Nurel Javissyarqi **
Judul di atas dan senadanya merupakan harapan Leak, atau
dalam hati kecilnya bersuara lantang : “Harusnya ada titel semacam itu!” Namun
dia tidak menyangka, perihal tersebut turun dari jemari tangan seorang
pengelana. PMK, adalah panggung Sosiawan Leak menolak korupsi!
Saya mengenalnya sebelum masa-masa Reformasi NKRI 1998,
dan pertemuan dengannya di Taman Budaya Surakarta (TBS), entah pada tahun 1995,
96, 97, juga di tahun 2001, sewaktu saya hendak menggelar pentas musikalisasi
puisi dipadu gamelan dan tari bersama Komunitas Lapen 151 Jogja, yang berlabel
“Di Bukit Pasir Prahara” dari kitab antologi puisi “Balada-balada Takdir
Terlalu Dini.”
Jelasnya, saya kerap mampir di TBS untuk istirah sejenak
sambil menikmati sejuknya pendopo, dikala dalam perjalanan menaiki motor dari
Lamongan menuju Jogjakarta, ketika mengambil jalur
Bojonegoro-Padangan-Ngawi-Sragen. Berbeda jika melewati jalan
nJombang-Madiun-Ponorogo-Wonogiri, mampir di rumah teman lama di Desa Ngelipar,
Gunung Kidul. Perjalanan yang selalu menyenangkan mencipta rindu, dan sering
mendapati Leak di T.B. Surakarta, sebagaimana layaknya penyair tulen alias
‘gelandangan.’
Saya kurang akrab dengannya, setidaknya belum pernah
mengucapkan salam ‘Jancok’ untuknya. Tapi mungkin ada seutas tali lembut
menghantarkannya inbox, saat awal kali memulai gerakan Puisi Menolak Korupsi
(PMK), namun seirama lantunan lagu ndangdut “aku mundur alon-alon...” lantaran
kurang sepakat dengan plakat besar yang diusungnya meski bagus, dengan alasan
tidak mempunyai puisi baru. Setidaknya saya sadar posisi, dan kebetulan saat
itu dalam pengelanaan kedua di Bumi Reog Ponorogo (2011-2014, yang pertama
tahun 2001).
***
Leak tidak mungkin menggunakan istilah ‘Lawan’ atau
“Puisi Melawan Korupsi,” sebab kata ‘Lawan’ sudah tersemat di tubuh-puisi terkenalnya
Wiji Thukul. Di Jogjakarta waktu itu, saya kuliah di kampus dibawah naungan
yayasan Sri Sultan Hamengkubuwono, Universitas Widya Mataram (UWMY). Salah satu
perguruan tinggi di Yogyakarta yang banyak melahirkan kaum pergerakan, giat
memancing sekaligus mengobarkan demonstrasi ; di Perempatan Kantor Pos
Malioboro, di Perempatan Kampus IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga), di Bundaran
UGM, dan penggagas festival kesenian tandingan daripada Festival Kesenian
Yogyakarta (FKY) yakni FKR (Festival Kesenian Rakyat), yang perhelatannya
berpusat di sekitar pasar Ngasem Ngayogyokarto.
Dan berita hilangnya Wiji Thukul, disaat-saat hari
menjelang diundangnya dalam acara yang kami selenggarakan. Maka buyarlah
kegiatan FKR di hari itu juga, dan semenjak beredar kabar peristiwa tersebut,
saya bersama penyair Y. Wibowo beserta kawan-kawan lainnya tidak lagi tampak di
permukaan. Lalu, sebagai buah tangan kesemangatan kala itu, terbitlah buku
“Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak)
2006, PUstaka puJAngga.
***
Di mulai tahun 2013, Leak bersama Heru Mugiarso mengajak
para penyair lainnya untuk menaiki gerbong kereta PMK, hingga bulan Juli 2019
ini, roadshownya telah mencapai #55, bersamaan laku-nya menyentuh bencah tanah
Wali di Gresik. Sepertinya, penyair Mardi Luhung tidak dilibatkan atau
barangkali enggan seturut serta. Perjuangan Leak dan para penyair di beberapa
kota di seluruh penjuru Indonesia dengan himpunan antologi-antologi puisi,
mempertebal garis gerilyanya menolak bentuk-bentuk korupsi yang semakin tumbuh
subur di Tanah Air tercinta, sebagaimana jamur pada umumnya di negeri sedang
berkembang.
***
Dengan huruf besar ‘Menolak’ yang berulang-ulang
diperkuat, memberinya ruang tersendiri dari kata ‘Lawan’-nya Wiji Thukul. Lalu,
di mana batas Leak bersuara? Apakah cukup dikenang sebagai bagian daging segar
sejarah sastra? Dengan berkelakar saya berkata : ‘Kalau ujung perlawanan Leak
hanya dikabarkan ‘diciduk,’ maka riwayatnya kurang indah, akan lebih menarik
suatu waktu ditembak seorang oknum, misalkan.
***
Di sudut berbeda, kegiatannya yang didukung bolo-bolo
penyair seakan hendak menunda suara terompet senjakala susastra, dan almarhum
W.S. Rendra seolah-olah merentangkan tangan dalam kuburnya, menyambut gema
suara kata-kata puisi yang kian waktu melemah, jikalau perhelatan PMK di
beberapa kota layaknya reunian, sedang di sisi jalan lain para koruptor
merajalela. Di sini, teringat kata-kata yang pernah saya guratkan : “Negara
yang masih memberikan nafas para koruptor, janganlah heran, kalau nantinya
menjamur para koruptor yang lebih banyak lagi.”
***
Takdir seniman (penyair) melontarkan suara lain, jalan
berbeda satu-satunya, atau jalanan sunyi sendirian di antara berlalunya
karya-karya pesanan, kecuali ‘Keris Gandring.’ Ianya tetap duduk menyendiri di
tanjung karang, atau di pinggiran jurang pahit letih kehidupan, dan ada yang
selalu digembolnya kuat, pun berulang kali dibukanya lelembaran hayat, pula
memertajam ujung pena, memeruncing panca indranya, sambil menginsyafi kefanahan
perubahan musim di dunia. Ia tak duduk di atas menara gading sambil memantau
riak-riak ombak, namun jadi debu-debu jalanan yang mencapai ketinggian apapun
tanpa kelihatan, ditiup angin segar kembali memelajari kerahasiaan pribadi di
antara membaca, ingat dan waspada sepenuh takdir yang melekat. Dan kemerdekaan
butiran debu, menusuk bola-bola mata manusia yang dirasuki hantu-hantu serakah.
***
Apakah Roadshow PMK serupa mencipta api unggun di
tengah-tengah malam, menampilkan wajah-wajah lantas hilang ditelan pagi,
ataukah lingkaran-lingkaran kecil itu nantinya bersatu menjelma besar, guna
menumbangkan raksasa korupsi bersama antek-anteknya? Atau malah membuyar
sebelum waktunya, menjadi catatan ringan, mewujud beberapa buku, sementara
wabah koropsi terus beranak-pinak. Lantas di mana ujung pena lebih tajam dari
pedang? Karena tidak cukup busa gelombang merontokkan meski berulang-ulang.
Barangkali, senjata rakitan bisa membungkam, yakni cara-cara tidak lazim, maka
cobalah dipikirkan! Sebab, tidak cukup dengan kata ‘Menolak’ dan ‘Lawan,’ namun
harus berkata : “Hancurkan!”
***
Saya membayangkan, komunikasi para penyair PMK di
beberapa kota di seluruh Nusantara, nantinya tak sekadar berkarya sebagai
gerilyawan kata-kata, tidaklah cuma memertajam makna barisan kalimat indah,
tetapi paduan suaranya sanggup menjebol gendang telinga penguasa, meruntuhkan
patung-patung kedholiman, menghancurkan tembok pembatas jalannya hukum alam.
Hal itu bukan mustahil dilalui, namun sangat sulit terealisasi. Mungkin harus
membuka jalur-jalur anyar, agar tak jatuh sesuara asing di seberang kenyataan,
tidak menjadi kemewahan di tengah-tengah rakyat, tidak lantas duduk di kursi
paling depan menjadi topik pembicaraan yang jauh dari cita-cita. Misalkan,
muncullah istilah baru yang kian terasing, ‘Sosiawan Leak Presiden Penyair Anti
Korupsi,’ ‘Leak, Sang Panglima Puisi Menolak Korupsi’ dst. Maka yang didapat
semakin blunder seperti yang sudah-sudah, sejarah susastra ‘mendompleng’
sejarah besar Bangsa Indonesia, yang hanya sebagai pemanis gagah-gagahan,
seperti keganjilan masa perang telah usai, dan Bung Tomo diundang di TIM
membacakan puisinya (Tempo, 3 September 1977).
***
Selama panggung pergerakan penyair-penyair PMK dipandang
tidak membahayakan atau tidak mengancam jiwa-jiwa koruptor, perihal itu
mendekati sia-sia, meski sisi lain sikap putus asa ialah perbuatan dosa. Agar
tidak ambruk harapannya, keniscayaan para seniman (penyair) di sini harus tetap
ditegakkan, dikibarkan panji-panji keyakinannya, demi perjuangan selalu
teringat dari tujuan awal. Karena yang dilalui sudah benar, lebih terangnya
musuh tampak di depan mata, realitas korupsi makin menggurita, maka suara lantangnya
para penyair sebagai kenyataan puitik, jauh penting lagi pertemuannya menjelma
peristiwa makna puitika yang sesungguhnya, amin.
***
Alhamdulillah, roadshow PMK kali ini bertempat di
Pesantren Pendopo Watu Bodo, Dusun Tegal Sari, Desa Pangkah Kulon,
Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Saya teringat sembilan belas tahun lalu,
tepatnya 2001, dari situlah saya mengawali titik niatan merevisi “Kitab Para
Malaikat” (KPM) sebelum terbit, yang tertulis di Yogyakarta tahun 1998-1999.
Dari Pesantren Watu Bodo ke Rembang, menuju Watucongol Muntilan Magelan, ke
Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo dan seterusnya, hingga masanya bundelan itu
rampung menyatu, yang dipengantari Kritikus Maman S. Mayahan tahun 2007, PuJa.
Jika Leak datang, maka akan tahu di mana letak salah satu
bumi pertapaan di antara jiwa-jiwa pengelanaan ini berteduh, yang baru sekarang
saya sebutkan, sebab di KPM sengaja tidak dicantumkan.
***
_____________
*) Pemantik dalam Roadshow “Puisi Menolak Korupsi” #55 di
Gresik, 27 Juli 2019.
**) Pengelola website Sastra-Indonesia.com , salah satu
buku kritik sastra karangannya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,”
terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2018.
Aucun commentaire:
Publier un commentaire