samedi 13 juin 2020

Sosiawan Leak Menolak Korupsi ! *


Nurel Javissyarqi **

Judul di atas dan senadanya merupakan harapan Leak, atau dalam hati kecilnya bersuara lantang : “Harusnya ada titel semacam itu!” Namun dia tidak menyangka, perihal tersebut turun dari jemari tangan seorang pengelana. PMK, adalah panggung Sosiawan Leak menolak korupsi!

Saya mengenalnya sebelum masa-masa Reformasi NKRI 1998, dan pertemuan dengannya di Taman Budaya Surakarta (TBS), entah pada tahun 1995, 96, 97, juga di tahun 2001, sewaktu saya hendak menggelar pentas musikalisasi puisi dipadu gamelan dan tari bersama Komunitas Lapen 151 Jogja, yang berlabel “Di Bukit Pasir Prahara” dari kitab antologi puisi “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”

Jelasnya, saya kerap mampir di TBS untuk istirah sejenak sambil menikmati sejuknya pendopo, dikala dalam perjalanan menaiki motor dari Lamongan menuju Jogjakarta, ketika mengambil jalur Bojonegoro-Padangan-Ngawi-Sragen. Berbeda jika melewati jalan nJombang-Madiun-Ponorogo-Wonogiri, mampir di rumah teman lama di Desa Ngelipar, Gunung Kidul. Perjalanan yang selalu menyenangkan mencipta rindu, dan sering mendapati Leak di T.B. Surakarta, sebagaimana layaknya penyair tulen alias ‘gelandangan.’

Saya kurang akrab dengannya, setidaknya belum pernah mengucapkan salam ‘Jancok’ untuknya. Tapi mungkin ada seutas tali lembut menghantarkannya inbox, saat awal kali memulai gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK), namun seirama lantunan lagu ndangdut “aku mundur alon-alon...” lantaran kurang sepakat dengan plakat besar yang diusungnya meski bagus, dengan alasan tidak mempunyai puisi baru. Setidaknya saya sadar posisi, dan kebetulan saat itu dalam pengelanaan kedua di Bumi Reog Ponorogo (2011-2014, yang pertama tahun 2001).
***

Leak tidak mungkin menggunakan istilah ‘Lawan’ atau “Puisi Melawan Korupsi,” sebab kata ‘Lawan’ sudah tersemat di tubuh-puisi terkenalnya Wiji Thukul. Di Jogjakarta waktu itu, saya kuliah di kampus dibawah naungan yayasan Sri Sultan Hamengkubuwono, Universitas Widya Mataram (UWMY). Salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang banyak melahirkan kaum pergerakan, giat memancing sekaligus mengobarkan demonstrasi ; di Perempatan Kantor Pos Malioboro, di Perempatan Kampus IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga), di Bundaran UGM, dan penggagas festival kesenian tandingan daripada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yakni FKR (Festival Kesenian Rakyat), yang perhelatannya berpusat di sekitar pasar Ngasem Ngayogyokarto.

Dan berita hilangnya Wiji Thukul, disaat-saat hari menjelang diundangnya dalam acara yang kami selenggarakan. Maka buyarlah kegiatan FKR di hari itu juga, dan semenjak beredar kabar peristiwa tersebut, saya bersama penyair Y. Wibowo beserta kawan-kawan lainnya tidak lagi tampak di permukaan. Lalu, sebagai buah tangan kesemangatan kala itu, terbitlah buku “Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak) 2006, PUstaka puJAngga.
***

Di mulai tahun 2013, Leak bersama Heru Mugiarso mengajak para penyair lainnya untuk menaiki gerbong kereta PMK, hingga bulan Juli 2019 ini, roadshownya telah mencapai #55, bersamaan laku-nya menyentuh bencah tanah Wali di Gresik. Sepertinya, penyair Mardi Luhung tidak dilibatkan atau barangkali enggan seturut serta. Perjuangan Leak dan para penyair di beberapa kota di seluruh penjuru Indonesia dengan himpunan antologi-antologi puisi, mempertebal garis gerilyanya menolak bentuk-bentuk korupsi yang semakin tumbuh subur di Tanah Air tercinta, sebagaimana jamur pada umumnya di negeri sedang berkembang.
***

Dengan huruf besar ‘Menolak’ yang berulang-ulang diperkuat, memberinya ruang tersendiri dari kata ‘Lawan’-nya Wiji Thukul. Lalu, di mana batas Leak bersuara? Apakah cukup dikenang sebagai bagian daging segar sejarah sastra? Dengan berkelakar saya berkata : ‘Kalau ujung perlawanan Leak hanya dikabarkan ‘diciduk,’ maka riwayatnya kurang indah, akan lebih menarik suatu waktu ditembak seorang oknum, misalkan.
***

Di sudut berbeda, kegiatannya yang didukung bolo-bolo penyair seakan hendak menunda suara terompet senjakala susastra, dan almarhum W.S. Rendra seolah-olah merentangkan tangan dalam kuburnya, menyambut gema suara kata-kata puisi yang kian waktu melemah, jikalau perhelatan PMK di beberapa kota layaknya reunian, sedang di sisi jalan lain para koruptor merajalela. Di sini, teringat kata-kata yang pernah saya guratkan : “Negara yang masih memberikan nafas para koruptor, janganlah heran, kalau nantinya menjamur para koruptor yang lebih banyak lagi.”
***

Takdir seniman (penyair) melontarkan suara lain, jalan berbeda satu-satunya, atau jalanan sunyi sendirian di antara berlalunya karya-karya pesanan, kecuali ‘Keris Gandring.’ Ianya tetap duduk menyendiri di tanjung karang, atau di pinggiran jurang pahit letih kehidupan, dan ada yang selalu digembolnya kuat, pun berulang kali dibukanya lelembaran hayat, pula memertajam ujung pena, memeruncing panca indranya, sambil menginsyafi kefanahan perubahan musim di dunia. Ia tak duduk di atas menara gading sambil memantau riak-riak ombak, namun jadi debu-debu jalanan yang mencapai ketinggian apapun tanpa kelihatan, ditiup angin segar kembali memelajari kerahasiaan pribadi di antara membaca, ingat dan waspada sepenuh takdir yang melekat. Dan kemerdekaan butiran debu, menusuk bola-bola mata manusia yang dirasuki hantu-hantu serakah.
***

Apakah Roadshow PMK serupa mencipta api unggun di tengah-tengah malam, menampilkan wajah-wajah lantas hilang ditelan pagi, ataukah lingkaran-lingkaran kecil itu nantinya bersatu menjelma besar, guna menumbangkan raksasa korupsi bersama antek-anteknya? Atau malah membuyar sebelum waktunya, menjadi catatan ringan, mewujud beberapa buku, sementara wabah koropsi terus beranak-pinak. Lantas di mana ujung pena lebih tajam dari pedang? Karena tidak cukup busa gelombang merontokkan meski berulang-ulang. Barangkali, senjata rakitan bisa membungkam, yakni cara-cara tidak lazim, maka cobalah dipikirkan! Sebab, tidak cukup dengan kata ‘Menolak’ dan ‘Lawan,’ namun harus berkata : “Hancurkan!”
***

Saya membayangkan, komunikasi para penyair PMK di beberapa kota di seluruh Nusantara, nantinya tak sekadar berkarya sebagai gerilyawan kata-kata, tidaklah cuma memertajam makna barisan kalimat indah, tetapi paduan suaranya sanggup menjebol gendang telinga penguasa, meruntuhkan patung-patung kedholiman, menghancurkan tembok pembatas jalannya hukum alam. Hal itu bukan mustahil dilalui, namun sangat sulit terealisasi. Mungkin harus membuka jalur-jalur anyar, agar tak jatuh sesuara asing di seberang kenyataan, tidak menjadi kemewahan di tengah-tengah rakyat, tidak lantas duduk di kursi paling depan menjadi topik pembicaraan yang jauh dari cita-cita. Misalkan, muncullah istilah baru yang kian terasing, ‘Sosiawan Leak Presiden Penyair Anti Korupsi,’ ‘Leak, Sang Panglima Puisi Menolak Korupsi’ dst. Maka yang didapat semakin blunder seperti yang sudah-sudah, sejarah susastra ‘mendompleng’ sejarah besar Bangsa Indonesia, yang hanya sebagai pemanis gagah-gagahan, seperti keganjilan masa perang telah usai, dan Bung Tomo diundang di TIM membacakan puisinya (Tempo, 3 September 1977).
***

Selama panggung pergerakan penyair-penyair PMK dipandang tidak membahayakan atau tidak mengancam jiwa-jiwa koruptor, perihal itu mendekati sia-sia, meski sisi lain sikap putus asa ialah perbuatan dosa. Agar tidak ambruk harapannya, keniscayaan para seniman (penyair) di sini harus tetap ditegakkan, dikibarkan panji-panji keyakinannya, demi perjuangan selalu teringat dari tujuan awal. Karena yang dilalui sudah benar, lebih terangnya musuh tampak di depan mata, realitas korupsi makin menggurita, maka suara lantangnya para penyair sebagai kenyataan puitik, jauh penting lagi pertemuannya menjelma peristiwa makna puitika yang sesungguhnya, amin.
***

Alhamdulillah, roadshow PMK kali ini bertempat di Pesantren Pendopo Watu Bodo, Dusun Tegal Sari, Desa Pangkah Kulon, Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Saya teringat sembilan belas tahun lalu, tepatnya 2001, dari situlah saya mengawali titik niatan merevisi “Kitab Para Malaikat” (KPM) sebelum terbit, yang tertulis di Yogyakarta tahun 1998-1999. Dari Pesantren Watu Bodo ke Rembang, menuju Watucongol Muntilan Magelan, ke Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo dan seterusnya, hingga masanya bundelan itu rampung menyatu, yang dipengantari Kritikus Maman S. Mayahan tahun 2007, PuJa.

Jika Leak datang, maka akan tahu di mana letak salah satu bumi pertapaan di antara jiwa-jiwa pengelanaan ini berteduh, yang baru sekarang saya sebutkan, sebab di KPM sengaja tidak dicantumkan.
***
_____________
*) Pemantik dalam Roadshow “Puisi Menolak Korupsi” #55 di Gresik, 27 Juli 2019.
**) Pengelola website Sastra-Indonesia.com , salah satu buku kritik sastra karangannya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2018.

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria