AKU INGIN HUJAN BULAN JUNI
Di Indonesia, hanya puisi Aku Ingin dan Hujan Bulan Juni, yang sedemikian populernya, melebihi popularitas penyairnya. Puisi itu dikutip-kutip bahkan di undangan pernikahan, tanpa menyebut nama Sang Penyair. Dua puisi itu karya Penyair Sapardi Djoko Damono, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Selain penyair, Sapardi juga dosen, bahkan Profesor di UI. Pernah menjadi Dekan FIB UI, redaktur Majalah Basis, kemudian Horison. Hari ini, Minggu 19 Juli, 2020, Penyair Terkemuka Indonesia itu berpulang, pada usia 80 tahun. Dengan wafatnya Sapardi, penyair terkemuka berusia di atas 75 tahun tinggal: Toeti Heraty (86), Taufiq Ismail (85), Rusli Marzuki Saria (84), Ajip Rosidi (82), Diah Hadaning (80), Sutardji Calzoum Bachri 79, Goenawan Mohamad 78.
MENGAPA SAPARDI BUKAN SUPARDI?
Penyair Sapardi Djoko Damono, wafat pada Minggu 19 Juli 2020, dalam usia 80 tahun. Mengapa namanya Sapardi, bukan Supardi? Padahal lazimnya nama Jawa diawali dengan SU yang artinya baik. Sukarno, Suharto, Susilo Bambang Yudhoyono. Tampaknya Mangoen Sedyoko, ayah Sapardi, punya pertimbangan lain. Hari Kamis Wage, 19 Maret 1940, saat puteranya lahir; pada Kalender Jawa tercantum tanggal 10 Sapar 1871. Maka nama yang ia berikan bukan Supardi seperti lazimnya orang Jawa, melainkan Sapardi, karena lahirnya pas bulan Sapar. Saparinah Sadli, psikolog yang saat ini berusia 93 tahun, lahir Rabu Pon, 24 Agustus 1927, 25 Sapar 1858. Maka oleh ayahnya diberi nama Saparinah. Bukan Suparinah.
***
http://sastra-indonesia.com/2020/07/2-capil-f-rahardi-mengenang-sapardi-djoko-damono/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire