Jawa Pos, 16 Des 2018
Gus Dur disowani orang Madura dan anaknya. Gus Dur bertanya, “Sampean siapa namanya?”
Tamu itu menjawab, “Mad Ruslan, Gus.”
“Mad Ruslan. Lengkapi ya, jadi Muhammad Ruslan. Kalau anaknya ini, siapa namanya?”
“Mad Yunus, Gus.”
“Nah, ini juga, lengkapi jadi Muhammad Yunus. Nama bagus semua itu.”
Tamu itu manggut-manggut santun atas semua tuturan Gus Dur.
Gus Dur bertanya lagi, “Rumah Sampean di Madura dekat masjid?”
“Tidak, Gus. Agak jauh. Rumah saya dekat Muhammad Rasah.”
“Itu nama tetangga Sampean?”
“Bukan, Gus, itu tempat anak-anak sekolah diniyah.”
“Oh, madrasah. Kalau itu sudah benar, jangan dilengkapi begitu sebutannya.”
Anekdot kocak tersebut mengingatkan saya pada apa yang di tanggal 11 Desember 2018 malam lalu oleh Afrizal Malna dalam diskusi buku puisi terbarunya, Buka Pintu Kiri, di Kafe Basabasi, Jogja, dinyatakan sebagai “mekanisme interrelasi kita (manusia) dengan sesuatu (benda, sosok, dll) dan darinya lantas melahirkan suatu makna. Mekanisme interrelasi tersebut tentu saja majemuk sehingga bentuk-bentuk makna yang dilahirkannya pun majemuk. Begitulah hakikat bahasa.”
Martin Heidegger mengistilahkannya sorge. Yakni, suatu “keterlemparan” ke dalam suatu pengalaman, pencerapan, pembacaan, dan segala bentuknya yang lantas menghantar setiap kita pada suatu bangunan makna dan kemudian kita membahasakannya. Setiap kita jelas memilikinya secara personal sekaligus komunal sehingga logis belaka bila akhirnya bangunan makna dan bahasa kita bisa menjadi personal dan (atau) pula komunal.
Begini tamsilnya.
Melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), boleh jadi kita mendulang pengertian suatu makna suatu kata (lema). Lalu menuliskannya atau melisankannya. Pendeknya, menjadikannya “alat komunikasi”.
Meski begitu, kendati KBBI adalah “kitab suci” bahasa Indonesia, tidak lantas pola itu dapat diaksiomakan bahwa semua lema dan makna yang Anda nukil dari KBBI akan diterima, dipahami, apalagi digunakan oleh orang lain, apalagi setiap orang penutur bahasa Indonesia. Tidak. Ada pengaruh besar sorge di dalamnya.
Kata “berkelindan” (kata kerja) dalam KBBI diartikan “erat menjadi satu”. Pernahkah Anda mendengar ungkapan, “Para sejoli setiap boncengan selalu berkelindan?”
Saya pribadi tidak pernah. Dulu, untuk menggambarkan hal begitu, ungkapan yang paling sering kita dengar, “Para sejoli berpelukan erat setiap boncengan.” Kemudian, kita pun pernah mendengar ungkapan, “Mereka berboncengan bagai celurit.” Belakangan, lumrah kita dengar, “Di atas motor pun, para sejoli berna-ena.” Kata “berena-ena” tersebut memang ditulis begitu, bukan typo.
Bagaimana bisa hal itu terjadi?
Jelas jawabannya: Bahasa akan selalu bergerak dinamis sesuai dinamika kehidupan setiap manusia penggunanya -dalam ungkapan Heidegger, sorge, keterlemparan.
Anda bisa meluaskan tamsil tersebut pada banyak lema lain, yang nyata dan karib digunakan oleh (sebagian besar/kecil) para pengguna bahasa Indonesia hari ini, yang boleh jadi asing bagi Anda, tak Anda temukan dalam KBBI, bahkan tak pernah dipakai para penyair.
Pada korelasinya dengan KBBI sebagai “kitab suci”, alhasil apa yang kita jejalkan sebagai makna suatu kata/lema yang kita gunakan dalam berbahasa sejatinya bukan hanya normal belaka untuk dipatuhi atau diingkari (mohon maaf, ini dalam perspektif filsafat bahasa). Namun, seyogianya memang KBBI-lah yang harus mengikuti dinamika sorge yang terus bergerak.
KBBI, ekstremnya, mesti “tahu diri” untuk berjalan di belakang sorge, bukan sorge yang mesti membuntuti KBBI. KBBI adalah buatan sorge manusia, mengapa manusia (penutur bahasa) yang mesti tunduk padanya?
Tentu saya tak pernah bermaksud menyatakan bahwa KBBI apalah. Jelas ia penting. Saya pribadi kerap menengok KBBI. Namun, secara filsafat bahasa, sorge yang memproduksi lema-lema itulah yang jauh lebih penting karena ia adalah sumber mengada manusia dalam berbahasa -jadi dasein-nya.
Tidak bisa dibalik. Tengoklah lema “bidah” (bid’ah) dalam KBBI yang diartikan dengan sorge Wahabisme. Jelas, sorge Nahdliyin menolaknya.
Lalu, bandingkan sorge Gus Dur perihal kata “Muhammad” di hadapan sorge orang Madura tersebut. Bagi sorge Madura, semua nama Muhammad diucapkan secara komunikatif sebagai “Mad”.
Ketika orang Madura menggunakan sorge Gus Dur -atau pada umumnya- dengan menyebutkan detail “Muhammad”, di kepala orang Madura tersebut seketika terbuhul postulasi bahwa semua kata “Mad” adalah “Muhammad”. Fatal ia tatkala diterapkan pada kata “madrasah”, jadinya “Muhammad Rasah”.
Kiranya, kita semua, utamanya para penjaga kaidah berbahasa, seperti akademisi, aktivis media, dan pengamat, sangat krusial untuk mendudukkan korelasi sorge dan bahasa sebagai sumber dasein manusia. Dan, sorge akan terus berpijar seiring denyut kehidupan manusia.
Ya, sesederhana itu. Yang berat-berat, biar para penyair saja yang memikirkannya.
***
*) Edi AH Iyubenu, Penulis Esai dan Sastra. http://sastra-indonesia.com/2021/08/sorge-bahasa/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire