mercredi 1 juillet 2020

Pustaka Bergerak Nirwan Ahmad Arsuka

Si Koboi Penebar Buku Gratis
Bernadette Aderi

Orang Gila. Begitu cibiran masyarakat sekitar pada Nirwan dan relawannya ketika gerakan kuda pustakanya dimulai. Niat Nirwan menyebarkan ilmu pengetahuan lewat buku semula memang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Masalahnya, dalam masyarakat zaman ini yang cenderung mengkuantifikasi segala hal dengan uang, gerakan Nirwan yang cuma-cuma jadi terlihat aneh dan memunculkan kecurigaan di masyarakat.

“Kalau dikira ganti profesi dan dicurigai ingin menjual buku sih sudah biasa. Tapi parahnya sampai ada yang kira kita mau culik anak,” ujar Nirwan Ahmad Arsuka yang kemudian disambut gelak tawa ketika secara langsung ditemui Validnews di Jakarta, Jumat (29/6).

Kesalahpahaman memang banyak terjadi, utamanya di awal gerakan literasi yang dilakukannya. Namun, hal itu tidak lantas membuat Nirwan dan relawannya putus asa. Niat berbagi yang kuat memantapkan langkah mereka untuk kembali masuk ke kampung-kampung untuk menyapa anak-anak dengan buku bacaan berkualitas.

Bak gayung bersambut, kegigihan mereka akhirnya dapat menyentuh masyarakat di tiap lingkungan yang mereka sambangi. Jika awalnya dicurigai kini mereka semakin dicari. Tak hanya oleh anak-anak, tapi juga orang tua yang paham betul tujuan dari gerakan ini.

Hingga kini, Pustaka Bergerak Indonesia yang diinisiasi oleh Nirwan sudah ada di kurang lebih 1.600 titik yang terbesar di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah relawannya pun sudah mencapai 11 ribu orang. Tidak hanya kuda, pustaka bergerak kini menggunakan motor, bendi, hingga perahu guna menjangkau mereka yang ada di daerah pelosok Indonesia.

Untuk dapat bergerak jauh hingga seperti sekarang, banyak hambatan dan tantangan yang telah dia lewati bersama relawannya. Akan tetapi dengan tujuan agar pengetahuan dapat “bergerak”, berbagai upaya tetap dilakukan Nirwan sehingga buku-buku bermutu tetap dapat tersebar di seluruh Indonesia.

Langkah yang diambil Nirwan cukup ekstrem. Sebab tadinya dia adalah Direktur Freedom Institute, perpustakaan yang sempat digadang-gadang sebagai salah satu perpustakaan terbaik di Indonesia.

Nirwan memilih keluar dari zona nyaman karena alasan yang cukup sederhana. Dia mengamati, meski perpustakaan tepatnya bekerja cukup ramai, namun sangat sedikit masyarakat sekitar yang mau berkunjung ke perpustakaan ini.

Setelah ditelusuri akhirnya dia menyadari kalau ruangan dan koleksi perpustakaan yang sangat bagus itu nyatanya tidaklah membuat semua orang merasa nyaman untuk datang. Apalagi ketika untuk masuk saja mereka harus lewat satpam dan sensor keamanan terlebih dahulu.

“Dari situ saya mulai sadar. Perpustakaan modern yang dibangun sekarang ini meskipun membawa semangat pemerataan itu sebenarnya menciptakan kelas,” ujarnya.

Dari sinilah dia mulai memikirkan bentuk perpustakaan yang bergerak menghampiri pembaca. Dia memikirkan hal ini karena dia percaya semua orang memiliki hak atas buku bacaan.

Keinginan kuat Nirwan ini akhirnya mulai direalisasikan pada tahun 2014. Waktu itu dia melakukan pengembaraan dari Pamulang hingga Parompong di tahun 2014. Petualangannya itu ia lakukan dengan kuda yang dibeli dan dilatihnya sejak tahun 2013.

Bukan jalan raya yang halus dan ramai yang dilaluinya. Bak cerita-cerita koboi yang banyak dibaca dan ditonton pada masa kecilnya dulu, jalan-jalan kampung dipilih sebagai rute utama dalam perjalanannya itu. Perjalanan ini sendiri dilakukannya karena ia ingin melihat perubahan dari atas punggung kuda. Lebih dari itu, dorongan intelektual untuk mengecek pengetahuan dan realita di masyarakatlah yang menguatkan langkahnya untuk mengembara.

Dalam perjalanan itu, pengalaman paling berkesan menurutnya adalah ketika ia bertemu dengan anak-anak. Anak-anak itu secara aktif berbicara ketika berdiskusi tentang pemain bola kesukaannya. Sayangnya ketika ditanya soal asal usul daerahnya mereka terdiam. Anak-anak itu bahkan tidak tahu sejarah nama desanya.

Nirwan merasa miris. Anak-anak yang ditemuinya ini cerdas, hanya saja bacaan mereka terbatas. Kondisi ini menurutnya membuat ikatan emosional antara anak dan daerah tempat tinggalnya sendiri menjadi sangat minim.

Jika dibiarkan, ke depannya anak-anak Indonesia tidak akan lagi peduli dengan perkembangan daerahnya atau bahkan lingkungan sekitarnya,” kata Nirwan.

Oleh sebab itu, sejak tahun 2014, Nirwan berusaha mencari solusi agar akses masyarakat ke buku terus dapat diperbaiki. Langkah awalnya membangun Kuda Pustaka (Pustaka Bergerak.red). Kuda dipilih sebagai media perantara karena di matanya makhluk hidup ini dapat menarik perhatian utamanya bagi anak-anak.

Konsep perpustakaan bergerak yang dibuatnya ini memang aneh. Namun, ia berusaha mendobrak konsep perpustakaan yang terkesan kaku selama ini menjadi lebih ramah dan nyaman bagi pembaca.

Masalahnya, ide nyentriknya ini tentu tidak bisa dilakukannya seorang diri. Berbagai kendala dihadapinya terutama untuk mencari mereka yang mau menggerakan kuda dan buku ini sehingga dapat mendekati pembaca di daerah pelosok Indonesia.

Singkat cerita dengan memanfaatkan sosial media dan jejaring yang dimilikinya, ia pun menemukan relawan-relawan yang menjadi pionir di daerahnya masing-masing.

Di tahun 2015, Nirwan pun mengembangkan gerakan literasinya. Tak hanya ke daerah terpencil di Jawa namun juga di wilayah pesisir pantai. Perahu Pustaka dibuatnya untuk menjangkau daerah-daerah di tepi pantai Indonesia.

Semula ia berniat untuk membeli perahu-perahu bekas. Namun, berkat saran dari rekannya ia pun membeli dua perahu tradisional menggunakan uangnya sendiri. Pemilihan dua perahu tradisional itu sendiri sebetulnya dilakukannya dengan pertimbangan yang matang. Nirwan ingin menghidupkan kembali perahu-perahu tradisional yang keberadaannya sudah semakin sulit ditemukan saat ini.

Tak berhenti di situ, saat relawan terkumpul ketersediaan dan distribusi buku masih tetap saja menjadi kendala di awal gerakan ini berjalan. Mulanya, Nirwan memutar ide dengan berusaha bekerja sama dengan supir-supir angkutan daerah untuk mendistribusikan buku ke titik-titik Pustaka Bergerak di desa. Namun seiring berjalannya waktu cara ini tidak lagi dapat dilakukan karena jumlah relawan semakin banyak. Luas daerah yang dijangkau pun semakin luas dan sulit medannya.

Untung bagi Nirwan. Meski tak populer bagi pemberitaan dalam negeri, aksi Nirwan dan kawan-kawan justru dilirik oleh media asing BBC. Liputan ini praktis membuat gerakan Pustaka Bergerak semakin viral. Puncaknya pada tanggal 2 Mei 2017, ia mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kesempatan bertemu orang nomor satu di Indonesia itu tak disia-siakan Nirwan. Sebab, sebagai inisiator Pustaka Bergerak Nirwan memang telah memiliki action plan agar gerakannya benar-benar dapat secara luas berkembang dan berdampak di masyarakat. Jadi, secara berani ia mengajukan permintaan kepada Presiden Jokowi untuk dapat membuka akses pengiriman buku gratis melalui PT Pos Indonesia.

Pintanya tak muluk-muluk. Nirwan hanya ingin agar satu hari saja atau pada tanggal 17 tiap bulannya PT Pos bisa menggratiskan pengiriman buku dari seluruh Indonesia.

Menariknya, permintaan ini secara cepat direspon positif oleh Presiden sehingga Nirwan dan relawannya pun semakin mendorong masyarakat dari berbagai daerah untuk bisa berbagi buku lewat gerakan Pustaka Bergerak ini.

Pelbagai kampanye mulai dilakukan menggunakan sosial media hingga kerja sama dengan tokoh-tokoh ternama seperti Najwa Sihab pun dilakukan. Dari Mei 2017 hingga Juni 2018 ini tercatat biaya pengiriman buku secara gratis yang ditanggung PT Pos di tanggal 17 tiap bulannya sudah mencapai Rp10.703.627.571 dengan berat total 186.915 kg. Jika dirata-rata PT Pos Indonesia menghabiskan dana sekitar Rp700 juta per bulannya untuk pengiriman buku gratis ke seluruh Indonesia ini.

Keterlibatan Masyarakat

Keberhasilan Pustaka Bergerak ini, diakui Nirwan tidak lepas dari keterlibatan masyarakat yang tinggi. Selama ini dermawan yang mengirimkan buku ke Pustaka Bergerak memang kebanyakan ibu-ibu. Bahkan ada juga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengirimkan bantuan berupa uang agar Pustaka Bergerak dapat mengirimkan buku ke daerah asal mereka.

Dengan bantuan ini para TKI itu berharap kelak anak-anak di desanya tidak lagi datang ke negeri orang sebagai pekerja kasar seperti apa yang mereka alami saat ini.

Disadari Nirwan, Pustaka Bergerak kini tidak hanya sekadar menyebarkan ilmu pengetahuan namun juga berkembang menjadi gerakan penguatan masyarakat. Hal ini terlihat dari keterlibatan masyarakat yang menjadi pendukung utama Pustaka Bergerak melalui penyediaan buku-buku tiap bulannya. Ditambah lagi, peran relawan yang secara sukarela mengantarkan buku-buku ke kampung-kampung di tengah kesibukannya meski tanpa digaji sepeserpun.

Melihat semangat ini, Nirwan pun semakin bersemangat menjalankan target-target Pustaka Bergerak selanjutnya. Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Beacukai, Ia pun berhasil mendorong digratiskannya biaya cukai untuk pengiriman buku dari luar Indonesia. Ia berharap tidak hanya di dalam negeri, tapi pelajar Indonesia di luar negeri pun dapat turut terlibat dalam upaya mencerdaskan bangsa ini.

Masih banyak rencana Nirwan yang belum terlaksana demi menciptakan kemudahan akses buku bagi anak-anak Indonesia hingga saat ini. Di antaranya, Nirwan juga berharap seluruh penerbit buku di Indonesia dapat memberikan potongan harga hingga 50% untuk setiap buku pada periode tertentu sebelum tanggal 17 tiap bulannya. Komitmen ini diharapkan dapat turut mendukung program pengiriman buku gratis yang ia inisiasi berkerja sama dengan PT Pos Indonesia sebelumnya.

Jika hal ini dilakukan Nirwan yakin gerakan ini akan mengubah pasar perbukuan di Indonesia. Penulis Indonesia pun juga akan semakin sejahtera karena meski dengan keuntungan penjualan yang tidak seberapa, banyaknya jumlah eksemplar yang terjual tentunya akan meningkatkan royalty mereka dari penerbit.

Pelbagai usaha yang sudah ataupun ingin dilakukan Nirwan ini dilakukannya dengan harapan agar ke depannya generasi penerus Indonesia bisa memiliki peluang yang lebih baik ke depannya. Ia percaya dengan banyak membaca maka orang akan memiliki pikiran yang lebih terbuka.

“Anak-anak di Indonesia akan semakin pintar, tidak lagi “minder” apalagi mudah “baper”. Anak-anak zaman sekarang kan seperti itu karena mereka kurang bacaan. Kurang perbandingan membuat mereka cenderung merespon sesuatu dengan emosional ketimbang rasionalitas,” ujar Nirwan prihatin.

Timur Indonesia

Empat tahun sudah Pustaka Bergerak berjalan. Selama waktu tersebut, dari temuannya di masyarakat selama ini ia pun menolak pandangan bahwa minat baca anak Indonesia rendah. Menurutnya sulitnya akses masyarakat pada buku karena mahalnya harga buku lah yang menjadi masalah. Hal ini terbukti dari selalu ramainya titik-titik Pustaka Bergerak dikerumuni warga dan anak-anak di tiap daerahnya.

Pustaka Bergerak yang diinisiasinya kini sudah menjalar dari barat hingga timur Indonesia. Wilayah timur ini memang ia nilai cukup sulit. Bukan hanya dari segi medan namun juga dari pola pikir masyarakatnya. Ia mengaku sulitnya medan memang membuat belum semua titik di timur dapat dijangkau.

Kesulitan utamanya memang transportasi. Bisa saja dijangkau dengan motor tapi itu pun butuh waktu berhari-hari. Jalan lain yang paling mudah digunakan adalah pesawat perintis yang sekali terbang itu biayanya mahal sekali, bisa sampai sekian juta. Namun karena anak-anak dan masyarakat selalu mengapresiasi buku-buku yang dikirimkan maka upaya pengiriman bukupun terus dilakukan.

Masalah lain adalah masalah pola pikir masyarakat pedalaman yang masih kuat adatnya. Di beberapa daerah pelosok Indonesia menurutnya bahkan ada masyarakat yang tidak mengharapkan anak perempuan untuk menjadi pintar. Anak perempuan masih diharapkan untuk fokus mengurus rumah saat anak laki-laki berburu ke hutan.

Nah karena kehadiran gerakan literasi ini, anak-anak perempuan di pedalaman sudah banyak yang mulai bisa membaca dan memiliki bayangan tentang bagaimana hidup lebih baik. Di Papua bahkan ada anak yang sudah terpapar oleh literasi menolak ketika dipaksa menikah dini oleh orang tuanya. Sayangnya, karena dipaksa terus menerus anak itu akhirnya bunuh diri. Kejadian ini membuat Nirwan sadar bahwa jika ingin kegiatan literasi ini bermanfaat dan memberikan perubahan bagi masyarakat maka revolusi kebudayaan juga harus berjalan.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuka pandangan masyarakat agar lebih terbuka dan mau memberikan kesempatan pada semua anak tanpa memandang jenis kelamin. Hal ini menurutnya dapat dilakukan jika relawan semakin banyak di tiap daerah. Keberadaan relawan di tiap daerah ini diharapkan dapat menularkan pengetahuan kepada masyarakat setempat.

Menurutnya, untuk perkembangan bangsa ke depannya penting sekali membantu anak-anak untuk mengejar pengetahuan. Masyarakat menurutnya juga perlu didorong untuk lebih bersemangat melihat dunia luar sehingga tidak asyik dengan dirinya sendiri.

Curi Buku

Selain karena perhatiannya akan kurangnya akses baca anak-anak Indonesia saat ini, sebenarnya bagi Nirwan apa yang dilakukannya saat ini adalah upaya untuk membayar hutang. Ia mengaku karena kehausannya akan buku dulu, sering kali dirinya harus mencuri buku di perpustakaan maupun toko buku di Yogyakarta, tempat ia dulu menghabiskan masa kuliahnya.

Ia mengaku sebenarnya dulu hidupnya tidak dipersiapkan dengan baik. Terlebih di masa mudanya 90-an dulu, kehidupan bohemian dianggap sebagai suatu tren yang keren sehingga tidak jarang Nirwan muda pun melakukan banyak kenakalan.

Namun, sebagai anak dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi Nirwan pun harus tetap memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Yogyakarta. Orang tua Nirwan memang mengharuskan anaknya untuk bisa hidup dengan mandiri.

Karena keterbatasan itulah, Nirwan justru mengembangkan bakat terpendamnya yaitu menulis meski dia sebenarnya seorang sarjana lulusan Teknik Nuklir.

Dulu, ia mulai terobsesi dengan nuklir karena ketika duduk di bangku SMA bencana chernobyl marak diberitakan saat itu. Ironisnya, begitu lulus dan mendapat gelar sebagai sarjana teknik nuklir tiba-tiba rencana pemerintah untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) terhenti.

Melihat tidak ada masa depan di nuklir, maka ia pun semakin tercemplung di dunia jurnalistik. Namun, tidak sampai dua tahun ia pun mencari peluang lain dengan membuka usaha sendiri.

Mulai dari usaha percetakan, penerbitan, hingga usaha pencucian kapal sempat dijajakinya. Usaha pencucian kapal sendiri turut digelutinya karena ada kesempatan dan jaringan yang saat itu terbuka. Berbagai pekerjaan digelutinya. Semuanya itu dilakukan karena tawaran dari kerabatnya. Ia mengaku, dirinya pun tidak pernah melamar pekerjaan karena sadar bahwa tidak bayak kualifikasi yang cocok dengan ijazah nuklir yang dimilikinya.

Meski demikian jika disuruh memilih menjadi teknisi nuklir atau hidupnya yang sekarang, ia akan tetap memilih hidup yang seperti sekarang. Jika beruntung menjadi teknisi PLTN misalnya, hidupnya mungkin akan aman (dari segi penghasilan) tapi tidak berwarna seperti sekarang. Kalau sekarang hidupnya mungkin tidak aman. Tapi ada banyak tempat yang bisa ia jelajahi sehingga ia pun bisa punya banyak pengalaman menarik yang dapat dibagikan ke orang lain.

Ia pun tidak pernah memperhitungkan biaya yang ia keluarkan dari kantong pribadinya sendiri. Layaknya hobi, ia menganggap pengeluaran itu tidak sebanding dengan kepuasan batin yang didapatkannya.

“Kegiatan ini sangat menyenangkan bagi saya. Sangat gembira rasanya mendengar kabar anak-anak desa sekarang sudah bisa dengan berani membaca puisi-puisi karangan Chairil Anwar,” katanya.
***

https://www.radarbangsa.com/opini/13545/nirwan-ahmad-arsuka-si-koboi-penebar-buku-gratis

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria