Disusun oleh Rakai Lukman
Orang berilmu, beribadah tak kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya ialah ibadah
Diam, bicara, tindak-takduk pun getar bulu romanya
Segenap anggota badan, digerakan beribadah
Inilah kemauan murni (Suluk Wujil)
Biografi Singkat
Sunan Bonang bernama asli Syeikh Maulana Makdum Ibrahim. Beliau adalah putera Sunan Ampel dan Nyai ageng Manila (Dewi Condrowati, makamnya di Bawean Gresik). Sunan Bonang lahir tahun 1465 M, dan wafat pada tahun 1525 M. Silsilah beliau sampai pada Rosulullah, Nabi Muhammad SAW. Dengan urutan; Makdum Ibrahim, Raden Rahmad, Sayyid Ahmad Rahmatillah, Maulana Malik Ibrahim, Syeihk Jumaddil Qubro, Ahmad Jalaluddin, Abdullah Khan, Abdul Malik al-Muhajir, Alawi Ammil Faqih, Muhammad Sobib Mirbath, Ali Kholi Qosim, Alawi ats-Tsani, Muhammad Sohibus Saumiah, Alawi Awwal, Ubaidullah, Ahmad al-Muhajir, Isa ar-Rumi, Muhammad an-Naqib, Ali Uraidhi, Jafar ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, Ali Zainal Abidin, Husain bin Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajah, yang menikah dengan Fatimah az-Zahra bin Nabi Muhammad SAW.
Dalam babad Ing Gresik, menyebutkan Sembilan putera Sunan Ampel: Nyai Ageng Manyuran, Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Wilis, Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), R. Qosim (Sunan Drajat), Ki Mamat, Syeh Amat, Nyai Ageng Medarum, dan Nyai Ageng Supiyah. Dengan demikian Sunan Drajat adalah adik Sunan Bonang.
Pendidikan dan Keilmuan
Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim diberi pelajaran oleh Sunan Ampel dengan pelajaran agama dan kehidupan secara tekun dan disiplin. Ditempa dengan latihan (riyadha dan tirakat). Beliau belajar bersama dengan santri-santri sunan Ampel, seperti Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Husen dan lainya. Selain berguru pada ayahnya, Makdum Ibrahim juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishaq. Yaitu sewaktu bersama-sama dengan Raden Paku (Sunan Giri) ke Malaka dalam perjalanan Haji ke Tanah Suci (Makkah). Beliau juga belajar pada para ulama besar di Negeri Pasai, seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, dan Persia.
Sunan Bonang sebagai bagian dari Wali Songo yang memiliki keilmuan yang beraneka ragam. Termasuk sosok multitalenta, diantaranya; ilmu Usuluddin, Fiqih, Tasawuf, Sastra, Seni dan Arsitektur serta ilmu silat (kedigdayaan). Bahkan Masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai sosok yang pandai mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit air. Dalam babad Daha-Kediri, Beliau juga mampu mengubah aliran sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima Islam menjadi kekurangan air dan sebagian lain mengalami banjir.
Karya-karyanya
Sunan Bonang termasuk bagian Wali Songo yang aktif dan produktif. Diantara karya beliau di bidang kesusastraan adalah Tembang dan suluk. Beliau mampu menggubah tembang macapat. Seperti tembang macapat yang masyhur, tembung macapat yang disampaikan dengan pupuh Durma. Termasuk tembang tombo ati, yang bisa kita nikmati samapi hari ini. Adapun suluk karya beliau, di antaranya: Suluk Wujil, Suluk Gentur, Suluk Khalifah, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, Gita Suluk Wali dan masih banyak lagi. Dalam hal ini suluk wujil terkenal itu ada karya sunan bonang. Adapun di Bidang ilmu Tasawuf, beliau mengarang primbon Bonang, dan Kitab Tanbihul Ghofilin, kitab tasawuf yang diajarkan di pesantren sampai hari ini.
Dalam bidang musik, beliau mengembangkan gamelan, dengan menambah perangkat gamelan dengan Bonang, sejenis alat music yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran kecil. Gamelan sebagai alat pengiring pertunjukan wayang, adapun Bonang juga digunakan untuk mengumpulkan warga desa dalam rangka menyampaikan wara-wara. Beliau juga penyempurna susunan gamelan dan penggubah irama lagu-lagu. Adapun dibidang seni rupa, beliau menambah ricikan dalam pertunjukan wayang, berupa kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang dan rampogan.
Dalam seni pertunjukan, beliau mampu mereformasi pertunjukan wayang dengan membabar ajaran rohani lewat pertunjukan wayang. Sebagai wujud dari pengetahuan dan dakwa melalui pertunjukan wayang yang menggabungkan kesenian, kebudayaan dan keagamaan. Beliau piawai dalam memaikan wayang, sering memasukan tafsir keislaman dalam pewayangan. Beliau sering mementaskan kisah Mahabaratha, sebagai peperangan anata nafi (peniadaan) dan isbah (peneguhan). Adapun di bidang arsitektur, beliau mendirikan langgar di tepi barat sungai brantas, tepatnya di Desa Singkal (sekarang Kab. Nganjuk).
Jalur, Medan dan Metode Dakwa
Dakwah awal Raden Makdum Ibrahim di pedalaman Kediri dengan pendekatan cenderung keras. Diantaranya dengan merusak arca yang dipuja penduduk, juga telah mengubah aliran sungai Brantas dan mengutuk penduduk gagara salah satu warga. Sebagai akibatnya Sunan Bonang menhadapi resistensi penduduk Kediri. Berupa konflik dalam bentuk perdebatan maupun benturan fisik dengan Buto Locaya dan Nyai Pluncing, kira-kiranya musuh-musuhnya di pedalaman. Tokoh-tokoh ini penganut bairawa tantra. Peristiwa ini berdasarkan babad Daha-Kediri.
Kemudian Sunan Bonang melanjutkan dakwahnya di Demak, atas permintaan Raden Patah. Beliau bertempat tinggal di desa Bonang di Demak. Yang lantas disebut sebagai Sunan Bonang, maksudnya Guru suci yang bertempat di desa Bonang. Beliau adalah Imam Besar pertama Masjid Agung Demak. Lantas beliau meninggalkan jabatan itu, dan bertempat tinggal di Lasem, di belakang dalem kadipaten, kediaman Kakaknya Nyai Gede Maloka. Di sini beliau merawat makam neneknya, putri Campa (Bi Nang ti), serta makam pangeran Wirabraja dan puteranya. Bahkan sebuah batu gilang diratakan sebagai tempat sujud, yang sekarang dikenal Pasujudan Sunan Bonang atau watu layar. Di desa Puthuk Regol inilah suan Bonang membangun Zawiyah (pojok), tempat khalwat dan para pengamal ajaran tasawuf bertemu.
Setelah belajar dengan peristiwa masa lalu, kemudian Sunan Bonang mengembangkan Dakwahnya dengan pendekatan akulturatif. Dengan jalan dakwah menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik masyarakat. Beliau termasuk penyebar dakwah islam yang ulet dan gigih, yang selalu memanfaatkan peluang untuk mengajak masyarakat menjadi muslim. Seperti melakukan pagelaran wayang yang sarat tafsir islami, menulis dan mengajarkan suluk dan tetembangan, bahkan membuat kidung Bonang semacam mantra untuk menangkis segala macam penyakit dan pengaruh jahat yang merugikan manusia. Juga pengarang kitab Primbon dan Tanbihul Ghofilin (Peringatan bagi orang-orang Lalai). Sebagaimana tertera dalam Het Boek Van Bonang. Medan dakwah beliau juga sampai di Tuban, sehingga sampai sekarang makam beliau di belakang masjid Tuban, yang tidak surut dari peziarah.
Karomah Sunan Bonang tampak saat ditantang Blacak Ngilo sabung ayam, dengan taruhan siapa yang kalah akan menjadi pengikut yang menang. Beliau memerintahkan Santri Wujil dengan menjagokan anak ayam (khutuk), setiap anak ayam itu kalah tubuhnya selalu membesar sampai akhirnya ayam blacak ngilo kalah, sehingga santri wujil sorak-sorai kegirangan. Pernah juga menaklukan pemimpin perampok dan anak buahnya hanya dengan gending dan tembang. Karomahnya juga ada seorang brahmana mau berdebat dengan sunan Bonang, malah kitabnya tenggelam ke dasar laut. Kemudian sunan Bonang mengembalikan kitab-kitabnya. Kemudian sang brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan sunan Bonang, serta menjadi pengikutnya yang setia.
Demikian juga muncul keanehan, saat mau dimakamkan, jenazahnya hendak di bawah ke Surabaya, tetapi kapal yang digunakan untuk mengangkutnya tidak bergerak. Sehingga terpaksa jenazahnya di makamkan di Tuban, sebelah barat Masjid Jami Tuban. Konon juga makamnya ada di Lasem, bawean dan Madura.
Gelar
Raden Makdum Ibrahim merupakan Imam Besar Pertama Masjid Demak. Gelarnya Sunan Wadat Anyakrawati. Maksudnya: pertama, orang yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam mengajarkan sesuluking ngelmi (ilmu rahasia) dan agami (agama). Kedua, pemimpin lingkaran upacara pancamakara. Yang sudah diberikan corak islam yang dulunya ritual agama tantrayana. Yang mana berubah menjadi kebudayaan yang asimiliatif, berubah menjadi tradisi lingkaran kenduri atau slametan, yang mana doa-doa yang dibacakan dengan doa-doa Islam.
***
Sumber Tulisan
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, pustaka Iman, cetakan VIII:2018
M. Gibran Maulana, Kisah Perjalanan Wali Songo, karang gemilang utama, Surabaya
http://www.wikipedia.org/sunan_bonang
https://romadekade.org/sunan-bonang
https://thegorbalsla/sunan-bonang
Orang berilmu, beribadah tak kenal waktu
Seluruh gerak hidupnya ialah ibadah
Diam, bicara, tindak-takduk pun getar bulu romanya
Segenap anggota badan, digerakan beribadah
Inilah kemauan murni (Suluk Wujil)
Biografi Singkat
Sunan Bonang bernama asli Syeikh Maulana Makdum Ibrahim. Beliau adalah putera Sunan Ampel dan Nyai ageng Manila (Dewi Condrowati, makamnya di Bawean Gresik). Sunan Bonang lahir tahun 1465 M, dan wafat pada tahun 1525 M. Silsilah beliau sampai pada Rosulullah, Nabi Muhammad SAW. Dengan urutan; Makdum Ibrahim, Raden Rahmad, Sayyid Ahmad Rahmatillah, Maulana Malik Ibrahim, Syeihk Jumaddil Qubro, Ahmad Jalaluddin, Abdullah Khan, Abdul Malik al-Muhajir, Alawi Ammil Faqih, Muhammad Sobib Mirbath, Ali Kholi Qosim, Alawi ats-Tsani, Muhammad Sohibus Saumiah, Alawi Awwal, Ubaidullah, Ahmad al-Muhajir, Isa ar-Rumi, Muhammad an-Naqib, Ali Uraidhi, Jafar ash-Shadiq, Muhammad al-Baqir, Ali Zainal Abidin, Husain bin Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajah, yang menikah dengan Fatimah az-Zahra bin Nabi Muhammad SAW.
Dalam babad Ing Gresik, menyebutkan Sembilan putera Sunan Ampel: Nyai Ageng Manyuran, Nyai Ageng Manila, Nyai Ageng Wilis, Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), R. Qosim (Sunan Drajat), Ki Mamat, Syeh Amat, Nyai Ageng Medarum, dan Nyai Ageng Supiyah. Dengan demikian Sunan Drajat adalah adik Sunan Bonang.
Pendidikan dan Keilmuan
Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim diberi pelajaran oleh Sunan Ampel dengan pelajaran agama dan kehidupan secara tekun dan disiplin. Ditempa dengan latihan (riyadha dan tirakat). Beliau belajar bersama dengan santri-santri sunan Ampel, seperti Sunan Giri, Raden Fatah, Raden Husen dan lainya. Selain berguru pada ayahnya, Makdum Ibrahim juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishaq. Yaitu sewaktu bersama-sama dengan Raden Paku (Sunan Giri) ke Malaka dalam perjalanan Haji ke Tanah Suci (Makkah). Beliau juga belajar pada para ulama besar di Negeri Pasai, seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir, dan Persia.
Sunan Bonang sebagai bagian dari Wali Songo yang memiliki keilmuan yang beraneka ragam. Termasuk sosok multitalenta, diantaranya; ilmu Usuluddin, Fiqih, Tasawuf, Sastra, Seni dan Arsitektur serta ilmu silat (kedigdayaan). Bahkan Masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai sosok yang pandai mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit air. Dalam babad Daha-Kediri, Beliau juga mampu mengubah aliran sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang enggan menerima Islam menjadi kekurangan air dan sebagian lain mengalami banjir.
Karya-karyanya
Sunan Bonang termasuk bagian Wali Songo yang aktif dan produktif. Diantara karya beliau di bidang kesusastraan adalah Tembang dan suluk. Beliau mampu menggubah tembang macapat. Seperti tembang macapat yang masyhur, tembung macapat yang disampaikan dengan pupuh Durma. Termasuk tembang tombo ati, yang bisa kita nikmati samapi hari ini. Adapun suluk karya beliau, di antaranya: Suluk Wujil, Suluk Gentur, Suluk Khalifah, Gita Suluk Latri, Suluk Jebeng, Gita Suluk Wali dan masih banyak lagi. Dalam hal ini suluk wujil terkenal itu ada karya sunan bonang. Adapun di Bidang ilmu Tasawuf, beliau mengarang primbon Bonang, dan Kitab Tanbihul Ghofilin, kitab tasawuf yang diajarkan di pesantren sampai hari ini.
Dalam bidang musik, beliau mengembangkan gamelan, dengan menambah perangkat gamelan dengan Bonang, sejenis alat music yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran kecil. Gamelan sebagai alat pengiring pertunjukan wayang, adapun Bonang juga digunakan untuk mengumpulkan warga desa dalam rangka menyampaikan wara-wara. Beliau juga penyempurna susunan gamelan dan penggubah irama lagu-lagu. Adapun dibidang seni rupa, beliau menambah ricikan dalam pertunjukan wayang, berupa kuda, gajah, harimau, garuda, kereta perang dan rampogan.
Dalam seni pertunjukan, beliau mampu mereformasi pertunjukan wayang dengan membabar ajaran rohani lewat pertunjukan wayang. Sebagai wujud dari pengetahuan dan dakwa melalui pertunjukan wayang yang menggabungkan kesenian, kebudayaan dan keagamaan. Beliau piawai dalam memaikan wayang, sering memasukan tafsir keislaman dalam pewayangan. Beliau sering mementaskan kisah Mahabaratha, sebagai peperangan anata nafi (peniadaan) dan isbah (peneguhan). Adapun di bidang arsitektur, beliau mendirikan langgar di tepi barat sungai brantas, tepatnya di Desa Singkal (sekarang Kab. Nganjuk).
Jalur, Medan dan Metode Dakwa
Dakwah awal Raden Makdum Ibrahim di pedalaman Kediri dengan pendekatan cenderung keras. Diantaranya dengan merusak arca yang dipuja penduduk, juga telah mengubah aliran sungai Brantas dan mengutuk penduduk gagara salah satu warga. Sebagai akibatnya Sunan Bonang menhadapi resistensi penduduk Kediri. Berupa konflik dalam bentuk perdebatan maupun benturan fisik dengan Buto Locaya dan Nyai Pluncing, kira-kiranya musuh-musuhnya di pedalaman. Tokoh-tokoh ini penganut bairawa tantra. Peristiwa ini berdasarkan babad Daha-Kediri.
Kemudian Sunan Bonang melanjutkan dakwahnya di Demak, atas permintaan Raden Patah. Beliau bertempat tinggal di desa Bonang di Demak. Yang lantas disebut sebagai Sunan Bonang, maksudnya Guru suci yang bertempat di desa Bonang. Beliau adalah Imam Besar pertama Masjid Agung Demak. Lantas beliau meninggalkan jabatan itu, dan bertempat tinggal di Lasem, di belakang dalem kadipaten, kediaman Kakaknya Nyai Gede Maloka. Di sini beliau merawat makam neneknya, putri Campa (Bi Nang ti), serta makam pangeran Wirabraja dan puteranya. Bahkan sebuah batu gilang diratakan sebagai tempat sujud, yang sekarang dikenal Pasujudan Sunan Bonang atau watu layar. Di desa Puthuk Regol inilah suan Bonang membangun Zawiyah (pojok), tempat khalwat dan para pengamal ajaran tasawuf bertemu.
Setelah belajar dengan peristiwa masa lalu, kemudian Sunan Bonang mengembangkan Dakwahnya dengan pendekatan akulturatif. Dengan jalan dakwah menggunakan wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik masyarakat. Beliau termasuk penyebar dakwah islam yang ulet dan gigih, yang selalu memanfaatkan peluang untuk mengajak masyarakat menjadi muslim. Seperti melakukan pagelaran wayang yang sarat tafsir islami, menulis dan mengajarkan suluk dan tetembangan, bahkan membuat kidung Bonang semacam mantra untuk menangkis segala macam penyakit dan pengaruh jahat yang merugikan manusia. Juga pengarang kitab Primbon dan Tanbihul Ghofilin (Peringatan bagi orang-orang Lalai). Sebagaimana tertera dalam Het Boek Van Bonang. Medan dakwah beliau juga sampai di Tuban, sehingga sampai sekarang makam beliau di belakang masjid Tuban, yang tidak surut dari peziarah.
Karomah Sunan Bonang tampak saat ditantang Blacak Ngilo sabung ayam, dengan taruhan siapa yang kalah akan menjadi pengikut yang menang. Beliau memerintahkan Santri Wujil dengan menjagokan anak ayam (khutuk), setiap anak ayam itu kalah tubuhnya selalu membesar sampai akhirnya ayam blacak ngilo kalah, sehingga santri wujil sorak-sorai kegirangan. Pernah juga menaklukan pemimpin perampok dan anak buahnya hanya dengan gending dan tembang. Karomahnya juga ada seorang brahmana mau berdebat dengan sunan Bonang, malah kitabnya tenggelam ke dasar laut. Kemudian sunan Bonang mengembalikan kitab-kitabnya. Kemudian sang brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan sunan Bonang, serta menjadi pengikutnya yang setia.
Demikian juga muncul keanehan, saat mau dimakamkan, jenazahnya hendak di bawah ke Surabaya, tetapi kapal yang digunakan untuk mengangkutnya tidak bergerak. Sehingga terpaksa jenazahnya di makamkan di Tuban, sebelah barat Masjid Jami Tuban. Konon juga makamnya ada di Lasem, bawean dan Madura.
Gelar
Raden Makdum Ibrahim merupakan Imam Besar Pertama Masjid Demak. Gelarnya Sunan Wadat Anyakrawati. Maksudnya: pertama, orang yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam mengajarkan sesuluking ngelmi (ilmu rahasia) dan agami (agama). Kedua, pemimpin lingkaran upacara pancamakara. Yang sudah diberikan corak islam yang dulunya ritual agama tantrayana. Yang mana berubah menjadi kebudayaan yang asimiliatif, berubah menjadi tradisi lingkaran kenduri atau slametan, yang mana doa-doa yang dibacakan dengan doa-doa Islam.
***
Sumber Tulisan
Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, pustaka Iman, cetakan VIII:2018
M. Gibran Maulana, Kisah Perjalanan Wali Songo, karang gemilang utama, Surabaya
http://www.wikipedia.org/sunan_bonang
https://romadekade.org/sunan-bonang
https://thegorbalsla/sunan-bonang
Aucun commentaire:
Publier un commentaire