vendredi 26 juin 2020

Teror dari Serat Kiai Sutara

Serat Kiai Sutara, Taufiq Wr. Hidayat, 2018
Fatah Yasin Noor

Tentu saja banyak orang hebat di dunia ini, tapi yang paling hebat ialah Kiai Sutara. Di setiap negara, dan ternyata banyak negara di dunia ini, ada orang hebat yang ditakdirkan Tuhan kelak masuk surga. Selidik punya selidik, ternyata orang-orang hebat itu setiap saat selalu menanamkan kebaikan. Menghindar dari segala sesuatu yang dianggap sia-sia dan percuma. Pikiran warasnya jalan terus. Kesadaran adalah bumi. Nah, salah satu orang hebat itu tak lain dan tak bukan ialah Kiai Sutara. Saking hebatnya, kadang banyak orang terkecoh, seakan-akan Kiai Sutara seperti tokoh fiksi. Siapa yang menyangka bahwa sebenarnya Kiai Sutara seorang wali zaman now? Penggambaran itulah yang kita tangkap, setidaknya saya, setelah membaca “Kitab Kiai Sutara” di bagian pertama buku Serat Kiai Sutara (SKS) ini.

Padahal sejatinya, Kiai Sutara adalah tokoh faktual dari alam bawah sadar Taufiq Wr Hidayat yang sengaja menyembunyikan tokoh itu dengan nama samaran. Nanti di akhir tulisan ini akan saya bongkar. Dan ketahuilah, di setiap pondok pesantren pasti ada Kiainya, tapi tidak semua Kiai punya pondok pesantren, yang sanggup menampung ratusan, bahkan ribuan santri untuk belajar ngaji. Karena santrinya ribuan, maka terjadilah komersialisasi. Jadi santri harus bayar. Ponpes yang dulunya dibangun sederhana, dari gedeg lantainya bambu, seiring perjalanan waktu tiba-tiba berubah jadi ponpes megah dengan gedung bertingkat. Para santri tidak mandi di kali lagi, tapi di jeding. Kiai Sutara tidak punya pondok pesantren. Kalau toh punya santri, santri Kiai Sutara hanya bisa dihitung dengan jari. Santri Kiai Sutara yang sangat sendiko dawuh, dalam buku ini, adalah si penulis cerita itu sendiri.

Inilah buku tebal “Kiai Sutara”, kumpulan tulisan jenaka Taufiq Wr Hidayat, tidak melulu membicarakan sosok Kiai Sutara. Cerita tentang Kiai nyentrik ini hanyalah satu bagian (bab) dari empat bab di buku tebal SKS. Ada tulisan dengan judul Fatah di halaman 441. Tentu saja isinya Fatah (mungkin fiktif) bukan se orang tokoh yang ngerti seluk-beluk agama. Fatah di situ seperti mirip-mirip temannya si penulis (Taufiq Wr Hidayat). Fatah yang di mata Taufiq sebagai sastrawan hebat. Saya rasa tulisan ini, sejatinya, kurang pas ikut masuk di buku Serat Kiai Sutara ini (itu). Tapi harus diakui, kelebihan Taufiq Wr Hidayat menulis biografi seseorang - baik pesanan mau pun yang spontan tanpa disuruh - lumayan jeli. Ingatannya pada orang yang ditulisnya melekat. Begitu juga ketika Taufiq Wr Hidayat menulis biografi singkat sosok temannya yang lain, Yons DD (halaman 510). Taufiq Wr Hidayat sangat terkesan dengan gaya bicara Yons DD yang teatrikal itu. Inilah untungnya se buah tulisan yang ditulis dari dalam “tubuh” sendiri.

Cerita Kiai Sutara dengan “santrinya” adalah sebuah dialog guru-murid kontekstual. Artinya, jika ini dikaitkan fatsun kebangsaan kekinian, ia tak lain adalah otokritik terhadap badut-badut yang sikap dan perilakunya enak ditertawakan. Penguasa dan politikus zaman now yang “memuakkan” dibikin bahan candaan yang satir. Ini seolah menjadi presentasi publik yang tak punya ruang, suara pinggiran yang dibungkam. Penguasa yang haus tahta harta adalah “tebelek” yang pantas dikasihani. Mereka justru buta terhadap kenikmatan hidup yang hakiki. Harta dan kuasa telah memperdaya mereka, dan itu tak disadari yang endingnya menyesal di ujung hidupnya. Nah, dari situlah kemudian pesan-pesan sederhana Kiai Sutara mengalir jenaka.

Sejatinya pesan dalam sejumlah tulisan di SKS tidaklah begitu penting. Justru yang menarik adalah gaya penceritaan Taufiq Wr Hidayat yang mengalir lancar. Kalimat demi kalimat ia tulis dengan renyah dan pas. Cerita bisa terinspirasi dari mana saja: cerpen Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira, Rendra, dan yang lain. Taruhlah misal “Imam Samkomar dan Penarik Gerobak” (hal. 179) mengingatkan kita pada cerpen Budi Darma “Laki-laki Pengusung Goni”.Tokohnya adalah sang pencabut nyawa yang nyamar sebagai laki-laki kumuh. Baik laki-laki dalam “Laki-laki Pengusung Goni” Budi Darma mau pun “Imam Samkomar dan Penarik Gerobak” Taufiq adalah laki-laki yang akhirnya kita tahu, sangat mengerikan. Dibalik pakaiannya yang lusuh dan gelandangan, ternyata dia utusan Tuhan yang tugasnya mencabut nyawa. Sekian banyak nyawa dia masukkan ke dalam goni di cerpen Budi Darma, dan di “Imam Samkomar dan Penarik Gerobak” nyawa dicampakkan ke dalam gerobak. Matanya merah, seperti menyimpan api neraka bergejolak. Setiap kali Imam Samkomar bertabrakan mata dengan laki-laki penarik gerobak, tubuhnya bergidik. Tiba-tiba hatinya ciut, dan Imam Samkomar merasakan ketakutan luar biasa (alenia 13).

Jadi, buku Serat Kiai Sutara ini boleh dibilang semacam serba-serbi esai, ditulis dengan gaya bahasa ringan, kadang tampak jenaka di sana-sini. Taufiq Wr Hidayat nyaris membicarakan pelbagai hal yang berkelebat diingataannya “di sini dan sekarang”. Ingatan Taufiq sebagai modal utama untuk menulis, dan selalu kontekstual, selaras dengan bacaan yang dia baca, dan ini membuat tulisannya meluas: mengatasi kehidupan sehari-hari.

Tapi, bacalah pengantar Dwi Pranoto “Cara Melawan Orang-orang Kecil”.  Pengamatannya sangat teliti dan mendalam. Saya yakin, sebelum Dwi Pranoto menulis kata pengantar pastilah (atau nyaris) sudah membaca semua tulisan Taufiq Wr Hidayat  sebelum diterbitkan. Dia mampu menangkap secara tepat esensi dari sejumlah tulisan di buku SKS.
***

24 Feb 2018
https://radarbanyuwangi.jawapos.com/read/2018/02/24/52146/resensi-buku-teror

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria