samedi 21 août 2021

Bluke Kecil

Budi Darma *
jawapos.com
 
ORANG tua Bluke Kecil tinggal di ruang bawah tanah sebuah gedung besar. Sewa ruang bawah tanah memang sangat murah, dan orang tua Bluke tidak mungkin tinggal di ruang lain yang lebih mahal. Tentu saja, ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau musim panas sinar matahari jarang menjenguk ruang bawah tanah, dan kalau musim dingin, ruang bawah tanah bukan main dingin. Dan, barang siapa ting?gal di ruang bawah tanah pasti tidak mungkin menengok ke luar dengan bebas, sebab jendelanya sangat sempit, dan untuk menjenguk ke luar, mau tidak mau orang itu harus naik ke kursi atau meja. Detik demi detik, dengan sendirinya, ruang bawah tanah pasti mengundang berbagai macam penyakit.
 
Ayah Bluke Kecil, Stavender namanya, adalah penjinak binatang buas Kebun Binatang Skebersky. Setiap hari, bahkan pada hari-hari libur resmi pun, Stavender berangkat ke kebun binatang menjelang jam enam pagi, dan menjelang jam tujuh malam baru sampai rumah kembali. Begitu tiba di rumah dia menyuruh Bluke Kecil mengambilkan bir, minum bir, batuk-batuk sebentar, kemudian tidur. Hanya kadang-kadang dia mengelus-elus kepala Bluke Kecil, dan hanya kadang-kadang dia berbicara kepada Bluke Kecil.
 
Ibu Bluke Kecil, Greta namanya, adalah sopir taksi. Lebih kurang satu setengah jam setelah suaminya berangkat ke kebun binatang, Greta juga pergi. Berbeda dengan suaminya, dia tidak bisa menentukan jam berapa kira-kira dia akan pulang. Kalau penumpang banyak maka dia pulang malam, dan kalau kebetulan taksinya sedang tidak laku dia pulang lebih awal. Kadang-kadang, pada saat dia pulang dia dapat bertemu dengan suaminya, dan kadang-kadang, dan ini lebih sering, suaminya sudah tidur dengan dengkur yang memekakkan telinga baik istrinya maupun Bluke Kecil.
 
Sebagaimana suaminya, begitu sampai di rumah Greta pasti berteriak: ”Bluke Kecil, ibu kamu sudah datang! Ambilkan bir! Apa kerjamu sepanjang hari, Bluke Kecil?”
 
Setiap hari ibu Bluke Kecil berteriak begitu, dengan nada yang benar-benar sama, tanpa ada perubahan sama sekali. Dan sambil berteriak minta bir, boleh dikatakan hampir selamanya ibu Bluke Kecil tidak pernah menengok ke arah Bluke Kecil. Mungkin, pada suatu saat kalau dia pulang dan Bluke Kecil sudah mati, dia tidak akan tahu bahwa Bluke Kecil, anak darah dagingnya sendiri, sudah tidak bernapas. Sebagaimana suaminya, kadang-kadang dia juga mengelus-elus kepala Bluke Kecil.
 
Setiap kali ayahnya mengelus-elus kepalanya Bluke Kecil se?lalu ketakutan, demikian pula setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya. Sambil mengelus-elus, ayahnya selalu bercerita mengenai binatang-binatang buas dan sekian banyak korban yang sudah diganyang binatang buas, atau paling tidak dilukai oleh binatang buas. Bluke Kecil merasa, ayahnya memang sengaja menakut-nakutinya. Dan setiap kali ibunya mengelus-elus kepalanya, ibunya selalu bercerita mengenai sekian banyak laki-laki yang pernah dipukul dan ditendangnya, dan sekian banyak perempuan yang pernah dia tempeleng, atau dia jambak rambutnya. Bluke Kecil merasa ibunya, sebagaimana pula ayahnya, sengaja memberi kesan bahwa dirinya hanyalah makhluk tidak berharga.
 
Tubuh ibu Bluke Kecil memang luar-biasa besar, namun luar biasa lincah. Bos taksi tempatnya bekerja menyukai dia karena dia jujur, berani, dan tidak pernah ragu-ragu menendang penumpang taksi yang kurang ajar, atau menggebuki teman-teman kerjanya yang bertingkah tidak senonoh. Setelah ibu Bluke Kecil bekerja sekian lama, sebetulnya bosnya ingin dia bekerja di kantor, dan bukan lagi menjadi sopir, namun dia menolak. Dia bilang bekerja sebagai sopir lebih nyaman, karena dia bisa bergerak ke banyak tempat. Dan kalau ada penumpang minta diantarkan ke luar kota, katanya, rasanya lebih nikmat.
 
Tanpa disangka-sangka, sekonyong-konyong pada suatu hari ayah dan ibu Bluke Kecil bersikap sangat manis. Mereka mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan ke kebun binatang, menonton film anak-anak, mengunjungi sekian banyak toko, kemudian masuk ke restoran. Dan akhirnya mereka menonton sirkus.
 
Setelah sampai di rumah ayahnya berkata, bahwa mulai bulan depan Bluke Kecil harus masuk sekolah. Ayah dan ibu Bluke Kecil telah memilihkan sekolah yang baik, mahal, dan bersih, meskipun jauh. Karena itu, kata ibunya, ayah dan ibunya akan mendidik dia agar dia siap memasuki dunia yang sesungguhnya.
 
Selama satu bulan penuh ayah dan ibu Bluke Kecil lebih banyak tinggal di rumah.
 
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, kadang-kadang kamu ke luar rumah pada waktu ayah dan ibu bekerja.”
 
Bluke Kecil diam.
 
”Kamu tahu, Bluke Kecil, ayah dan ibu berkali-kali mengatakan kamu tidak boleh ke luar rumah kalau ayah dan ibu sedang bekerja. Kamu melanggar. Dan ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”
 
Bluke Kecil tetap diam, namun dalam hati berkata: ”Udara ruang bawah tanah tidak sehat. Kalau saya hanya mengeram di sini terus, pasti saya sudah menjadi mayat.”
 
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, setiap kamu ke luar sendirian, pasti kamu menemui kesulitan. Kamu diejek, dihina, dimintai uang. Kadang-kadang kamu juga ditonjok perut kamu sampai beberapa kali kamu muntah. Dan meskipun kamu jarang kapok, kamu sebetulnya takut.”
 
Bluke Kecil tetap diam.
 
”Ayah dan ibu tahu, Bluke Kecil, bahwa uang yang dirampas oleh orang-orang jalanan itu jauh lebih besar dari uang saku kamu. Jangan kamu kira bahwa ayah dan ibu tidak tahu dari mana kamu memperoleh uang sebanyak itu. Ayah dan ibu tahu kamu mencuri, mencuri uang ayah dan ibu kamu sendiri, dari situ, laci meja itu, dari situ, almari itu, dan dari situ, kotak di pojok itu. Kamu memang cerdik. Uang yang ayah dan ibu sembunyikan di bawah kasur supaya tidak mudah kamu endus ternyata juga kamu curi. Dan cara kamu mencuri juga cerdik. Kamu tidak pernah mencuri dalam jumlah besar supaya tidak mencolok. Kamu selalu mencuri dalam jumlah kecil-kecilan tapi terus-menerus.”
 
Ibu Bluke Kecil mengeluarkan catatan, lalu berkata: ”Inilah daftar uang yang kamu curi, Bluke Kecil. Ada tanggalnya, ada harinya, ada jamnya, ada juga uang dari tempat mana yang kamu curi. Semuanya tercatat serbarinci, serbajeli, serbatepat. Kamu jangan menyangkal. Jangan. Namun ketahuilah, Bluke Kecil, ayah dan ibu sudah memaafkan kamu.”
 
Lalu ayah dan ibu Bluke Kecil memberi tahu cara-cara untuk mempertahankan diri manakala dalam perjalanan pergi pulang ke sekolah nanti dia dihina, ditempeleng, dan dimintai uang oleh berandal-berandal jalanan.
 
”Jangan takut kepada mereka, Bluke Kecil. Ayah dan ibu kamu berusaha keras untuk membuat kamu manusia bermartabat, jangan sampai terus-menerus dikalahkan, diinjak-injak, dan tidak ada habisnya dianggap sebagai sampah. Kamu harus melawan, Bluke Kecil, kalau kamu memang akan diinjak-injak. Namun kamu juga harus ingat, Bluke Kecil, kamu tidak boleh menyakiti siapa pun sebelum kamu disakiti terlebih dahulu. Lakukanlah tindakan-tindakan baik kepada semua orang. Namun kalau semua orang membalas perlakuan baik kamu dengan penghinaan, lawanlah mereka.”
 
Ayah dan ibu Bluke Kecil kemudian mencopot semua pakaian mereka. Dan baru kali itulah Bluke Kecil melihat ayah dan ibunya telanjang. Bagi Bluke Kecil, dalam keadaan telanjang ayah dan ibunya tidak tampak sebagai manusia, tapi sebagai sepasang binatang purba yang amat janggal dan juga amat lucu.
 
Bluke Kecil yakin, ayah dan ibunya pasti tidak tahu bahwa sebagian uang curian yang dicatat oleh ayah dan ibunya dengan rapi itu sebetulnya dia pergunakan untuk menyewa komik di kios tidak jauh dari jembatan. Hampir setiap hari Bluke Kecil pergi ke kios itu, membaca beberapa komik, lalu membayar sewanya, lalu pergi ke beberapa tempat lain sebelum akhirnya pulang.
 
Dari komik-komik itulah Bluke Kecil belajar membaca sendiri, dan akhirnya juga belajar menulis sendiri. Dan inilah yang tidak diketahui oleh ayah dan ibu Bluke Kecil. Dan inilah salah satu sebab yang mendorong keyakinan Bluke Kecil bahwa mencuri tidak selamanya jahat.
 
”Sekarang, Bluke Kecil, copotlah semua pakaian kamu.”
 
Bluke Kecil terpaksa ikut telanjang. Dalam hati Bluke Kecil ada perasaan ngeri. Seolah-olah dia ikut-ikutan tidak menjadi manusia, namun menjadi binatang purba. Dan bukan hanya itu. Seolah-olah dia tidak mempunyai benteng pertahanan apa pun. Segala sesuatu dalam perasaan dan pikirannya seolah-olah bisa dibaca bukan hanya oleh ayah dan ibunya, namun juga oleh semua seluruh dunia.
 
”Lihatlah ibu kamu, Bluke Kecil,” kata ayah Bluke Kecil.
 
Dengan gerak tenang, gemulai, dan meyakinkan, tangan ibu Bluke Kecil menapak lantai, kemudian seluruh berat tubuhnya disangga oleh kekuatan sepasang telapak tangannya. Lalu tubuhnya turun, ganti kepalanya yang menyangga berat tubuh, lalu dalam keadaan kakinya di atas dan kepalanya di bawah, ibu Bluke Kecil bersedekap. Ibu Bluke Kecil bernapas dengan tenang, kemudian tidur dalam keadaan tetap berdiri di atas kepala. Selang lebih kurang sepuluh menit ibu Bluke Kecil melakukan gerakan-gerakan lain, dan ayah Bluke Kecil bertindak sebagai pelatih.
 
Melalui latihan keras dan melelahkan, dalam waktu sepuluh hari Bluke Kecil sudah sanggup menirukan gerakan-gerakan dasar ayah dan ibunya. Karena Bluke Kecil dapat belajar dengan cepat, ayah dan ibunya menyatakan perasaan bangga mempunyai anak Bluke Kecil.
 
Dalam latihan-latihan itu perlahan-lahan Bluke Kecil menyadari bahwa sebetulnya ayah, ibu, dan anak saling mencintai. Ada ikatan batin yang sangat kuat di antara mereka. Kendati sampai saat itu Bluke Kecil masih merasa ada tembok-tembok kuat yang memisahkan ayah, ibu, dan dirinya, Bluke Kecil merasa bahwa tembok-tembok kuat itu justru penting untuk mempersatukan kasih sayang mereka.
 
Selama beberapa kali diajak ke kebun binatang dan perusahaan tempat ibunya bekerja Bluke Kecil benar-benar merasakan bahwa ayah dan ibunya sangat dihormati di tempat kerjanya masing-masing. Bukan hanya pegawai biasa yang menghormati ayah dan ibunya, namun juga atasan-atasan mereka. Rasa hormat itu sama sekali tidak dibuat-buat, namun benar-benar tulus.
 
Diam-diam Bluke Kecil merasa ayah dan ibunya menuntut agar dia nanti di sekolah juga dihormati, bukan hanya oleh teman-temannya, tapi juga oleh guru-gurunya. Ayah dan ibunya tidak menghendaki Bluke Kecil gagal. Kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, ayah dan ibunya ingin agar dia menjadi manusia yang mempunyai harkat, derajat, dan martabat tinggi.
 
Bahwa ayah dan ibunya merasa gagal Bluke Kecil tahu dengan pasti setelah pada suatu malam ayah dan ibunya membuka beberapa peta dunia di meja makan. Bluke Kecil tahu betul bahwa ayah dan ibunya telah menyimpan peta-peta itu di tempat tersembunyi, mungkin dengan harapan Bluke Kecil tidak akan menemukannya dan membuka-bukanya. Namun, sebetulnya, sudah lama diam-diam Bluke Kecil membuka-buka peta-peta itu dan merenungkan apa gerangan makna masing-masing tanda pada peta-peta itu.
 
Bukan hanya itu. Bluke Kecil sudah lama menyembunyikan radio kecil dengan gelombang panjang dan gelombang pendek, radio yang ditemukannya secara tidak sengaja di tong sampah kira-kira satu kilo dari tempat tinggalnya. Pada waktu Bluke Kecil menemukannya, radio kecil itu dalam keadaan rusak. Dengan tekun Bluke Kecil mengotak-atik radio itu, sampai akhirnya radio itu bisa mengeluarkan suara-suara gembret. Setelah mencuri uang ibunya Bluke Kecil lari ke kedai kelontong, membeli dua baterai kecil, dan keluarlah suara-suara nyaring dari radio kecil itu.
 
Mulai dari saat itulah Bluke Kecil mempunyai kegemaran yang amat menyenangkan, yaitu mendengarkan siaran-siaran dari luar negeri melalui gelombang pendek. Maka, ketika ayah dan ibunya membuka peta-peta dunia di meja makan tahulah Bluke Kecil makna tanda-tanda pada peta-peta itu. Bluke Kecil tahu bahwa dunia dibagi dalam lima benua, tahu di mana letak negara-negara besar, dan tahu di mana letak negara di mana dia tinggal dan di kota mana dia tinggal. Mencuri uang orang tuanya, dengan demikian, bagi Bluke Kecil bukanlah dosa, karena uang itu untuk belajar membaca dan menulis, dan juga untuk membeli baterai, dan dengan baterai itu Bluke Kecil bisa membayangkan bagaimana dunia ini sebenarnya. Bukan hanya itu. Bluke Kecil juga bisa mendengar beberapa bahasa dari negara-negara lain di lima benua, dan Bluke Kecil juga bisa menirukan berbagai bahasa itu.
 
Bluke Kecil tahu, ayah dan ibunya mempunyai keinginan besar untuk menjadi pengelana dunia bukan dengan jalan menjadi pegawai perusahaan penerbangan atau pelayaran, dan karena itu bisa ikut terbang dan berlayar, namun sebagai orang-orang terhormat dan terkemuka. Sekali lagi, Bluke Kecil tahu. Dan kelak, ketika Bluke Kecil sudah tidak kecil lagi, tahu bahwa seseorang yang terhormat dan terkemuka pasti diundang ke mana-mana bukan sebagai pegawai, namun sebagai pribadi yang kuat. Karena itu, ayah dan ibu Bluke Kecil juga tidak mau menjadi pengelana dunia sebagai pemain sirkus.
 
Kalau mau, pasti ayah dan ibu Bluke Kecil bisa menjadi pe?main sirkus yang bukan sembarangan. Ingatlah, ayah Bluke Kecil adalah penjinak binatang buas yang amat dihormati, dan sebagaimana ibu Bluke Kecil, tubuh ayah Bluke Kecil juga lentur. Dan Bluke Kecil juga tahu, ayah dan ibu?nya bukanlah orang-orang bodoh.
 
Dalam keadaan pura-pura sudah tidur Bluke Kecil pernah menyaksikan sendiri, ayah dan ibunya dalam keadaan sama-sama telanjang memelajari titik-titik kuat dan titik-titik lemah tubuh manusia. Ketika kepala ayah Bluke Kecil dihantam sebilah kayu panjang oleh ibu Bluke Kecil, ayahnya tidak merasa apa-apa. Namun begitu tangan ibu Bluke Kecil menyentuh satu titik tepat di atas pusar, ayah Bluke Kecil menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak kesakitan. Lalu, dalam keadaan pura-pura sudah tidur pula, Bluke Kecil pernah menyaksikan ayah dan ibunya, dalam keadaan telanjang pula, menari-nari dengan sangat indah. Dan Bluke Kecil tahu, barang siapa ingin menjadi pemain sirkus harus pandai menari.
 
Demikianlah, Bluke Kecil dalam keadaan pura-pura sudah tidur sering menyaksikan ayah dan ibunya dalam keadaan telanjang melakukan gerak-gerik yang benar-benar ajaib, kadang-kadang tidak masuk akal, dan kadang-kadang mengerikan juga. Pernah, misalnya, dengan mempergunakan pedang sewaan, ayah dan ibu Bluke belajar bertempur, saling menyerang, dan saling ingin merobohkan.
 
Bluke Kecil betul-betul tahu bahwa ayah dan ibunya tahu bahwa Bluke Kecil pura-pura sudah tidur namun sebetulnya masih terjaga. Karena itulah, pada suatu malam, sehabis saling menyerang dengan pedang sewaan, ayah Bluke Kecil berkata kepada ibu Bluke Kecil: ”Itu, lho, anak kamu pura-pura tidur.”
 
Ibu Bluke Kecil menjawab: ”Tinggalkan tempat tidur, Bluke Kecil, lalu, cepat-cepatlah lepas seluruh pakaian kamu.”
 
Dan setelah Bluke Kecil bangkit dari tempat tidur, ibunya langsung menyodorkan sebilah pedang: ”Seranglah saya, Bluke Kecil.”
 
Bluke Kecil pun bangkit, lalu menyerang ibunya dengan beberapa ayunan pedang, tapi selalu luput.
 
”Sekarang seranglah ayah kamu, Bluke Kecil.”
 
Dan Bluke Kecil pun menyerang ayahnya dengan berbagai ayunan pedang. Tahulah Bluke Kecil, cara ibunya dan ayahnya menghindar dari serangan ayunan-ayunan pedang bukanlah dengan gerak biasa, namun gerak tari yang amat indah.
 
Waktu satu bulan sudah habis, dan tibalah saatnya bagi Bluke Kecil untuk sekolah.
 
”Kamu Bluke Kecil, bukan?” tanya guru ketika kelas pertama pada hari pertama baru saja dimulai. ”Ayah dan ibu kamu sudah beberapa kali datang ke sini. Mereka minta izin untuk menyuruh kamu sekolah tiga tahun terlambat. Boleh-boleh saja. Undang-undang negara kita tidak membatasi umur mulai sekolah, asal semua anak akhirnya lulus SD, SMP, dan SMA.”
 
Bluke Kecil mengangguk-angguk.
 
”Apa kerja kamu selama tiga tahun, Bluke Kecil? Menjadi pengantar koran? Atau pengantar susu? Undang-undang negara kita tidak melarang anak-anak bekerja, jadi kamu kerja ini atau kerja itu juga tidak apa-apa.”
 
Bluke Kecil diam, sementara anak-anak lain heran, mengapa ada anak setua itu baru mulai sekolah, dan mengapa pula ada anak sebesar itu dipanggil ”Bluke Kecil”, bukan ”Bluke Besar”, ”Bluke Tua” atau semacam itu. Anak-anak lain keder, karena mereka tahu, anak sebesar ini atau setua ini pasti jauh lebih pandai daripada mereka.
 
Memang, ternyata benar, Bluke Kecil amat pandai. Bluke Kecil tahu banyak mengenai makna angka dan huruf, ilmu bumi, kata-kata asing, dan sekian banyak hal yang pernah dibacanya dari komik dan didengarnya dari siaran-siaran radio luar negeri, dan juga dari bisik-bisik ayah dan ibunya ketika mereka memperbincangkan dengan nada malu-malu mengenai negeri-negeri jauh. Maka, pada saat guru mengajar Bluke Kecil sering ngalamun.
 
Bluke Kecil sadar bahwa dirinya asing dengan siapa pun. Ayah dan ibunya tetap berlagak sama seperti dulu, yaitu, ”Bluke Kecil, ambilkan bir”, ”Bluke Kecil, bikinkan kopi”, ”Bluke Kecil, untuk apa kamu mencuri uang lagi?” dan di sekolah dirinya juga asing dengan teman-temannya, asing pula dengan guru-gurunya. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, seperti yang pernah dikatakan ibunya, mendekati dirinya hanya untuk minta uang, dan kalau tidak diberi uang mereka menempelengi dia. Bedanya, dulu Bluke Kecil ditempelengi dan lari atau menyerah dan memberi uang, dan sekarang Bluke Kecil melawan dan ditakuti. Pelajaran-pelajaran dari ayah dan ibunya telah membentuk Bluke Kecil sebagai anak pemberani, akan diam kalau tidak diapa-apakan, dan akan menghajar tanpa ampun apabila disakiti.
 
Semua guru juga sadar, Bluke Kecil asing dengan diri mereka. Guru-guru tidak tahu bagaimana caranya menghadapi Bluke Kecil, karena tingkah Bluke Kecil sering menimbulkan tanda tanya. Sering, misalnya, Bluke Kecil tertidur pulas pada waktu guru sedang mengajar, dan karena ayah Bluke Kecil selalu mendengkur keras pada waktu tidur, Bluke Kecil pun sering mendengkur keras pada waktu guru mengajar.
 
Namun, kendati Bluke Kecil sering tertidur dengan dengkur yang amat meresahkan, ternyata Bluke Kecil sanggup menyimak kata demi kata semua gurunya. Pada suatu hari, misalnya, guru ilmu bumi dengan penuh wibawa mengatakan, ibu kota Nepal adalah Sikkim. Langsung, dalam keadaan matanya masih menutup berat, Bluke Kecil mengacungkan tangan, sambil berkata: ”Kalau petanya kecil, memang tampaknya Sikkim menempel di Nepal. Karena itu, biasalah manakala orang-orang menganggap Sikkim ibu kota Nepal. Namun, Sikkim itu negara tetangga Nepal. Ibu kota Nepal tentu saja Katmandu, dan semua orang seharusnya sudah tahu. Hah, hah, hah …”
 
Akhirnya, semua guru berusaha untuk senang kepada Bluke Kecil, tapi semua guru tetap tidak senang kepada Bluke Kecil. Dan semua guru juga sadar, mereka hanyalah makhluk-makhluk bodoh, tidak tahu bagaimana harus mengajar karena otak mereka kosong, dan tidak tahu bagaimana berkata-kata dengan meyakinkan di hadapan semua murid, karena Bluke Kecil pasti tahu, apa yang mereka katakan mungkin keliru.
 
Akhirnya Bluke Kecil juga sadar, ayahnya menjadi penjinak binatang buas bukan sekadar mengikuti darah nenek-moyangnya yang memang sejak dahulu menjadi penjinak binatang buas, namun karena, dan inilah yang penting, ayahnya melarikan diri dari kegagalan. Bluke Kecil dapat menebak, ketika mengelus-elus zripanzea ayahnya merasa sedang berada di Argentina karena asal-usul binatang buas zripanzea adalah Argentina, pada waktu menimang-nimang bayi lodvivalia mamalia layaknya ayahnya sedang berada di Uganda, dan pada waktu memandikan norgazus psinomalia ayahnya merasa seakan-akan berada di Babilon zaman dahulu kala, karena dari situlah asal-usul binatang buas yang sedang dia mandikan.
 
Bluke Kecil juga menduga, ibunya menjadi sopir taksi, padahal kalau mau pasti mendapat pekerjaan lain dengan gaji lebih baik, karena ibunya, seperti juga ayahnya, adalah makhluk yang gagal. Dengan mengendarai mobil ke mana-mana, meskipun jarang ke luar kota, ibunya membayangkan sedang bepergian ke ujung-ujung lain dunia. Ibunya juga sering mengajak penumpang-penumpangnya untuk berputar-putar menempuh jarak yang lebih jauh sambil mengobrol macam-macam tanpa meminta bayaran tambahan, tidak lain karena, inilah dugaan Bluke Kecil, ibunya membayangkan sedang berkeliling dunia dan mengobrol dengan orang-orang dari negeri antah-berantah yang amat jauh.
 
Dugaan Bluke Kecil mungkin benar: ibunya sering mendapat tip berupa uang asing, kaos oblong dengan gambar dan kata-kata negeri asing, rokok merek luar negeri, gantungan kunci dari berbagai negara, dan entah apa lagi. Semua barang asing itu sering ditimang-timang ibunya, dan mungkin karena itu pulalah, ibunya tidak pernah memperhatikan Bluke Kecil dengan sungguh-sungguh.
 
Tanpa diduga-duga, pada suatu hari setelah sekolah usai, seorang guru baru pindahan dari kota lain menahan Bluke Kecil.
 
”He, Bluke Kecil, boleh kan sekali tempo saya main-main ke rumah kamu?”
 
Mata Bluke Kecil mendelong.
 
”Begini, Bluke Kecil. Kamu sekolah terlambat tiga tahun. Lalu kamu sering ngalamun. Sering pula tidur. Ternyata kamu pandai. Inilah ciri-ciri anak melarat. Bukan anak melarat biasa, tapi anak melarat yang sudah tidak mempunyai ayah. Ibu kamu pasti perempuan hebat.”
 
Tanpa tahu sebabnya, Bluke Kecil menurut ketika Bapak Guru mengajak ke rumah makan.
 
”Jangan khawatir pulang terlambat, Bluke Kecil. Nanti kamu saya antar pulang. Saya ingin ketemu ibu kamu.”
 
”Maaf, Bapak Guru, ayah saya masih ada.”
 
”Kalau begitu, ibu kamu sudah tidak ada.”
 
”Maaf, Bapak Guru, ibu saya masih ada.”
 
”Ah, mosok begitu? Kamu pasti punya ibu tapi ayah kamu sudah tidak ada.”
 
Bluke Kecil diam sebentar, kemudian, dengan malu-malu mengeluarkan sebuah potret dari tasnya. Potret itu diambil ketika ayah dan ibunya bersikap ramah, mengajak Bluke Kecil berjalan-jalan, masuk toko, mengunjungi rumah makan, lalu menonton sirkus. Bluke Kecil sadar, dengan menyimpan potret itu, sebenarnya dia sangat mencintai ayah dan ibunya.
 
”Maaf, Bluke Kecil, saya kira kamu sudah tidak punya ayah. Begini, Bluke Kecil, saya sudah tidak punya istri. Tuhan Mahabesar. Arwah istri saya, dengan perkenan Tuhan Mahabesar, sekarang sudah berada di surga. Tadi malam saya didatangi arwah istri saya bukan dalam mimpi, namun ketika saya sedang makan. Istri saya minta maaf tidak bisa menemani. Sebelum pergi, istri saya, maksud saya arwah istri saya, minta saya mencari istri baru.”
 
”Maksud Bapak Guru, Bapak Guru mau mengambil ibu saya menjadi istri Bapak Guru?”
 
”Ah, itu tidak penting, Bluke Kecil. Yang penting ternyata kamu masih mempunyai ayah.”
 
Setelah berhenti sebentar, Bapak Guru berkata: ”Begini, Bluke Kecil, katakan kepada ibu kamu, kalau ayah kamu sudah tidak ada, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”
 
”Kalau ayah saya tetap ada, Bapak Guru?”
 
”Makanya katakan, Bapak Guru mau, Bapak Guru setia menunggu.”
 
Setelah diam sebentar, Bapak Guru menyambung: ”Apa pekerjaan ayah kamu, Bluke Kecil?”
 
”Penjinak binatang buas.”
 
”Itu mungkin agak penting, Bluke Kecil. Sejarah menunjukkan, hampir semua penjinak binatang buas akhirnya diterkam binatang buas.”
 
”Andaikata ayah saya pilot, Bapak Guru?”
 
”Pesawat terbang kan bisa jatuh.”
 
”Andaikata ayah saya kapten kapal, Bapak Guru?”
 
”Kapal pun pada suatu saat bisa tenggelam.”
 
”Andaikata ayah saya pegawai kantor pos, Bapak Guru?”
 
”Pegawai kantor pos kan bisa saja ketabrak mobil.”
 
”Mengapa Bapak Guru kurang ajar?”
 
”Hus! Jangan begitu, Bluke Kecil. Kamu kan mengandai-andai. Makanya saya juga mengandai-andai.”
 
”Tapi ayah saya benar-benar penjinak binatang buas, Ba?pak Guru.”
 
”Itu kenyataan, Bluke Kecil. Namun kenyataan pun tidak lepas dari pengandaian. Ingatlah pepatah ”senjata makan tuan”. Itu pengandaian, bukan?”
 
Bluke Kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.
 
”Begini saja, Bluke Kecil. Kamu akan saya ajak nonton teater. Bukan hanya sekali tempo, namun sering. Dengan nonton teater kita dapat melihat cerita-cerita bagus. Kita melihat Van Couver, Shanghai, Sidney, Surabaya, Kopenhagen, Berlin. Semua ada di teater.”
 
Bluke Kecil berpikir: ”Ini dia, manusia gagal!”
 
”Bagaimana, Bluke Kecil? Bilang pada ibu kamu, ya, Bapak Guru mau. Bapak Guru setia menunggu.”
 
Bluke kecil dan Bapak Guru saling berpandangan.
***

*) Novelis, cerpenis, dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Olenka merupakan salah satu karya fenomenalnya. http://sastra-indonesia.com/2009/11/bluke-kecil/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria