vendredi 19 juin 2020

UPAYA MENGENANG PROSES KREATIF MENULIS NAWANGSARI

Anton Wahyudi *

TANGGAL 17 MARET 2020, sekitar pukul tujuh pagi lebih sepuluh menit, saya menerima pesan WhatsApp (WA) dari Nawangsari. Sebuah pesan singkat yang berisi tentang pengajuan pemilihan genre tulisan sekaligus pilihan tematik untuk pembuatan project menulisnya. Di dalam pesan itu terpampang secara jelas Nawangsari akan memilih genre tulisan fiksi (lebih tepatnya puisi) dan menentukan tematik wayang sebagai ide kreatif, sebagai acuan riset, sekaligus untuk mencari sumber inspirasi guna menyelesaikan project menulisnya.

Sebagai partner sekaligus teman menulis secara spontanitas saya mencoba mengajukan pertanyaan: mengapa harus memilih project menulis fiksi (utamanya puisi) dan mengapa harus wayang yang dipilih sebagai objek riset atau tematik calon bahan menulisnya? Coba, jelaskan secara singkat dan terperinci!

Beberapa menit kemudian —mungkin karena usai berpikir panjang, barulah ia menjawab pertanyaan itu. Ada beberapa pertimbangan. Pertama, lantaran ia sangat senang mencurahkan perasaan melalui tulisan celoteh inspiratif. Kedua, karena senang membaca puisi. Ketiga, lantaran puisi merupakan genre sastra yang sangat misterius dan sarat akan pesan-pesan filosofis di setiap jalinan struktur kalimatnya. Keempat, karena puisi dekat, merakyat, dan banyak diminati orang. Sedangkan, untuk alasan pemilihan tematik wayang sebagai objek menulis karena ada beberapa pertimbangan. Pertama, karena sejak kecil ia sering diajak menonton wayang. Kedua, lantaran ia sangat menyenangi budaya lokal, utamanya kebudayaan masyarakat Jawa yang diselaraskan dengan nama aslinya.

Setelah membaca dan memahami jawaban secara terperinci itu saya pun pada akhirnya mengajukan satu pertanyaan terakhir. "Riset penulisannya mau memakai sumber apa dan dari mana?" Nawangsari pun menjawab dengan begitu percaya diri, "Dari sini Pak," sembari menunjukkan sebuah gambar hasil screenshot sumber-sumber tulisan atau buku dari online. "Ok. Sip. Silakan menulis! Tapi sebelumnya tolong buatkan satu atau dua judul puisi yang berkaitan dengan tematik yang kamu usung itu. Lalu, hasil tulisan satu atau dua puisi itu kamu kirim melalui WhatsApp. Pak Anton ingin melihat isi puisinya," jawab saya, jelas. Dari situlah sekiranya pada dasarnya awal proses kreatif menulisnya dimulai.
***

Pada awal setelah saya membaca seluruh alasan-alasan yang diajukannya itu saya pun langsung berpikir. Saya jadi teringat buku-buku tentang wayang yang saya punya dan pernah saya baca dulu. Pertama, buku fenomenal "Ensiklopedi Wayang" yang ditulis oleh Wiwien Widyawati R. Buku non-fiksi tebal yang diterbitkan oleh Penerbit Pura Pustaka pada tahun 2009.

Sebuah buku yang memotret jelas tentang persoalan wayang beserta tetek-bengeknya mulai dari abjad "A" sampai dengan "Z". Baik memotret tentang tokoh-tokoh wayang (para dewa, tokoh cerita Mahabarata dan Ramayana), uraian tentang nama-nama negara, senjata, ajian-ajian pamungkas menurut versi pedalangan. Termasuk uraian detail tentang tiap-tiap tokoh wayang yang mencakup nama lain dari sisi tokohnya (baik dasa nama Jawanya, silsilah dan keluarga, tempat tinggal, watak dan kepribadian, kesaktian-senjata-atau ajian-ajian yang dimiliki, bagaimana peranannya dalam berbagai lakon saat disajikan dalam pertunjukannya, termasuk juga tentang macam wanda wayang kulit dari berbagai belahan wilayah di Indonesia.

Kedua, saya pun juga langsung teringat dengan satu buku puisi yang memotret tentang wayang. Buku puisi yang berjudul "Wayang dan Lain-lain". Buku puisi yang ditulis Purwadmadi pada tahun 2014. Salah satu mantan wartawan senior dan saat ini hijrah menjadi dosen di salah satu universitas swasta di Yogyakarta.

Tentunya, dari ingatan pembacaan dua buku masa silam itu saya langsung berpikir sejenak. Pikiran sejenak yang langsung tertuju pada rencana project menulisnya Nawangsari. Pada bayangan awal saya berpikir atau saya mencoba berangan-angan tentang berbagai macam sisi menarik yang bisa dijadikan bahan riset menulisnya, lalu diproyeksikan ke dalam karya-karya puisinya.

Sisi-sisi menarik dari persoalan tentang apa saja yang barangkali tidak pernah terpikirkan, baik tentang proses pembuatan wayang dari kulit dengan tingkat kesabaran dan kerumitannya, siapa saja tokoh-tokoh fenomenal atau seniman spesialis ahli pembuat wayang kulit, bagaimana konstruksi panggung wayang kulit beserta ornamen-ornamennya, bagaimana struktur pertunjukan wayang kulit pada umumnya. Termasuk bagaimana potret dalang-dalang wayang kulit dengan kekhasan suara dan teknik-teknik atraksi dalam memperlakukan wayangnya, bagaimana sisi menarik sinden-sinden yang cantik mempesona beserta suara-suara indahnya, bagaimana harmonisasi penabuh karawitan atau para pengiring musik yang bisa siap sedia menyelaraskan dengan cerita yang diusung dalangnya, bagaimana lawakan dalang atau sisipan-sisipan di antara sajian lakon atau cerita. Ataupun yang paling menarik tentang bagaimana kiprah para pegiat wayang kulit dalam menjaga stamina tidak tidur semalam suntuk, bagaimana sisi menarik penontonnya, bagaimana makna filosofi pakeliran tentang pasangan antara bayangan wayang dengan wujud aslinya, dan lain sebagainya.

Ternyata, setelah saya menerima naskah kumpulan puisi yang diberi judul "Sejatine Wayang" ini isinya melenceng jauh di luar ekspektasi saya sebelumnya. Bayangan-bayangan yang sudah saya konstruksi di pikiran tidak sesuai dengan kenyataan yang sudah ada. Sejenak saya akhirnya berpikir tentang kedalaman riset penulis beserta kepekaan rasa. Memang, hampir sering saya terbiasa menekankan kepada partner atau penulis tentang proses kreatif menulis, yang sejatinya harus terbiasa menitikberatkan pada kerja riset mendalam. Agar tiap-tiap individu penulis tersebut mempunyai banyak ramuan atau bahan untuk melangkah menulisnya, agar hasil tulisannya bisa memberikan sesuatu yang baru bagi para pembacanya, termasuk memberikan kebermanfaatan dalam menciptakan daya khayal di kepalanya.

Tapi, sebagai partner si penulis saya sudah cukup merasa puas atau sangat senang dengan ketuntasan dan keterselesaian project menulisnya. Saya senang karena hanya dalam kurun waktu sekitar tiga bulan Nawangsari sebagai penulis pemula ia bisa atau sudah berhasil menjalani proses kreatif menulisnya. Baik menjalani proses risetnya, proses kontemplasi objektifnya, hingga proses menulis atau menyelesaikan karya-karyanya dengan semangat membara. Semoga proses kreatif semacam ini selalu rutin dilakukannya untuk kualitas karya-karya berikutnya.
***

Berbicara tentang buku kumpulan puisi ini —"Sejatine Wayang", saya teringat pada salah satu genre puisi. Salah satu genre puisi yang diberi nama puisi epigram. Salah satu genre puisi yang sangat tidak asing lagi di mata maupun telinga, lantaran genre puisi semacam ini berusaha memuat tuntutan-tuntutan atau ajaran-ajaran dalam lelakuan kehidupan. Sebuah genre puisi yang biasanya ditulis dengan bahasa sederhana, dengan tipografi bentuk susunan larik-larik yang sederhana, isinya singkat, dan langsung tertuju pada tujuan. Dan, "Sejatine Wayang" saya katakan lebih tepat jika dikategorikan sebagai genre puisi tersebut. Hal ini dikarenakan di dalam larik-larik puisi yang ditulis oleh Nawangsari ini sarat dengan tuntutan-tuntunan kehidupan. Utamanya tuntunan yang tercipta dari potongan-potongan kisah-kisah atau peristiwa, baik dari kisah tokoh-tokoh pewayangan yang diusung maupun peristiwa-peristiwa dalam sajian lakon atau cerita.

Muncul pertanyaan sekilas di benak saya, mengapa judul kumpulan puisinya harus "Sejatine Wayang". Lantaran kata 'sejatine' (Jawa: Sejatinya) lebih mengarah atau bermuara pada pemaknaan rupa-rupa aslinya, rupa yang sesungguhnya. Dalam hal ini kata sejatine lebih mengacu pada rupa-rupa yang sesungguhnya dari tokoh-tokoh wayang yang diusung penulis dalam bukunya.

Dalam pembacaan sekilas, saya mengkategorikan 50 judul puisi yang ditulis Nawangsari ini menjadi beberapa kelompok. Pertama, kelompok yang memproyeksikan tentang tokoh-tokoh wayang. Kedua, kelompok yang memproyeksikan tentang kisah-kisah atau peristiwa. Ketiga, kelompok yang memproyeksikan latar atau tempat. Keempat, kelompok yang memproyeksikan tentang properti. Dan, kelima, kelompok yang menyimpang dari isi.

Pada kelompok pertama yang memproyeksikan tentang tokoh, terlihat jelas dari bagaimana Nawangsari menciptakan judul-judul puisinya. Judul-judul puisi yang secara langsung menyebutkan nama-nama tokoh dalam jagat pewayangan. Pada amatan saya terhitung ada sebanyak tiga puluh lima tokoh yang dibuat atau disajikannya. Baik tokoh-tokoh yang bisa dikategorikan sebagai tokoh antagonis, protagonis, tritagonis, maupun tokoh yang lainnya. Baik tokoh-tokoh yang masuk kategori kelas atas maupun kelas bawah. Tokoh-tokoh yang pastilah dianggap Nawangsari sebagai tokoh terpilih atau tokoh spesial tentunya.

Tokoh-tokoh yang sudah dipilih itu pasti tergambar jelas baik dari wujud atau bentuknya, begitu pun karakter-karakternya, maupun lelakuan pada kisah-kisahnya. Tokoh-tokoh itu antara lain Rama, Sinta, Semar, Arjuna, Bima, Duryudana, Pandawa, Kurawa, Sang Karna, Dewi Kunthi, Dewi Gandhari, Dewa Pandu, Petruk, Sangkuni, Punakawan, Baratayudha, Anoman, Dewa Krisna, Nangkula, Sadewa, Indrajit, Abimanyu, Batara Guru, Dewa Siwa, Sugriwa Subal, Raja Drestarasta, Yudhistira, Raja Rahwana, Bisma, Dewi Drupadi, Srikandi, Antaraja, Arimba, Abiyasa, dan Subali. Tokoh-tokoh yang mempunyai nama unik dan menarik serta mempunyai makna filosofis beserta sejarahnya.

Pada kelompok yang kedua Nawangsari memproyeksikan kisah-kisah atau peristiwa ke dalam larik-larik puisi yang ditulisnya. Terhitung dalam amatan saya ada sebanyak delapan belas kisah atau peristiwa. Kisah-kisah atau peristiwa penting atau sudah pasti menjadi sejarah yang dilisankan maupun yang dituliskan. Kisah-kisah atau peristiwa seperti Percintaan Rama dan Sinta, Kematian Duryudana, Semar Membangun Kayangan, Petruk Menjadi Ratu, Kisah Kelahiran Karna, Peristiwa Anoman Obong, Kisah Indrajit Yang Terlena, Kisah Gugurnya Abimanyu, Sayembara Kunthi, Ayodya Bedah, Kisah Kematian Sangkuni, Kisah Anak Kusir Kuda, Babat Alas Gamerto, Kisah Kematian Sang Bima, Pernikahan Antaraja, Kisah Arimba Yang Terlena, Kelahiran Abiyasa, hingga Kisah Gugurnya Subali.

Kisah-kisah yang diproyeksikannya secara ringkas melalui bahasa sederhana. Salah satu contohnya adalah kisah cinta sejati antara Rama dan Sinta. Cinta,,,,//Mungkin hanya itu yang rama punya//Demi sebuah permata bernyawa//Tak boleh tergores atau diminta//Bahkan saat diculik rahwana//Rama rela menjadi perisai utama//Tanpa rasa ragu//Engkau terus perjuangkan cintamu//Dan hanya Nama sinta//Yang ada di lubuk hatinya (Hlm. 1).

Kisah harmoni cinta antara Rama dan Sinta memang sudah melegenda di mana pun berada, menjadi cerita kanon. Meski diyakini lahir dari tanah India, namun epos pewayangan “Ramayana” sangat melekat erat di dalam sastra Jawa. Utamanya dalam cerita lakon pewayangan. Sehingga, bagi kebanyakan orang Jawa atau masyarakat Indonesia kisah cinta itu bukan lagi menjadi hal yang asing. Dan di dalam puisi Nawangsari inilah potret tentang hakikat cinta, arti kesetiaan, pengorbanan, perjuangan, dan harga diri sebagai sosok lelaki sejati diperlihatkan. Rama rela menjadi perisai utama. Rama tidak mau jika Sinta, sang kekasih hatinya, yang sedang diculik oleh Rahwana berpaling darinya. Dan semua itu tercermin karena cinta dan nama yang sudah menancap dalam di hatinya. Cinta yang sejati dan harus diperjuangkan tanpa keraguan, sampai mati.

Tidak hanya kisah-kisah atau peristiwa tentang perjuangan cinta. Kisah-kisah perjuangan lainnya juga tampak jelas pada beberapa judul puisi di dalam buku ini. Seperti halnya yang tertuang pada puisi berjudul "Abimanyu Gugur". Ketika perang baratayuda melanda//Gejolak perang tumbuh di hatinya//Ingin membela sang ayah arjuna//Namun dia tak bisa//Hingga pada hari ke tiga belas//Dirinya bebas//Untuk membela kebenaran//maju tanpa rasa ragu//bagai tikus masuk dalam perangkap//dirinya telah terjebak//usianya yang masih muda//dan ilmu yang belum seberapa//hingga kematian harus menjemputnya//tubuhnya yang muda hancur dihantam gada//karena ayah dan pamannya//sedang tidak bersamanya (Hlm. 23).

Kisah tragis dalam memperjuangkan tahta, harga diri keluarga, sekaligus cermin cinta sang anak kepada orangtuanya juga terproyeksikan pada puisi Nawangsari berjudul "Abimanyu Gugur". Sebuah potret putra muda calon penerus tahta yang harus rela kehilangan nyawa di usia mudanya. Sebuah potret pentingnya memperjuangkan kebenaran dan wujud pengorbanan sejati sang anak kepada keluarganya, utamanya kepada ayah tercintanya.

Abimanyu adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata yang mati muda dengan ilmu dan pengalaman yang belum seberapa. Ia adalah putra Arjuna dan Subadra. Kematian yang tragis bagai tikus masuk dalam perangkap. Riwayat sosoknya seringkali dituturkan sebagai pahlawan yang tragis, yang telah gugur dalam pertempuran besar di Kurukshetra sebagai salah satu kesatria termuda dari pihak Pandawa. Melalui larik-larik sederhana dan diksi yang mudah dipahami inilah Nawangsari mengajak pembaca berpikir sejenak, lalu menghubungkan isi larik-larik tersebut pada cerita-cerita sejarah yang sudah ada.
***

Pada kelompok yang ketiga Nawangsari menekankan pada puisi-puisi yang menyoal tentang latar atau tempat bersejarah yang terepresentasikan dari cerita wayang. Latar atau tempat yang sudah familiar dalam jagat pewayangan seperti Hastinapura (negeri makmur atau kerajaan yang kaya raya asal muasal para Pendawa Lima dan Kurawa yang jadi pemeran penting dari kisah Mahabharata), Alengkadiraja (nama kerajaan yang sering dieja dengan nama Ngalengkadiraja dalam cerita lakon Ramayana yang sangat identik dengan tokoh antagonis bernama Rahwana), Kayangan (dalam persepektif budaya dikatakan sebagai tempat yang dibuat oleh sosok pembawa keteduhan bernama Semar untuk membangun jiwa, rasa, dan rohani para Pandawa), Karang Kadempel (sebuah padepokan atau tempat milik Semar untuk meneguhkan jiwa), Alas Gamerto (hutan Wanomarto yang penuh dengan keangkeran dan dibabat oleh Pandawa dengan penuh kesabaran, keprihatinan, dan dengan rasa persaudaraan), dan lain sebagainya.

Pastinya tempat-tempat atau latar tersebut adalah simbol atau tanda yang menarik untuk didedah dengan akal terbuka. Dan tempat-tempat atau latar itu telah menjadi kesatuan dalam cerita-cerita yang dihadirkan dalam kumpulan puisi ini. Sebagai penguat sinyal imaji, penambah daya khayal, sekaligus pembuka citraan-citraan bagi tiap-tiap pembaca dalam mendedah atau menyelami isi atau tiap-tiap larik seluruh puisi di dalam buku.

Sedangkan, pada kelompok keempat puisi-puisi lebih memproyeksikan tentang properti. Properti-properti yang erat kaitannya dengan pusaka-pusaka atau senjata pamungkas, yang seringkali dihadirkan dalam sajian pertunjukan cerita atau lakon. Seperti yang tampak pada puisinya yang berjudul "Ghada". Ghada,,,//Senjata yang dimiliki Bima dan Duryodhana//Mengangkatnya bak mengangkat batu raksasa//Hancur berkeping-keping jika terkenanya//Hanya Bima dan Duryudhana yang mampu mengangkatnya//Dan benda ini selalu dibawa ke mana saja//Terutama saat terjadi pertempuran yang melanda (Hlm. 43).
***

Khusus pada kelompok yang kelima saya mengatakan sebagai kelompok puisi yang menyimpang dari isi buku. Walaupun hanya terdiri atas satu puisi saja akan tetapi saya katakan puisi tersebut menyimpang jauh dari keseragaman isi puisi-puisi yang lainnya. Entah apa alasan si penulis memasukkan satu judul puisi tersebut di antara puisi-puisi yang lainnya. Satu puisi tersebut berjudul "Sangkuriang". Paras yang cantik dan menarik//Membuat setiap orang tertarik//Dan selalu melirik//Bagaikan bunga mawar//Semakin bertumbuh usia//Semakin menggoda//Hingga anaknya tak percaya//Kekasih yang didamba//Ternyata pemilik rumah suci//Saat dirinya masih bayi (Hlm. 46).

Satu puisi yang tidak saya katakan sebagai representasi atau proyeksi tentang legenda atau cerita rakyat asal Jawa Barat. Cerita tentang Sangkuriang dan kecantikan Dayang Sumbi bak bunga mawar, yang membuat setiap orang bisa jatuh hati atau terpikat olehnya. Walaupun pada dasarnya cerita tersebut dalam folklor sedikit banyak juga menyoal tentang kahyangan, dewa-dewi, dan Sang Hyang Tunggal, akan tetapi akan menjadi satu puisi yang menyimpang jauh dari puisi-puisi yang lainnya. Walaupun pada dasarnya di dalam jagat pewayangan memang ada satu tokoh yang bisa dikatakan hampir mirip dengan cerita Sangkuriang. Yakni cerita tentang sosok Watugunung. Sosok yang merupakan putra Prabu Palindriya, sang raja Negara Purwacanta. Sosok Watugunung dijadikan sebagai raja di Negara Gilingwesi lantaran kesaktiannya yang dianggap luar biasa. Dengan demikian, mengapa penulis tidak secara langsung saja membuat judul puisi tersebut atau menggubah isinya melalui kontemplasi objektif tentang kisah atau peristiwa yang sudah ada.
***

Memang pada dasarnya setiap karya —dalam hal ini puisi, sebagian besar pasti terlahir dari petualangan imajinasi. Juga terlahir dari kegelisahan-kegelisahan penulis atau penyair dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ditemuinya. Persoalan-persoalan yang muncul secara spontanitas lalu pada akhirnya bisa menjadi ide-ide kreatif. Dengan demikian proses pengendapan dari penemuan ide-ide itulah yang harus disimpan, dijaga, dimatangkan, lalu dituliskan menjadi karya yang menarik. Karya yang mampu membuat pembacanya bertanya-tanya, berpikir, atau minimal tersentuh jantung hatinya. Tentunya sang penulis atau penyair tersebut harus memiliki daya mental yang kuat, agar bisa melahirkan diksi-diksi yang mampu menciptakan daya khayal sekaligus memancarkan makna yang mendalam. Hal ini dikarenakan puisi adalah kerajinan kata-kata. Dan hasil kerajinan harus bisa bernilai estetis bagi pembacanya.

Kumpulan Puisi "Sejatine Wayang" yang ditulis dengan perpaduan Bahasa Indonesia dan khas Bahasa Jawa ini sekiranya sudah hampir mampu menyalakan saklar imajinasi pembaca. Kumpulan puisi yang sarat akan nilai-nilai, yang hadir sebagai wujud kepedulian terhadap kesenian Wayang sebagai tradisi leluhur yang patut dilestarikan agar tidak terkikis zaman. Kumpulan puisi yang direkomendasikan untuk generasi muda yang ingin menyelami sedikit tentang dunia pewayangan. Lebih khususnya menyelami makna sejati tokoh-tokoh wayang beserta tabiat, tuntunan atau lelakuan, dan kisah-kisah menarik yang lainnya. Oleh karena sejatinya setiap manusia bisa diibaratkan layaknya wayang, yang diberi jasad, hati, rasa, dan nyawa, yang digerakkan oleh Tuhan Sang Pemilik Semesta Raya.

Omah Jambu, 19 Juni 2020
_________________
*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020).
http://sastra-indonesia.com/2020/06/upaya-mengenang-proses-kreatif-menulis-nawangsari/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria