jeudi 2 juillet 2020

Perpustakaan Bergerak Nirwan Ahmad Arsuka


Linda Christanty
Majalah Dewi edisi April 2016

Pencinta kuda ini menginisiasi cara baru dalam mengantar bacaan untuk anak- anak di daerah terpencil dan menghidupkan budaya yang hampir punah.

SEORANG LELAKI menunggang kudanya, jenis unggul dari persilangan sandel Sumba dan Thoroughbred, untuk menempuh perjalanan dari Pamulang di Banten sampai Parongpong di Jawa Barat. Mereka kerap menyusuri jalan-jalan setapak, dari bulan Agustus hingga September 2014. “Setiap kali kami singgah, anak-anak kecil datang berkerumun. Mereka antusias membantu saya mencari rumput untuk kuda. Anak-anak ini memberitahu saya tentang kondisi setempat, nama ataupun letak lokasi yang sedang saya cari,” kenang Nirwan Ahmad Arsuka, penulis dan penggiat di bidang kebudayaan.

Namun, anak-anak tersebut membuatnya cemas. Mereka tak dapat menjawab pertanyaannya tentang sejarah kampung mereka sendiri. “Kalau dibiarkan, kita akan punya generasi yang sama sekali tidak tahu tentang sejarah dan kebudayaan mereka. Saya berkuda juga bukan sekadar untuk melihat pemandangan atau bertemu orang, tapi untuk menyerap kebudayaan yang berkembang di tempat tertentu sekaligus menghimpun cerita-cerita menarik agar perjalanan saya lebih kaya,” kisahnya saat kami bertemu pada pertengahan Februari lalu.

Ketika ia mengakhiri perjalanan berkuda kali itu lembaga tempatnya bekerja, Freedom Institute, telah dibekukan. Alih-alih memikirkan diri sendiri, ia malah mengkhawatirkan kondisi anak-anak di kampung tadi. Ia bertekad membuat perpustakaan bergerak dengan memanfaatkan sebagian uang pesangon. “Buku- buku harus mendatangi anak-anak dan harus dengan cara yang menarik. Kuda itu salah satu binatang yang selalu menarik perhatian anak-anak,” katanya.

Kuda dan buku, dua kata penting bagi Nirwan. Pertama kali mengenal kuda, ia masih kanak-kanak. Kakeknya dari sebelah ibu memelihara kuda. Jika tidak pergi bersama ke sungai untuk menangkap ikan, ia diajak kakeknya naik kuda menyusuri bukit-bukit. Pengalaman itu amat membekas. Namun, kecintaan Nirwan terhadap buku tidak berakar dari kebiasaan dalam keluarga. Buku-buku pertamanya adalah buku-buku pinjaman dari para mahasiswa yang tinggal di rumah orangtuanya dan para tetangga. Buku-buku tentang alam semesta menjadi favorit. “Mungkin karena pola asuhan yang dilakukan Kakek. Dari kenangan yang indah tentang sungai, gunung dan bintang-bintang, jaraknya sudah sangat dekat dengan apresiasi terhadap alam semesta. Saya kira, semua anak yang sehat pasti punya keterpukauan pada langit, laut, dan obyek-obyek alam yang memang memukau ini.” Gairahnya terhadap alam semesta tersebut berlanjut hingga ia dewasa.

Bagi Nirwan, jagat raya tak lain dari sekumpulan narasi. Tidak asing atau berjarak, melainkan bagian dari eksistensi manusia. Ia berharap, “Suatu saat orang bisa memahami black hole atau bintang sebagaimana orang membangun hubungan dengan bunga atau kucing, atau kuda." Namun, pengetahuan ilmiah seringkali berbenturan dengan pandangan-pandangan yang konservatif, sempit, dan tertutup. Kali ini ia memihak pemikiran Karl Popper, filsuf Inggris kelahiran Austria, “Dia menganjurkan ‘open society’. Keterbukaan dan demokrasi itu penting, agar kebenaran bisa diperiksa bersama.”

Nirwan sengaja memilih tempat-tempat yang sukar dijangkau sebagai tujuan perpustakaan bergerak, yang di sana akses terhadap buku memang tak ada, “Di daerah seperti itu tentu hanya transportasi kuda yang terbaik.” Pada November 2014, ia membuat pengumuman di Facebook tentang keinginannya membeli kuda yang unik, berwarna belang. Kuda semacam ini tentu menarik perhatian anak- anak. Ridwan Sururi, perawat kuda di kaki Gunung Slamet, Purbalingga, menjawab keinginannya. “Kebetulan dia punya dan mau menjual.” Kelak kuda tersebut dinamai Kutub Dunia. Lama-kelamaan pembicaraan mereka berkembang. Ridwan ternyata tertarik membuat perpustakaan bergerak di kampungnya. Nirwan dengan senang hati mengiriminya buku-buku.

Meski ‘kuda pustaka’ telah terwujud di Gunung Slamet, ia masih gelisah, “Anak-anak di gunung kesulitan mencari buku, tapi jauh lebih sulit lagi anak-anak di pulau dan di pesisir. Waktu masih SD sampai SMA di Makassar, saya sering melihat situasi anak-anak di kampung nelayan lebih buruk.”

Ia lantas menghubungi teman-temannya di Makassar pada bulan Maret 2015, meminta mereka mencari perahu bekas. Kali ini ia ingin membeli perahu untuk membawa buku-buku. Ia kemudian terhubung dengan Kamaruddin Aziz, seorang sarjana kelautan, dan Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti kelautan dan penulis buku Orang Mandar, Orang Laut, yang bersamanya mendiskusikan jenis perahu yang tepat untuk kondisi daerah yang akan didatangi. Mereka pun sepakat menggunakan jenis perahu yang sudah hampir punah di Sulawesi, yakni perahu kargo, agar mampu masuk ke sungai atau perairan dangkal. Lambung lebar. Lunas tidak terlalu dalam. Orang Mandar menyebutnya baqgo. “Sudah menghilang dari pelabuhan-pelabuhan. Perahu ini tenar di tahun 1970- an ketika pelayaran tradisional masih hidup,” ujar Nirwan. Sebuah perahu bekas jenis ini akhirnya ditemukan. Tapi perbedaan harga yang tak terlampau jauh antara perahu bekas dan perahu baru membuat Nirwan memutuskan membeli perahu baru saja. Keputusannya menandai sebuah sejarah baru, “Kami menghidupkan kembali tradisi yang hampir punah, lengkap dengan upacara memilih pohon sampai meluncurkan perahu.” Ridwan mengusulkan nama untuk perahu itu: Pattingalloang. Karaeng Pattingalloang adalah perdana menteri kerajaan Makassar pada abad ke-17. Nirwan menuturkan kecintaan lelaki ini terhadap ilmu pengetahuan dalam esainya di "Edisi Millenium" harian Kompas, 1 Januari 2000 dan pidato kebudayaannya, Percakapan dengan Semesta, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 5 November 2015.

Pattingalloang telah beroperasi sejak bulan Juni tahun lalu, menjangkau beberapa kabupaten di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Ia terdengar makin bersemangat, “Perahu kedua sedang dibuat dan akan bergerak ke Maluku, sementara Pattingalloang akan beroperasi di Selat Makassar.” Perahu pustaka ini mengilhami Ridwan mendirikan Nusa Pustaka, museum dan perpustakaan di kampungnya.

Berkat Facebook, ia sempat berkenalan dengan Sugeng Haryono di Lampung, tukang tambal ban yang pernah mengenyam kuliah diploma di jurusan perpustakaan, "Dia juga mempraktikkan apa yang kami lakukan. Dia mengendarai sepeda motor untuk membawa buku-buku." Nirwan menganjurkan Sugeng memanfaatkan media sosial untuk menggerakkan partisipasi masyarakat.

Manokwari, Papua menjadi wilayah sasaran terakhir perpustakaan bergerak. Melalui seorang teman, Nirwan terhubung dengan Misbah, seorang guru di sana yang menyambut gagasannya karena memiliki keprihatinan yang sama. Sejumlah relawan membantu Misbah, termasuk dua atlet nasional, yang menggiatkan ‘noken pustaka’. Noken adalah tas tradisional Papua, terbuat dari serat kayu.

Gerakan pustaka terus menjalar ke wilayah-wilayah lain. Para penggeraknya terdorong oleh rasa peduli dan suka rela. Kendala justru bersumber dari ulah oknum-oknum pemerintah. Nirwan teringat pengalaman seorang temannya, “Mereka mempertanyakan perizinan atau berupaya memanfaatkan kegiatan ini untuk kepentingan pribadi.”

Perpustakaan bergerak hanya salah satu cara Nirwan menanggapi situasi yang ada di depan mata. Ketika masih mahasiswa, ia memutuskan menjadi aktivis dengan prinsip yang sama, “Saya menyaksikan sesuatu, sehingga harus berbuat sesuatu.” Di Yogyakarta, lelaki kelahiran Makassar ini tidak hanya sibuk kuliah di Teknik Nuklir, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, melainkan turut membantu Romo Mangunwijaya mengurus anak-anak jalanan di Kali Code, antara tahun 1986 sampai awal 1989. “Tugas utama saya menemani mereka, mengajari membaca dan kebersihan.“ Ia terlibat aksi-aksi mahasiswa, mulai dari membela petani di Cilacap dan Madura yang kehilangan tanah hingga memprotes pembreidelan tabloid Detik, majalah Tempo dan Editor, yang dilakukan pemerintah Soeharto.

Sekarang ia tengah mencari cara agar Kutub Dunia pergi ke Papua, “Supaya ada ‘kuda pustaka’ di sana. Yang penting Si Kutub bertemu orang yang menyayangi dan merawat dia, bagi saya itu sudah cukup.” Setiap hari Minggu ia menengok Kutub di suatu tempat, di Bogor. Merah Putih, kuda yang dulu menemaninya dalam perjalanan antara Pamulang dan Parongpong, kini berada di Yogyakarta. Merah tengah menjadi model karya seni rupa Ugo Untoro, seniman dan seorang teman baiknya, “Ugo juga penggila kuda. Kalau rindu Si Merah, saya tengok dia di Yogya."
***

https://www.facebook.com/notes/linda-christanty/perpustakaan-bergerak-nirwan-ahmad-arsuka-oleh-linda-christanty/10153422583811496/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria