Rakai Lukman
karang-karang mencoklat, ombak laut abu-abu berkejaran
impian yang hanyut diterpa angin tenggara
mengeja langit mendung
udara yang pengap jatuh di kerut kening
bercampur debu siang
aku tenggelam di rima ombak dan deru keinginan
matahari yang ngengat mengolah laut surut
detak jantung letih menunggu para petarung domino
canda tawanya menebas buih-buih pantai
aku terpaku di timangan waktu
direguk desiran gelombang jenuh
aku tulis apa saja
yang lintas dipandang, jemari jelajah ke mana saja
meniada langit yang lusa kutepis dengan pisau gundah
keasyikanmu meniada kedatangan dari jauh
laut yang tak berhitung untung rugi, meniada sesuatu
selalu gagal kau baca setangkup perlambang yang pendar
pesiar ke negeri atas angin, bangsa atas ingin
aku menunggu perbincangan bersamamu
kau asyik masyuk membelai kartu-kartu
pun kata-kata tak berarah, cukup membias di cangkir kopi
mulai kerontang menunggu tegur sapa
awan-awan menggurat langit, birunya berguguran pagi tadi
lintasan mata nyalang, melahap perahu-perahu yang sandar
mengibarkan getir nelayan, tak beroleh tangkapan
tak beroleh subsidi solar
di lincak kedai pesisir aku terlempar dalam cangkir kopi panas
dilipat-lipat gulungan ombak mungil gerai tawa
Panceng-Bungah, Desember 2016-Februari 2017
karang-karang mencoklat, ombak laut abu-abu berkejaran
impian yang hanyut diterpa angin tenggara
mengeja langit mendung
udara yang pengap jatuh di kerut kening
bercampur debu siang
aku tenggelam di rima ombak dan deru keinginan
matahari yang ngengat mengolah laut surut
detak jantung letih menunggu para petarung domino
canda tawanya menebas buih-buih pantai
aku terpaku di timangan waktu
direguk desiran gelombang jenuh
aku tulis apa saja
yang lintas dipandang, jemari jelajah ke mana saja
meniada langit yang lusa kutepis dengan pisau gundah
keasyikanmu meniada kedatangan dari jauh
laut yang tak berhitung untung rugi, meniada sesuatu
selalu gagal kau baca setangkup perlambang yang pendar
pesiar ke negeri atas angin, bangsa atas ingin
aku menunggu perbincangan bersamamu
kau asyik masyuk membelai kartu-kartu
pun kata-kata tak berarah, cukup membias di cangkir kopi
mulai kerontang menunggu tegur sapa
awan-awan menggurat langit, birunya berguguran pagi tadi
lintasan mata nyalang, melahap perahu-perahu yang sandar
mengibarkan getir nelayan, tak beroleh tangkapan
tak beroleh subsidi solar
di lincak kedai pesisir aku terlempar dalam cangkir kopi panas
dilipat-lipat gulungan ombak mungil gerai tawa
Panceng-Bungah, Desember 2016-Februari 2017
Aucun commentaire:
Publier un commentaire