kompas. Diterima, dua tahun pertama, ia ditugaskan di Pekanbaru. Setelah itu wilayah kerjanya pindah ke Jakarta. Desk liputan yang terlama yakni pendidikan dan kebudayaan.
 
Ia semakin dikenal di dunia jurnalistik kerena pernah menulis laporan tentang mahasiswi UR yang jadi petugas pos ronda di sekitar Panam untuk lanjutkan kuliah. Kemudian juga laporan dari Pekanbaru tentang bantuan rakyat miskin yang diperjualbelikan. “Saya waktu itu sampai dikejar-kejar sama orang dinas,” kenang Taufik.
 
Selama kurun waktu jadi wartawan kompas, ia aktif menulis sastra. Karya sastra berupa novel, cerpen dan puisi. Taufik menegaskan bahwa cerita fiksi yang diangkatnya berasal dari kenyataan. “Semua ada di sekitar, tinggal butuh pendalaman saja,” ungkapnya.
 
Sebagian besar karyanya diangkat dari keseharian kegiatan masyarakat Melayu. Karya-karya yang dihasilkannya antara lain, puisi sudah dibukukan yakni Tersebab Haku Melayu, tahun 1995, diterbitkan oleh Yayasan Membaca Pusaka Riau. Tersebab Aku Melayu tahun 2010, diterbitkan Yayasan Pusaka Riau. Kumpulan puisi ini sempat masuk lima besar dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2010. Dan kumpulan puisi penting versi majalah Tempo 2010.
 
Kemudian terbitan 2015 lalu, Tersebab Daku Melayu mendapat predikat buku puisi pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. Kumpulan cerpennya di 1996 yakni Sandiwara Hang Tuah diterbikan oleh Grasindo dijadikan Buku Pilihan Sagang. Sampai tahun 2003 Taufik Ikram Jamil dinobatkan sebagai seniman terbaik pilihan Sagang. Anugerah Sagang diberikan, karena dedikasi terhadap kehidupan berkesenian dan budaya Melayu.
 
Pada tahun 1999, Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan untuk kumpulan cerpennya dengan judul Membaca Hang Jebat. Kemudian kumpulan cerpen Hikayat Batu-batu diterbitan Kompas, tahun 2005. Dan salah satu judulnya, Menjadi Batu dapat juara pertama dalam sayembara menulis cerpen Majalah Sastra Horison tahun 1997.
 
Terakhir cerpen Jumat Pagi Bersama Amuk, pada tahun 1998 jadi cerpen utama Indonesia menurut Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dan yang sedang dalam proses penerbitan adalah kumpulan cerpen Hikayat Suara-suara, dan Biografi Kesaksian Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri.
 
Untuk karya novel yang pernah dibukukan berjudul Hempasan Gelombang diterbitkan Grasindo tahun 1998. Dapat juara harapan dua dalam penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta, 1997. Pada tahun 2001 lewat Kompas terbitkan novel Gelombang Sunyi.
 
Peneliti dari University of Victoria, Canada, yakni Michael Bodden menyebutkan karya Taufik adalah sebuah makna baru untuk novel, karena warna lokal yang diutamakan. Kemudian diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda dengan penulisan penyair Indonesia pada umumnya. Dengan kondisi ini, Bodden melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan perubahan yang terjadi karena otonomi. Bentuk ideologi negara dan sebagian besar sifat politikus. Karya Taufik menunjukkan adanya rintisan gagasan baru tentang nasionalisme yang tetap memakai identitas lokal.
 
Sedangkan Will Derkm Peneliti dari Universitas Leiden. Karya taufik adalah penyatuan antara kumpulan kata-kata dan pengucapannya, sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi pusat.
 
Ada juga buku sajak Taufik dalam tiga bahasa, diberi judul What’s Left and Other Poems oleh BTW, Jakarta tahun 2015. Karya sempat dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Dua buku sejarah juga pernah ditulis Taufik bersama kawan-kawannya, Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau pada tahun 2003, dan Tikam Jejak Pulau Bengkalis, 2004.
 
Taufik Ikram Jamil Seorang Penggiat Seni
 
Setelah berhenti dari Kompas pada tahun 2002. Ia menjadi perintis bersama Yayasan Pusaka Riau sebagai cikal bakal Akademi Kesenian Melayu Riau atau AKMR. Kampus ini terdiri tiga program studi, yakni teater, tari dan musik. Berada di komplek Bandar Serai Raja Ali Haji. Tepat di belakang Gedung Kesenian Anjungan Idrus Tintin. Dari awal buka, Taufik menjadi dosen sampai terakhir tahun 2012 lalu.
 
Zuarman, sejak dua bulan menjabat Wakil Direktur I bidang akademis AKMR mengenal Taufik sejak 20 tahun lalu. “Taufik sosok yang konsisten dalam melestarikan budaya melayu. Modal semangatnya besar,” ujar Dosen Seni Musik ini.
 
Sudal Analan, Kepala Tata Usaha AKMR banyak belajar dari Taufik. Terutama urusan surat-menyurat. Menurutnya, Taufik orang yang teliti. Misal suatu ketika ingin mengirim surat dan butuh tanda tangan Taufik. Sering dibalikkan dan diminta rubah isinya. “Dia minta diperbaiki titik koma yang salah,” kenang Sudal.
 
Taufik juga sempat jadi Ketua Dewan Kesenian Riau periode tahun 2002 hingga 2007. Sekarang mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, dan Universitas Islam Riau.
 
Suami dari Umi Kalsum ini sering bawa keluarganya menonton pertunjukan teater atau puisi. Dan di rumah selalu ajarkan budaya melayu dalam kegiatan sehari-hari. “Keluarga hanya beri dukungan moril pada bapak untuk terus berkarya,” ucap Megat, anak Taufik yang kuliah di Fakultas Hukum Universitas Riau.
***

http://sastra-indonesia.com/2021/07/taufik-ikram-jamil-putra-teluk-belitung-punya-cerita/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria