mardi 16 juin 2020

Observasi Tujuh Bukit Kapur

Rakai Lukman 

A. LATAR BELAKANG

Seni merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang penuh imajinasi. Banyak orang yang mengatakan bahwa seni itu indah, tetapi akankah predikat indah yang dimiliki seni akan dapat dipertahankan mengingat semakin berkurangnya minat para generasi akan seni.

Dalam era modernisasi tak lepas dari pandangan yang selalu tertuntut kepada kemajuan zaman, maka dalam event kali ini selalu tertuntut kepada kaderisasi muda yang memiliki skill, kemauan serta mental membawa khususnya kepada pelajar yang memiliki kemauan kuat untuk mencapai cita-citanya namun semua ini tidak hanya mengenyam pendidikan di instusi pendidikan yang terkenal, karena kecerdasan bukanlah suat faktor yang membawa kepada kesuksesan tanpa diiringi oleh skill, keuletan, emosional, kemauan, serta moral yang tinggi yang dikonfirmasikan dalam wujud untuk menunjang masa depan atau masa yang akan datang yang bersifat progresif.

Tema Kearifan lokal menjadi materi dasar yang akan coba digali dan diapresiasi,diantaranya adalah tradisi dan budaya masyarakat pesisir pantura Gresik yang mendiami kawasan sekitar tujuh bukit kapur yang membentang disepanjang pesisir pantura Gresik,yang banyak beredar cerita rakyat,adat istiadat,kesenian tradisional.

Di antara cerita rakyat yang juga menjadi laku spiritual masyarakat di sekitar perbukitan pantura Gresik adalah ritual perjalanan mendaki ketujuh bukit dalam waktu satu malam yang diyakini mampu membawa pelakunya pada tahap kesadaran yang tercerahkan (mendapatkan pencerahan) tentang pemaknaan kehidupan,terkait hubungan antara manusia Sang pencipta dan hubungan manusia dengan manusia dan alam semesta.

Ketujuh bukit tersebut memiliki keunikan dalam penamaannya yang bila diurutkan berdasarkan letaknya yang berderet dari timur ke barat maka seperti membentuk urutan fase kehidupan manusia,urutannya adalah sebagai berikut : 1. Bukit Banyu Urip 2. Bukit Gosari 3. Bukit Larangan 4. Bukit Sorowiti 5. Bukit Prupuh 6. Bukit Pundut 7. Bukit Putusan (Kukusan).

Banyaknya ragam kearifan lokal baik yang berupa legenda cerita rakyat, keunikan nama dan situs sejarah diwilayah jajaran tujuh bukit dipesisir pantura Gresik menjadi kekayaan luar biasa yang harus dirawat dan dilestarikan. Oleh karena itu sangat diperlukan riset kecil-kecilan tentang ke tujuh bukit tersebut.

B. TUJUH BUKIT DAN RUANG LINGKUPNYA

1. BUKIT PERTAMA: BUKIT BANYU URIP
Bukit ini adalah bukit permulaan. Terletak di Desa Banyuurip Kecamatan Ujung Pangkah Gresik. Di lereng bukit sebelah utaranya terdapat desa Guawaru, Desa Bangsal, sebelah baratnya terdapat Desa Canggaan. Masyarakat setempat bekerja sebagai petani, penambang batu, juga nelayan. Kondisi alam yang sangat strategis digunakan sebagai pemukiman penduduk, juga sebagai tempat mencari mata pencahariaan. Alam yang kaya raya, tersaji begitu lengkap, tinggal penduduk desa mampu memanfaatnya dengan kreativitas kerja yang produktif sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat.

Bukit banyu urip tergolong karts muda sehingga bisa dimanfaatkan sebagai bahan batu bata, bahan semen, dan batu gamping. Pada saat peralatan masih tradisional mereka menggunakan alat-alat yang sederhana: gergaji batu, linggis, pacul, palu besar (betel). Sehingga produksi yang dihasilkan juga masih sederhana. Sedang di era modern saat ini alat-alat industry modern sudah mulai merambah, seperti: Bego, srekel (Gergaji batu mesin), buldosel, dll. Secara otomatis bukan hanya ekplorasi alam yang terjadi, tetapi telah menjelma eksploitasi alam, sehingga percepatan penggambilan bahan tambang galian C itu terjadi begitu massif. SDM manusianya masyarakat menjadi manusia yang ambisius yang pengen cepat meningkatkan pendapatan tanpa mempertimbangkankan kearifan alam dan kebutuhan anak-cucu kelak di kemudian hari.

Di samping itu pertanian yang notabennya sebagai penghasilan tambahan sebagai penyeimbang kebutuhan masyarakat selama musim penghujan, masyarakat bisa bercocok tanam, di laut mereka bisa menjadi nelayan dengan kekhasan kerang kopang.

Adapun legenda yang berkembang di masyarakat adalah kisah Joko Slining, berikut kisah singkatnya:

Sahdan di suatu masa, ada seorang pendekar yang sakti madraguna, bernama Jaka Slining yang tertarik dengan puteri seorang punggawa desa. Yang mana sang putri tidak tertarik dengan cinta yang ditawarkan sang pendekar. Putri itu bernama Dewi Kabunan, permohonan cinta itu akan dikabulkan dengan syarat dibuatkan 41 sumber mata air dalam satu malam di atas bukit. Kemudian Dewi Kabunan, mencoba menggagalkan, usaha Jaka Slining dalam menyelesaikan 41 sumber itu. Dengan membuat ulah, memanggil bala bantuan dari para pengikut ayahnya. Dengan memukul lesung dan membakar hutan, sehingga memberi efek seolah-olah fajar telah tiba. Karena ulah itu, Jaka slining menjadi murka.

2. BUKIT KEDUA: BUKIT GOSARI
Bukit Gosari ini bukit yang kedua, bukit ini memanjang ke arah selatan. Di lereng bukit sebelah timur terletak desa Gosari, di sebelah selatannya terletak desa Sekapuk, sebelah baratnya terletak desa canggaan. Di sekitar lereng bukit timurnya berupa tegalan dan baratnya persawahan. Sungguh anugerah yang mempesona. Kekayaan alam yang disajikan begitu lengkap. Dulu begitu sederhana kehidupan masyarakatngya di dalam mengelolah alam, mereka mengikuti kondisi musim, jikalau musim hujan mereka berladang di tegalan, menanam padi di sawah dan berkebun, sedang musim kemarau meraka menambang batu.

Baru kemudian semua berubah sejak awal era 2000-an. Masyarakat mulai mengenal dan menggunakan mesin industri. Sudah jarang masyarakat yang bekerja sebagai petani dan peladang, mereka kebanyakan punya kecenderungan melakukan ekploitasi alam, sehingga produktivitasnya meningkat. Bahkan akhir-akhir ini banyak proyek pengurukan tanah-tanah pertambakan dan reklamasi pantai di pesisir gresik. Untuk pendirian pabrik dan pergudangan. Sehingga ekploitasi alam semakin tambah meningkat. Sehingga hampir sepertiga bukit mulai habis.

Di sebelah utara bukit terdapat prasasti butulan di lereng bukitnya terdapat dua sendang: sendang lanang dan sendang wadok. Di timurnya bukit juga terdapat industry tembikar sejak zaman ratu sima. Tetapi sekarang tinggal sisanya, sehingga tidak mengherankan kalau Gresik menjadi pusat industry dan sempat memiliki pelabuhan besar. Dulunnya daerah ini dinamai dengan nama Ambal. Tempat para bangsawan majapahit yang sudah purna tugas dan mengasingkan diri, ditandai dengan  adanya sosok Rama Samadya, yang dulu sempat mendiami tempat ini bersama para pengikutnya. Hal ini bisa dibuktikan dengan prasasti butulan. Yang bunyinya:

Diwasani ngambal 1298
Duk winahon deniro san(g) rama Samadya
Makadi sirri buyut Arjah tali kursi
Raka durahana

Terjemahan:  Pada tahun 1298 Saka (1376 M) di Am, waktu itu didiami sang Rama Samadya, buyut arjah talikur, yang tersingkirkan.

Diperkirakan prasasti ini peninggalan pada abad 12 silam pada zaman kejayaan majapahit. Dinamakan prasasti butulan dikarenakan prasasti ini ditulis di dinding gua yang (butul) tembus, dengan menggunakan aksara jawa kuno. Prasasti itu ditulis oleh salah satu murid san Rama Samadya. Kerajaan majapahit pada saat itu masih dipimpin oleh raja Hayamwuruk, Sri Radjanagara tahun 1272-1311 Saka atau 1359-1389 Masehi. Hingga dimungkinkan paska perang Bubat dan meninggalnya mahapatih Gajah Mada atau muksa. Saat itu kursi kedudukannya jadi rebutan, san Rama Samadya harus menyingkir karena dikalahkan oleh Gajah Enggon, yang dinobatkan sebagai pengganti Gajah Mada. 

Di bawah lereng bukit terdapat dua sendang, airnya jernih, yang diyakini sebagai tempat pemandiaan san Rama Samadya bersama murid-murid dan pengikutnya. Sedang yang pertama dinamai sendang lanang, yang kedua dinama sendang wadon. Selain itu ada temuan lain, berupa keramik dinasti Song abad 12 s/d 13, dinasti Yuan abad 13-14, dinasti Qing Ming abad 15-18. Dari masa Singosari dan Majapahit, Ambal pada abad 12-14 menjadi pusat tembikar yang menyuplai ke seluruh nusantara bahkan luar nagari. Sehingga daerah ini merupakan daerah yang penting, dengan ditandai bahwa tempat ini ditinggali oleh pembesar majapahit. Industry tembikar ini sudah menggunakan teknologi pembuatan tembikar yang halus dengan menggunakan pembakaran sampai 1000 derajat celcius.

Di sebelah selatan bukit terdapat sendang katok, yang biasanya dibuat memandikan sapi para penggembala. Juga sapi para pengangkut batu yang menggunakan cikar, dan sapinya sering dimandikan di situ. Juga ada sebuah mitos yang berkembang di masyarat sekitar bukit, bahwa bukit itu mengandung emas sak kebo (Emas Sebesar kerbau). Juga ada mitos bahwa sendang gosari dijaga oleh ular naga, yang diikuti pasukanya berwujud ikan lele putih.

3. BUKIT KETIGA: BUKIT LARANGAN
Bukit larangan ini, terletak di dusun Larangan desa Prupuh kecamatan Panceng. Terletak di sebelah baratnya bukit banyurip dan gosari. Yang mana dari arah kedua bukit itu dipisahkan persawahan kemudian jaten (hutan Jati). Dari atas b ukit ini ketika pandangan mata ke arah timur, maka terlihat dua bukui, banyurip dan gosari, yang mana bentuk kedua bukit ini seolah serupa gerbang atau gapura. Masyarakat setempat memiliki mata pencaharian petani tegalan dan peternak raja kaya (sapi, kambing, dll), juga unggas. Dulu kehidupan mereka masih sederhana, sebelum jalanan di paving. Di dusun ini seperti jauh penggaruh modernisasi sebelum tahun 2000an.

Ditambah lagi tahun 2005, mulai ada salah satu cv yang punya izin tambang, yang mana eksplorasi alam sebatas kebutuhan saja dulunya sudah cukup. Kini telah menjelma eksplotasi alam. Kontur tanahnya yang mudah longsor, berbeda dengan kedua bukit sebelumnya, yang tergolong karts muda, yang bisa dijadikan batu bata. Memang, bisnis penggurukan tanah, telah merambah, bukit yang dulu dilarang ditambang, sekarang pun ikut jadi korban. Demi sebuah pengurakan tambak, dan pesisir pantai serta perumahan, yang kini meraja lela di wilayah gresik utara.

Bukit larangan masih jarang dikunjungi, dikarenakan banyak kisah mistis di dalamnya. Jika naik ke atas sebelah utara bisa melihat laut utara yang membentang indah. Di atas bukit larangan terdapat, makam sesepuh dusun, mbah Syafi’I, di sebelah baratnya makam, ada cekungan air serupa sumur, dengan kedalaman tiga meter, yang cukup menampung air hujan. Di sekitar tempat ini masih rindang, ada pohon kecacel dan beringin, serta deretan pohon jati. Di sebelah utara atas bukit larangan bisa melihat pemandangan, panorama laut utara Gresik.

4. BUKIT KEEMPAT: BUKIT SUROWITI
Bukit ini terletak di desa surowiti kecamatan Panceng Gresik. Dari arah bukit larangan kea rah selatan, melewati beberapa pohon jati, pasar sapi, yang biasanya buka setiap hari selasa. Desa surowiti sudah terkenal dengan kemistisanya. Di atas bukit ini terdapat Dusun yang bernama dusun surowiti. Di atas sana ada perkampungan kecil yang dihuni kurang lebih seratus rumah tangga dengan luas kurang lebih lima hentar. Dengan ketinggian 260 m di atas permukaan laut. Juga terdapat petilasan pertapaan Sunan Kalijaga dan Makam Empu Supa Madrangi, alias Pangeran Sidayu, yaitu empu linuwi pada zaman majapahit. Karya besar beliau berupa keris sengkalet. Di dekat makam empu supa, terdapat gua macam, yang konon sebagai macam peliharaan Ki Singo Wongso (cikal bakal orang Surowiti).

Di atas bukit itu juga terdapat makam Ki Bagus mataram, seorang puggawa kerajaan majapahit yang terkenal kaya raya. Kemudian meninggalkan harta kekayaannya dan pergi berguru pada Sunan Kalijaga. Orang yang datang berziarah ke tempat ini kebanyakan mencari rizki dan kekayaan. Di tempat ini juga terdapat tempat petilasan tapa Nguweng Sunan Kalijaga, orang datang ke tempat ini untuk mencari berkah, berupa pangkat, derajat dan jabatan.

Juga terdapat gua Langseh, terdapat dua ruangan atas dan bawah. Ruangan atas sebagai ada batu seperti bulatan besar, yang konon digunakan sebagai petilasan sarasehan walisongo. Dibagian bawah sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijaga. Di atasnya terdapat tanah datar, digunakan sebagai tempat latihan kanuragan. Di dalam ruangan gua terdapat di bawahnya terdapat tandon kecil, yang dulunya sebagai tempat wudlu.

Di kaki bukit sebelah selatan terdapat kalibuntung, menurut cerita tutur kali buntung ini anak suangai bengawan solo. Di sebelah selatan sendang ini terdapat pring silir, yang konon menurut masyarakat setempat adalah tongkat sunan boning yang ditancapkan, di sebelah sunan kalijaga saat bertapa di pinggir kali. Yang mana menurut masyarakat Surawiti, pringnya bisa dibuat memagari rumah secara gaib.

Di utara Surawiti ada Desa Selodingin, di desa ini terdapat musholah yang belakangnya ada sendang. Di sana juga terdapat makam seorang siden, yang konon dulunya jatuh cinta pada sunan Kalijaga, tapi ditolak. Sehingga sebuah peristiwa naas menimpanya, sinden yang bernama roro mendut ini dibegal oleh kawanan perampok, yang kemudian dikuburkan pengikutnya, menjadi tiga bagian. Makamnya masih ada sampai sekarang. Ke arah baratnya lagi terdapat bukit yang ke lima bukit prupuh.

5. BUKIT KELIMA: BUKIT PRUPUH
Bukit prupuh ini terletak di Desa Prupuh kecamatan Panceng Gresik, bukitnya tidak terlalu tinggi. Di bukit ini terdapat beberapa lempengan batu andesit, yangn usia kira-kira sejak 850. Yang sekarang sudah ditata seperti meja dan kursi serupa zaman batu. Di atas bukit prupuh terdapat makam mbah Klemok, yang konon sebagian orang mencari pesugihan di sini. Di t.sebelah utaranya terdapat makam sayyid abdurahman. Keduanya merupakan sesepuh desa prupuh. Sedang di kaki bukit terdapat mata air duyung, yang di sebelah sumber mata airnya terdapat serupa tapak kaki kuda. Batu tempat keluarnya air ini usianya sudah tua, bila dilihat lebih dalam lagi kemungkinan sekitarnya bisa ditemukan stalagmite. Di sendang ini sekarang dijadikan tandon kebutuhan air bersih masyarakat setempat. Di samping sendang ada tempat pengelolahan air.

6. BUKIT KEENAM: BUKIT PUNDUT
Bukit ini terletak di kearah selatan bukit prupuh, kira-kitra 3 km, lalu belok ke arah barat, lokasinya sedikit menjorok ke dalam. Terletak di desa pantenan. Desa yang dulunya di sebelah utara bukit, setelah melakukan bedol desa. Desanya dipindah ke selatan bukit. Di puncaknya terdapat batu berundak, jenis batu andesit, yang diperkirannya sejak zaman 850 M. dari sisa bukit ini ada kaki bukit bisa melihat kelima bukit sebelumnya. Bukit pundut sudah seperti sisa-sisa galian, batuan kapurnya hampir habis, dari yang bisa kita lihat, bisa dikatakan dulu sering digunakan dinamit untuk meledakan bukit. 

Desa pantenan sering ditemukan keeping emas dan koin emas. Ke selatan lagi terdapat desa ketanen. Kondisi bukit ini sekarang sudah berantakan, korban ekplotasi alam, bongkahan batu besar-besar tercecer tidar beraturan, hanya sedikit sisa yang bisa dipergunakan masyarat sebagai area tambang batu kapur. Kearah timur laut terdapat desa banyutengah.

7. BUKIT KETUJUH: BUKIT KUKUSAN (PUTUSAN)
Bukit yang ketujuh berupa bukit kukusan. Sebuah bukit yang terletak di desa Banyu tengah. Bukit kukusan ini kalau dilihat dari bukit gosari, nampak serupa sebuah kukusan. Akan tetapi sekarang sudah tidak berbentuk, bentuknya sudah acak-acakan. Hanya-sisa-sisa batu besar yang tidak bisa dimanfaatkan. di kaki bukitnya di pancangkan dua tower besar. Dari atas bukit ini sudah tidak bisa lagi melihat bukit-bukit yang lain.

Dulu di atasnya ada makam keramat, tapi sekarang sudah lenyap. Menurut nelayan setempat, dinamai bukit bali, tempat kembali, masyarakat setempat bekerja sebagai penambang batu kapur dan petani. Sejak kemasukan pabrik, sekarang bukit kukusan itu hampir habis, datar dan sebelahnya dijadikan tempat eksploitasi bukit besar-besaran.

C. PENAFSIRAN (INTERPRESTASI)

Bila dimaknai secara bebas maka akan berurutan sebagai berikut:

1. Bukit Banyuurip (Air Kehidupan atau Sperma).
2. Bukit Gosari (lazim dikenal dengan nama Nogosari/jajan pasar yang digunakan untuk selamatan dimasa kanak-kanak ).
3. Bukit Larangan (pemberlakuan tentang larangan dan kewajiban/masa baligh).
4. Bukit Sorowiti (Susah untuk memulai/masa dewasa).
5. Bukit Prupuh (Sepuh atau masa Tua).
6. Bukit Pundut (diambil,kembali/masa Kematian).
7. Bukit Putusan atau Kukusan (Keputusan tuhan akan hasil amal perbuatan manusia).

Berdasarkan urutan diatas maka jajaran formasi ketujuh bukit seperti urutan fase kehidupan manusia yang dimulai dari sperma,masa kelahiran dan kanak-kanak,masa baligh,masa dewasa,masa tua,masa kematian dan masa menerimah keputusan tuhan akan semua apa yang dilakukan selama hidupnya.

Bukit-bukit yang terletak di wilayah gresik utara, khususnya wilayah kec, Ujung pangkah dan panceng, letak ketujuh bukitnya membentuk rasi bintang gubuk penceng. Di dalam tujuh bukit tersebut bisa ditafsirkan dengan tipologi tiga alam: a. Alam Purwa (kandungan), yakni Alam kandungan dan perjanjian suci. b. Alam Madya (Dunia), yakni alam fana, alam mencari saku kehidupan kelak. Maksudnya, wong urep ono papeleng: ileng leluhure, ileng dirine, ileng pepadane, lan ileng gustine. c. Alam Purna (Kasadan Jati), yakni: barzah, kebangkitan, mahsar, mizan dan keputusan serta kembali ke asal mula.

Di samping itu, masing-masing bukit memiliki pemaknaan:

1. Bukit Banyurip, sebagai perlambang mijil (masa benih); berikut isi tembang mijil “poma kaki dipun ileng, ing pitutur ingong, sira ugo satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, ruruh sarta wasis, samubarangipun”.

2. Bukit Gosari, sebagai perlambang kinanti (anak-anak), sebagai pengharapan, berikut isi tembang: “anoman malumpat sampun, prapteng witing nagasari, mulat mangandap katingal, wanodya yu kuru aking, gelung rusak wor lan kisma, kang iga-iga kaeksi”.

3. Bukit Larangan, perlambang sinom, tamyis-baliq (bedake bener salah). Isine tembang sinom: “nulada laku utama, tumrape wong tanah jawi, wong agung ing ngeksi ganda, panembahan senopati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinepsu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tyasing sesame”.

4. Bukit Surawiti, perlambang asmaradana (cinta keduniawian), isine tembang: “gegaraning wong akrami, dudu bandha dudu rupa, among ati pawitane, luput pisan kena pisan, lamun gampang luwih gampang, lamun angel angel kalangkung, tan kena tinumbans arta.

5. Bukit prupuh, perlambang Gambuh (dewasa/matang), berikut isine tembang: “sekar gambuh ing catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula katali, kadaluarsa kapatuh, kapatuh pan dadi awon”

6. Bukit pundut, perlambang megatruh, “kabeh iku mung menungso kang pinunjul, marga duwe lahir bathin, jruning urip iku mau, isi ati kelawan budi, iku pirantine wong”.

7. Bukit kukusan, perlambang pocung (putusan), unine tembang: “ngelmu iku kelakone nganti laku, lekase lawan kas, tegese kas ngantosani, setya budaya pangekese dur angkara”.

Risalah tujuh bukit adalah fase perjalanan hidup manusia. Dari kandungan sampai akhir dimana dan kemana dia kembali. Bukit-bukit ini juga sebagai penanda nelayan untuk pulang, sebuah mercusuar alami yang dianugerahkan sang Maha pencipta pada mahluknya. Risalah tujuh bukit sebuah berita dan cerita kehidupan yang membeku di tubuh bumi, yang dipancangkan sebagai paku bumi.

Adapun kini bukit-bukit itu hampir habis ditelan keserakahan manusia. Sebuah alur kehidupan modern yang tak lagi mempertimbangan kondisi dan kearifan alam. Kehidupan yang mengedepankan kemewahan hari ini, tidak lagi punya pertimbangan akan warisan yang ditinggalkan buat anak-cucu, sungguh naïf, bukan?!
***

Lampiran I. ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN

Anak bajang menggiring angin
Naik kuda sapi liar ke padang bunga
Menggembalakan kerbau raksasa

Lidi jantan sebatang disapukan ke jagat raya
Dikurasnya samudera dengan tempurung bocor di tangannya
Digelaran sayap garudayaksa
Naik anak bajang ke bukit handracanra

Janur gebang berayun-ayun
Anak bajang berarak-arakan
Dalam iring-iringan panjang
Para pencagakan dan kemamamng
Di belakang riang memangjang
Barisan waru dhoyong dan singa barong
Dhenokongkrong dan dadhungwinong
Berkebit-kebit diekor anak-anak carubawor

Paru petang bulan purnama
Lelap tidur anak bajang
Dekat perapian kunda kencana
Dibelai gading gajah meta
Dan bisa permata nagaraja
Dengan tikar daur runya
Dari negeri atas angin
Berhembus nafas naga Giyani dan mintuna
Meniupkan samirana dukula

Anak bajang terbang
Hingga ke puncak mandira
Menari-nari bersama kukila
Di bawah perempuan menangis
Melahirkan pedang dari luka-luka kedukaan

Sedih anak bajang bertanya
Bunda kenapa?
Kau robek kainmuj dengan darah
Sedang hendak merayap aku
Di antara bukit-bukitmu?

Gelap pun gulita
Dengan empat nafsu cahaya
Anak bajang menyalakan dian teja darpasura
Bumi berguncang
Dahana menyala
Jaladri pecah
Prahara melimbah-limbah

Anak bajang dikejar dua manusia
Senjatanya pedang emas
Payung kencana
Mengnhadang di sana raksasa
Mulutnya berlumuran darah ikan berbisa

Anak bajangmeronta-ronta
Menolak susu wanita
Yang menutup payung hitamnya
Gemuruh malam kumbang
Ular jantan di kiblatan
dipeluk petang jalanan catur denda

anak bajang lari menubruk surya
langit mendung hujan bintang
matahari padam senyum bulan muram
kusuma terbang merebut singgahsana awan
bidadari turun telanjang
dimadu-madu buah dadanya

menyusu anak bajang sekeras duka-dukanya
tangis dan sorak gambiralaya
lahir di saptapratala
dunia tua berusia bayi muda
(Sindhunata, 1983) .

LAMPIRAN II. Mantra Pemanggil Angin

Cempe, cempe!
Undangno barat gedhe
Tak upahi dudo tape

Mantra Aji Bolo Sewu

Aku titise resi bagaspati, dayaku candra
Birawa dayaku naga saputir, iduhku wisa
Sarpa kencana pangucapku gelap wasesa
Mula sira ingsun amatek ajiku bala sewu
Kang tapa ing gua garbane bagaspati,
Sakabehi khodam widadara lan wildadari
Malaikat, jin, setan, prapayangan wes luluh sari atunggal
Sake mungsu ing ngarep, mburi, kiwa, tengen
Kiblat papat pada kamigilan
Kepraban ajiku bala sewu kabeh manut luluh
Lan tan kena owah soko sire plan kekuatane aji bolo sewu
Yo ingsun titisane resi bagaspati

Mantra Pemanggil Hujan

Niat ingsun matek ajiku si Guntur mawur
Kapethik jantraning rina sirullah kodratullah
Kapethik jantrane wengi tekakno udan kapisan lepana jagatullah
Mendung abang pada teka, mendhung ireng pada seba
Mendung putih gemulung dadi pitung samudera, sakno ing
Nabi Khidir kang mengkoni toya tak jaluk katiyasanmu

Bres teles-teles saking kersani Allah.
Yahu Yaa Allah, Yahu yaa Allah, Yahu yaa Allah

Noktah Risalah Tujuh Bukit

Bukit-bukit itu sasmita
Risalah rasi bintang
kandungan ibu, paku bumi
dihempas badai

Bukit satu persatu gugur
Terpencar acak-acakan
Berhamburan bagai kapas
Diterbangkan kebringasan
Diterjang angkara murka
Tendon hayat pun jadi mayat

Tujuh bukit tercerai berai
Ke mana arah pulang
Jika mencusuar itu tumbang!
(Risalah Tujuh Bukit, 2018)

Pitutur Tapak Kaki Tujuh Bukit

“Ngelmu alif tumeko samudrane rasa”
“Nyawijine rasa tumindake budhi pakerti”
“kaluhurane urip pamuncake kaluhuran”
“Man shabaro zhafira”
***

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria