lundi 30 août 2021

Sorge Bahasa

Edi AH Iyubenu *
Jawa Pos, 16 Des 2018
 
Gus Dur disowani orang Madura dan anaknya. Gus Dur bertanya, “Sampean siapa namanya?”
 
Tamu itu menjawab, “Mad Ruslan, Gus.”
 
“Mad Ruslan. Lengkapi ya, jadi Muhammad Ruslan. Kalau anaknya ini, siapa namanya?”
 
“Mad Yunus, Gus.”
 
“Nah, ini juga, lengkapi jadi Muhammad Yunus. Nama bagus semua itu.”
 
Tamu itu manggut-manggut santun atas semua tuturan Gus Dur.
 
Gus Dur bertanya lagi, “Rumah Sampean di Madura dekat masjid?”
 
“Tidak, Gus. Agak jauh. Rumah saya dekat Muhammad Rasah.”
 
“Itu nama tetangga Sampean?”
 
“Bukan, Gus, itu tempat anak-anak sekolah diniyah.”
 
“Oh, madrasah. Kalau itu sudah benar, jangan dilengkapi begitu sebutannya.”
 
Anekdot kocak tersebut mengingatkan saya pada apa yang di tanggal 11 Desember 2018 malam lalu oleh Afrizal Malna dalam diskusi buku puisi terbarunya, Buka Pintu Kiri, di Kafe Basabasi, Jogja, dinyatakan sebagai “mekanisme interrelasi kita (manusia) dengan sesuatu (benda, sosok, dll) dan darinya lantas melahirkan suatu makna. Mekanisme interrelasi tersebut tentu saja majemuk sehingga bentuk-bentuk makna yang dilahirkannya pun majemuk. Begitulah hakikat bahasa.”
 
Martin Heidegger mengistilahkannya sorge. Yakni, suatu “keterlemparan” ke dalam suatu pengalaman, pencerapan, pembacaan, dan segala bentuknya yang lantas menghantar setiap kita pada suatu bangunan makna dan kemudian kita membahasakannya. Setiap kita jelas memilikinya secara personal sekaligus komunal sehingga logis belaka bila akhirnya bangunan makna dan bahasa kita bisa menjadi personal dan (atau) pula komunal.
 
Begini tamsilnya.
 
Melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), boleh jadi kita mendulang pengertian suatu makna suatu kata (lema). Lalu menuliskannya atau melisankannya. Pendeknya, menjadikannya “alat komunikasi”.
 
Meski begitu, kendati KBBI adalah “kitab suci” bahasa Indonesia, tidak lantas pola itu dapat diaksiomakan bahwa semua lema dan makna yang Anda nukil dari KBBI akan diterima, dipahami, apalagi digunakan oleh orang lain, apalagi setiap orang penutur bahasa Indonesia. Tidak. Ada pengaruh besar sorge di dalamnya.
 
Kata “berkelindan” (kata kerja) dalam KBBI diartikan “erat menjadi satu”. Pernahkah Anda mendengar ungkapan, “Para sejoli setiap boncengan selalu berkelindan?”
 
Saya pribadi tidak pernah. Dulu, untuk menggambarkan hal begitu, ungkapan yang paling sering kita dengar, “Para sejoli berpelukan erat setiap boncengan.” Kemudian, kita pun pernah mendengar ungkapan, “Mereka berboncengan bagai celurit.” Belakangan, lumrah kita dengar, “Di atas motor pun, para sejoli berna-ena.” Kata “berena-ena” tersebut memang ditulis begitu, bukan typo.
 
Bagaimana bisa hal itu terjadi?
 
Jelas jawabannya: Bahasa akan selalu bergerak dinamis sesuai dinamika kehidupan setiap manusia penggunanya -dalam ungkapan Heidegger, sorge, keterlemparan.
 
Anda bisa meluaskan tamsil tersebut pada banyak lema lain, yang nyata dan karib digunakan oleh (sebagian besar/kecil) para pengguna bahasa Indonesia hari ini, yang boleh jadi asing bagi Anda, tak Anda temukan dalam KBBI, bahkan tak pernah dipakai para penyair.
 
Pada korelasinya dengan KBBI sebagai “kitab suci”, alhasil apa yang kita jejalkan sebagai makna suatu kata/lema yang kita gunakan dalam berbahasa sejatinya bukan hanya normal belaka untuk dipatuhi atau diingkari (mohon maaf, ini dalam perspektif filsafat bahasa). Namun, seyogianya memang KBBI-lah yang harus mengikuti dinamika sorge yang terus bergerak.
 
KBBI, ekstremnya, mesti “tahu diri” untuk berjalan di belakang sorge, bukan sorge yang mesti membuntuti KBBI. KBBI adalah buatan sorge manusia, mengapa manusia (penutur bahasa) yang mesti tunduk padanya?
 
Tentu saya tak pernah bermaksud menyatakan bahwa KBBI apalah. Jelas ia penting. Saya pribadi kerap menengok KBBI. Namun, secara filsafat bahasa, sorge yang memproduksi lema-lema itulah yang jauh lebih penting karena ia adalah sumber mengada manusia dalam berbahasa -jadi dasein-nya.
 
Tidak bisa dibalik. Tengoklah lema “bidah” (bid’ah) dalam KBBI yang diartikan dengan sorge Wahabisme. Jelas, sorge Nahdliyin menolaknya.
 
Lalu, bandingkan sorge Gus Dur perihal kata “Muhammad” di hadapan sorge orang Madura tersebut. Bagi sorge Madura, semua nama Muhammad diucapkan secara komunikatif sebagai “Mad”.
 
Ketika orang Madura menggunakan sorge Gus Dur -atau pada umumnya- dengan menyebutkan detail “Muhammad”, di kepala orang Madura tersebut seketika terbuhul postulasi bahwa semua kata “Mad” adalah “Muhammad”. Fatal ia tatkala diterapkan pada kata “madrasah”, jadinya “Muhammad Rasah”.
 
Kiranya, kita semua, utamanya para penjaga kaidah berbahasa, seperti akademisi, aktivis media, dan pengamat, sangat krusial untuk mendudukkan korelasi sorge dan bahasa sebagai sumber dasein manusia. Dan, sorge akan terus berpijar seiring denyut kehidupan manusia.
 
Ya, sesederhana itu. Yang berat-berat, biar para penyair saja yang memikirkannya.
***

*) Edi AH Iyubenu, Penulis Esai dan Sastra. http://sastra-indonesia.com/2021/08/sorge-bahasa/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria