jeudi 18 juin 2020

Lingon, Perempuan Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia

Bido, Seorang Gadis Suku Lingon Bermata Biru
Mahamuda *

“Saya menjelajah kawasan Halmahera Timur bertemu dengan suku primitif. Saya melihat sendiri gadis peranakan hasil kawin silang laki-laki suku Togutil dengan perempuan suku Lingon. Kulit mereka putih, tinggi langsing, hidung mancung, rambut pirang, dan bermata biru...” John Halmahera (1947-2020) telah mengakui bertemu suku terpencil, Lingon. Maka, pengakuannya itu sekaligus meluruskan pendapat Paul Spencer Sochaczewski mengenai suku Lingon, yang bertahan hidup di hutan Halmahera adalah pemakan manusia?

Buku-buku berkisah pulau-pulau Maluku dan Halmahera sudah cukup banyak diterbitkan. Mulai dari buku sejarah, kumpulan puisi, cerita pendek, esai, dan novel. Pembaca bergiat mengumpulkan juga membaca buku-buku perihal Maluku, serta Halmahera. Pada suatu hari, mengetahui ada seorang penulis bernama John Halmahera menulis sebuah novel tentang suku Lingon di belantara hutan Halmahera. Pembaca tertarik membacanya sekaligus menduga, kalau penulisnya pasti berasal Halmahera. Namun dugaan itu melenceng jauh setelah berusaha menemukan buku garapan John, kemudian membaca riwayatnya di halaman terakhir.

John, memiliki nama lengkap Alwi Bin Muhammad Alhaddar, lahir di Ternate 1947. Ia pernah menjadi wartawan olahraga di harian Sinar Harapan. Di tahun 1986, koran Sinar Harapan dibredel, berganti nama jadi Suara Pembaruan (SP). Tidak lama kemudian, John keluar dari SP, dan sebagai pemimpin redaksi majalah Popular. Buku pertama karyanya, cerita silat Wisang Geni Pendekar Tanpa Tandingan, 2 Jilid. John tutup usianya di Bekasi, tanggal 4 Maret 2020.

Sebelumnya, pembaca sudah mendengar cerita suku Lingon yang dituturkan di pulau besar Halmahera. Ada yang menganggap hanya mitos belaka atau konon di masa lampau, suku ini berasal dari para pendatang, serdadu Skandinavia yang terdampar di Kao dan beranak pinak. Lantas ada yang membuktikan bahwa suku Lingon memang benar ada. John, salah satunya yang mengambil peran penting hal ini. Tahun 2012, penerbit Zaytuna meluncurkan novel karangan John Halmahera berjudul “Lingon, Perempuan Bermata Biru di Belantara Hutan Indonesia.” Novelnya lumayan tebal 395 hlm, ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana.

John memulai cerita dari kampung Gurua, salah satu perkampungan di selatan pesisir timur Teluk Kao. Masinga, seorang Sousoulol dari Gunung Maspopa, memasuki kampung Gurua. Masinga memiliki ilmu kesaktian pampelemtou dan boyemekgiyon. Daya ilmu pampelemtou sanggup menghilangkan wujud, sedang ilmu boyemekgiyon, mampu menebak nasib dan masa depan. Selain itu, pandai berkelahi. Di Gurua, Masinga bertemu Barbakam, kepala kampung Gurua. Barbakam dan Masinga pernah berjumpa di kampung Subaim. Barbakam membawa Masinga ke rumah untuk mengobati mertuanya, dan warga kampung Gurua yang menderita penyakit seperti dialami mertua Barbakam. Masinga meracik ramuan dari akar-akar, kulit-kulit pohon, dan dedaunan, kemudian direbus. Airnya diminum mertua Barbakam, dan orang-orang Gurua yang sakit. Setelah mengobati, Masinga kembali ke kampungnya di Waijoi. Di sanalah, istri dan anak-anaknya hidup bahagia. Masinga meminta ijin kepada Barbakam membawa Tutu (Tutumole), pemuda Gurua yang gila sebab ditinggal pergi istrinya. Ia berjanji menyembuhkan sakit jiwa Tutu, dan menjadikan sebagai muridnya.

Pada suatu hari, Tutu dapat sembuh dari sakit gila. Masinga, mengajari Tutu sampai menjadi sousou. Seorang sousou mampu mengobati penyakit apa saja, tapi seorang sousou bukanlah sousoulol. Syarat pertama untuk jadi sousoulol, seseorang harus menjadi sousou terlebih dulu dan memeluk agama Islam. Syarat kedua menjadi sousoulol sangat berat, harus mempertaruhkan nyawanya di tanjung Lelai. Demikian kata Masinga pada Tutumole, ketika menghadapi ujian terakhir di tanjung Lelai demi menjadi seorang sousoulol:

“Sousoulol, wajib menolong orang tanpa pamrih. Orang yang ditolong, bisa mati, bisa juga hidup. Dalam tugas kewajibannya, terkadang sousoulol mempertaruhkan nyawanya. Itulah sebabnya, harus pahami makna kematian. Makin memahami kematian, kian tinggi ilmunya. Dan jalan memahami kematian adalah mendatangi, mendekati, juga merangkul kematian itu sendiri. Itulah tradisi turun-temurun para sousou, yang merintis jalan jadi seorang sousoulol.”

Masinga tidak pernah memaksa mewajibkan Tutu memeluk ajaran Islam. Namun Tutumole sendiri yang memutuskan, memilih menganut agama Islam, karena ingin menjadi sousoulol. Setelah berhasil melewati tantangan terakhir yang mematikan untuk menjadi sang sousoulol, Tutu dan Masinga berpisah. “Kamu bisa mencapai Gurua ke arah selatan, pergilah ke selatan, Tutu.” Begitulah kata-kata Masinga sebelum berpisah arah. Masinga menuju barat kembali ke Waijoi, sedangkan lelangkah Tutu berjalan terus ke selatan menuju Gurua.

Konon, hutan Halmahera tidak hanya dihuni suku Lingon dan Togutil. Tapi ada juga satu kelompok mahkluk hidup yang disebut Berebere. Makhluk tersebut memiliki tubuh kebal, tinggi besar, kulit hitam, dekil, seram, ganas, dan pemakan manusia. Berebere, berkeliaran di sekitar gunung Isalai. Mungkin yang dimaksud Paul Spencer, Berebere-lah pemakan daging manusia, dan bukan suku Lingon maupun Togutil.

Ada benarnya pendapat soal suku Lingon hanya mitos belaka, dengan alasan sulit dijumpai. Lewat novel ini, John berusaha menyakinkan pembaca, bahwa suku Lingon memanglah ada. Namun tersembunyi atau bersembunyi, menghindari perburuan, sehingga tidak mudah orang suku Lingon di hutan Halmahera dijumpai. Perempuan dari suku Lingon senantiasa diburu, seperti berburu binatang-binatang buas. Mereka para pemburu perempuan-perempuan Lingon, bukan hanya dari suku Togutil dan Berebere saja, tetapi para lelaki yang tinggal di pesisir, ikut memburunya. Ada yang memburu untuk dijadikan isteri, ada juga yang dijual kepada Walanda (Belanda), ada pula yang hanya mencicipi perawannya, lantas dibunuh. Karena sering diburu, diperkosa, dijual dan dihabisi dengan membuang kasih, Suku Lingon memilih bertahan hidup di belantara hutan angker Halmahera dengan selalu bersembunyi terus menghilang dari perburuan.

Di tengah perjalanan menuju kampung Gurua, Tutumole bermalam di tepi sungai Ake Onat. Ia menguasai separuh jalanan di gunung Kokonora, Gogolomo, Isalai dan Watowato, serta sungai-suangi di kawasan Kao Barat. Karena bertahun-tahun bersama Masinga menjelajahi sebagian daerah itu. Tutumole melanjutkan langkah ke selatan, arah gunung Isalai. Di pertigaan cabang sungai Ake Onat, Tutu berjumpa Bido dan rombongannya dari suku Lingon. Mereka sedang dalam bahaya besar, dikepung orang-orang suku Togutil, dan Tutumole menjadi penyelamat.

Beberapa rombongan Lingon mati dihabisi nyawanya oleh suku Togutil ketika melawan. Bido, Katina, dan Mikala, selamat dari serangan. Bido, gadis Lingon yang aduhai cantikanya, anak sulung Tamako, seorang kepala suku Lingon. Bido tak hanya memiliki paras kecantikan yang berlebihan, juga pemberani, serta pandai berkelahi. Gadis polos, tapi sesekali memperlihatkan mata jiwanya penuh berontak! Bido dan rombongannya meninggalkan perkampungan Lingon, ingin masuk hutan Atego di lereng selatan gunung Isalai, mencari akar yaiwo untuk mengobati Tamako, ayahnya, sang kepala suku Lingon.

John, membumbui cerita novelnya menjelma sedikit birahi, ketika Bido dan Tutumole saling memiliki rasa yang sama, mencintai. Dimulai dari perjalanan ke gunung Isalai sampai pulang ke perkampungan Lingon. John menyinggung sepintas mengenai pernikahan suku Lingon. Bahwa perempuan dan laki-laki, jika ingin bersuami-istri, keduanya langsung saja berhubungan badan. Namun dilakukan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan. Setelah itu, keduanya sah menjadi pasangan suami-istri. Apabila gadis Lingon menikah dengan lelaki yang bukan dari sukunya, sang gadis Lingon diwajibkan angkat kaki menjauh dari tempat persembunyian suku Lingon.

Dalam perjalanan mencari akar-akar yaiwo, Tutumole bersama Bido, mendapati serangan dari makhluk Berebere. Mikala dan Katina, tidak ikut. Mikala menemani Katina beristirahat, karena terluka parah saat melawan suku Togutil. Tutumole, yang menguasi ilmu sakti, dapat mengatasi serang-serang mematikan dari Berebere. Setelah berhasil mendapatkan akar yaiwo, Tutu, Bido, Mikala dan Katina meninggalkan gunung Isalai. Jalan pulang melewati arah kampung Dodaga, membutuhkan waktu berhari-hari. Dan singgah di sungai Ake Dodaga untuk beristirahat barang sejenak, nasib malang tak bisa dicegah, Bido secara tidak sengaja menghilangkan akar yaiwo. Bido bersedih hati kecewa berat, karena tidak menjaga dengan baik obat ayahnya. Perjalanan diteruskan memasuki kampung, istirahat di rumah kosong Salomon, kepala kampung Dodaga, sebelum melanjutkan perjalanan menaiki perahu ke Wasilesi, lalu melewati gunung Watowato.

Perjalanan pulang sering tidak sesuai rencana. Di Dodaga, Bido diculik orang pesisir. Pembaca beranggapan buruk kepada John, terlihat seperti menghindari berkisah lebih jauh tentang suku Lingon. Pembaca tidak mengenal betul serupa apa dan bagaimana, suku Lingon sesungguhnya berkehidupan, bersuku, dan berkebudayaan, di hutan Halmahera. John terlalu asik menuturkan kisah cinta Bido dan Tutu yang penuh birahi, juga sibuk berkelahi. Terlihat juga saat Tutu memutuskan arah jalan pulang dari lereng gunung Isalai melewati Dodaga. Ceritanya lebih banyak dibangun di pesisir.

Tiga lelaki bernama Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha, membawa Bido dengan perahu ke Akelamokao, terus ke pelabuhan Jailolo. Bido akan dijual ke Walanda. Selama berada di tangan pencuri, Bido tidak melawan sedikit pun, lebih banyak diam berdoa, dan selalu menyebut nama Tutu. Tutumole di Dodaga terluka, oleh serangan seseorang saat sedang mencari perahu untuk dipakai ke Wasilesi. Tutumole lagi tidak siap ketika ada serangan, yang membuatnya terluka. Dalam keadaan luka, Tutu mengejar Bido, dan dalam perjalanan ke Akelamokao berperahu, Kalawako, Rodo, dan Sulo ikut. Tiga orang Dodaga ini yang membantu Katina, dan Mikala mendayung. Belum sampai di Akelamokao, Tutumole menurunkan Kalawako, Rodo dan Sulo di Minaimin. Kemudian memotong teluk Kao. Sampailah juga di Akelamokao, Tutu turun dari perahu. Mikala dan Katina terus berperahu ke utara lewati Gamsungi, berteduh di hutan Duma, dekat tepian sungai Ake Mataki. Di hutan Duma, Mikala dan Katina menunggu Tutu dan Bido.

Pedamati, Tabacampaka, dan Todojaha telah membawa Bido ke pos Walanda di pelabuhan Jailolo. Bido dijual ke seorang letnan Walanda dengan harga tiga kalung emas, dan duapuluh keping emas. Bido akan dibawa ke Tobelo, diserahkan kepada seorang kapten yang baru saja kehilangan isterinya. Di Akelamokao, Tutumole singgah di kediaman nenek Salero, seorang dukun beranak, yang bercerita tentang Bido yang dibawa pergi pencuri. Mereka para pencuri Bido, sebelumnya juga beristirahat di rumah Salero, untuk memastikan kegadisan Bido masih perawan atau tak. Tutumole kemudian melanjutkan perjalanannya ke pelabuhan Jailolo. Kapal membawa Bido telah lepas tali dari pelabuhan akan menuju Tobelo. Tutu dengan kesaktiannya dapat naik ke atas kapal membawa Bido, dan berhasil membebaskan Bido dari tangan Walanda. Tutu dan Bido tiada jalan lain kecuali terjun bebas ke laut lepas di malam hari. Di tengah laut itu, ketika berenang menuju tepian, tiba-tiba datang daya menakjubkan, ikan dolfin (lumba-lumba) menghampiri. Ikan dolfin menyelamatkan Tutu dan Bido dari tengah laut sampai ke tepi pesisir, kemudian mereka meninggalkan pantai, tiba di sungai Lamo, berjalan ke sungai Mataki.

Kapten Walanda mengutus Pedamati, Tabacampaka dan Todojaha untuk menangkap Bido dan membunuh Tutu. Utusan kapten semakin mendekati tempat Tutumole dan Bido, yang sedang berteduh. Ketika para utusan telah mengetahui keberadaan Tutu, terjadilah perkelahian sampai ketiga utusan tersebut mati. Tutu dan Bido bergegas pergi melanjutkan perjalanan ke Dumdum. Sampailah di sungai Ake Mataki, di mana Milaka dan Katina menunggu. Perjalanan diteruskan berperahu ke kampung Minamin, dengan patokan bintang-gemintang di langit malam. Singgah beristirah di pantai Minamin, mereka berlanjut ke Gurua ziarah kubur ibunya Tutumole, lalu ke Waijoi, tempat sang guru Masinga tinggal. Sampai di tujuan, ternyata hanya menemukan batu nisan Masinga. Kemudian Bido menganut Islam dan menikah dengan Tutumole.

Selesai menikah, Tutu, Bido, Mikala dan Katina, menempuh perjalanan terakhir ke arah timur menyusuri lereng gunung Watowato bertemu Jakudu, kepala suku tertua Lingon. Jakudu ialah kakek Bido. Samo, adik bungsu laki-laki Bido yang tinggal bersama Jakudu. Bido, memohon restu atas pernikahannya dengan Tutumole kepada Jakudu dan juga adiknya. Awalnya Jakudu berat, lama-lama memberi restui juga. Perjalanan ke tempat persembunyian suku Lingon semakin dekat, jalannya sangat berbahaya, mereka sampai di air terjun Naonao, lalu lewati pinggiran air terjun yang di sebelah kiri terdapat tebing cadas berdiri bagai dinding raksasa, sedang di sebelah kanan jurang tanpa dasar, menganga. Setelah melewati sebuah lorong dan terowongan di dalam tebing bagian tersulit, tibalah meraka di perkampungan suku Lingon.

Orang-orang Lingon terheran-heran, terkejut sekaligus bertanya-tanya, sewaktu melihat dalam rombongan Bido terdapat Tutu, seorang pesisir. Tutumole memberanikan diri masuk kampung suku Lingon, banyaklah warga yang tak terima baik, lalu menggugat. Semua warga berkumpul di depan kediaman Tamako, kepala suku Lingon. Mereka memprotes, karena ada orang pesisir masuk kampungnya. Tutumole ke rumah Bido langsung menemui Tamako, dan mencari tahu penyakit yang diderita kepala suku tersebut. Kepala suku menderita sakit selama ini lantaran keracunan. Setelah berhasil menyembuhkan kepala suku, Tutumole menyampaikan maksud baiknya ke Tamako, kalau anaknya telah sah jadi isterinya. Kepala suku Lingon tak berpikir panjang merestui hubungan mereka. Karas beserta warga Lingon yang lain, tak menerima hal keputusan itu. Karas merasa paling berhak memiliki Bido, lantaran hanya dirinya yang sangat mencintai, tetapi Bido tidak menyukainya sejak pencarian akar yaiwo, atau jauh sebelum bumi dan langit Lingon dihamparkan Sang Maha Pencipta Alam.

Karas menantang Tutu bertarung sampai mati. Siapa yang menang, dia berhak menjadi suami Bido. Karas sangat kuat dan berilmu kekebalan, tetapi kekuatannya tak sebanding daya-dinaya dipunyai seorang sousoulol. Pertarungan dimenangkan Tutumole, lalu esok harinya, Tutu, Bido, Mikala, dan Katina, meninggalkan perkampungan suku Lingon. Mereka pulang, dan hidup menetap di Waijoi, akhirnya Mikala dan Katina memutuskan memeluk ajaran agama Islam.

Sebelum membaca novel Lingon, pembaca telah hatam novel karangan Mangunwijaya, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Mangunwijaya berhasil membangun semangat kedaerahan pembaca dan menambah kecintaan kepada bahasa daerah di pulau Halmahera. Namun pada novel Lingon, tidak menemukan itu. Kecintaan bahasa daerah sepertinya tak begitu penting bagi John, yang juga tidak menyelipkan sedikit pun dialog bahasa daerah. Dari awal pembaca melihat seperti berdakwah, misal ketika Tutu ingin menjadi Sousoulol, syaratnya beragama Islam. Demikian juga terjadi pada Bido, Mikala, Katina, atau Bido lebih dahulu menerima agama Islam sebelum menikah dengan Tutu dan hidup di pesisir sesuai aturan berlaku di perkampungan Lingon. John juga tidak menyebut nama akar kayu, kulit pohon, dan dedaunan yang dijadikan ramuan obat sakit, keracunan, atau terluka, nama ramuannya pun tidak disebutkan. Padahal hampir semua tumbuhan yang berkembang di belantara hutan Halmahera memiliki namanya masing-masing.

Setidaknya, novel ini telah mengambil peran baik mengisi khazanah kesusastraan Indonesia khususnya kekayaan alam Maluku dan Halmahera. Pembaca tidak berlebihan, beranggapan buku ini penting dibaca para generasi Maluku dan Halmahera, guna menambah pengetahuan mengenai suku Lingon, yang selama ini hanya lewat tradisi tutur. Dan John Halmahera, satu-satunya pengarang novel mengenai suku Lingon pun kekisah indah yang terbentang di pulau-pulau Maluku dan Halmahera.
***
18/ 06 / 2020
_____________
*) Mahamuda adalah nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/lingon-perempuan-bermata-biru-di-belantara-hutan-indonesia-novel-john-halmahera/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria