mercredi 1 juillet 2020

Wanita Bermata Laut

Gusti Eka *

“Kalian berdua kan sudah ku ingatkan. Hati-hati dengan wanita penggoreng pisang di warung kopi ujung jalan gajahmada. Dia bisa melempar kalian ke lautan seperti dia melempar pisang ke minyak mendidih. Menggulung-gulung kalian bagai ombak dengan penjepit di tangannya. Memotong-motong kalian menjadi delapan bagian dengan pisau dapurnya. Lalu menyeret kalian jauh ke lautan dalam tatapan dan menenggelamkan kalian dalam bentuk senyuman. Kalian berada lima depa dari maut,”  kata seorang lelaki tua menasehati dua orang yang baru datang dari Pulau Jawa.
***

Dia tak pernah meninggalkan tempat itu. Sejak sore hingga awal malam dia selalu berdiri di depan wajan besar dan mengenakan celemek lusuh menghadap ke jalan gajahmada. Wajahnya dingin, sangat kontradiktif dengan minyak panas mendidih di dalam wajan. Dia melempar tiga belas pisang yang telah dilumuri dengan adonan pisang goreng ke dalam wajan. 

Dia selalu memilih angka tiga belas setiap kali menggoreng, meski wajan itu masih muat untuk beberapa potong pisang lagi. Tangannya yang dialas dengan plastik putih dengan cekatan mengambil pisang yang sudah diiris menjadi empat bagian dalam adonan lalu memasukannya ke dalam minyak panas. Ketika pisang sudah menguning di bagian bawah dia sigap membalikkan dengan penjepit stanlessnya.

Jika pisang goreng itu menguning, merata di seluruh bagian, dia akan mengangkat satu persatu dan menyusunnya pada kawat-kawat yang melingkar ditepi wajan sampai minyaknya turun. Biasanya tak sempat pisang itu disusun ke sebuah plastik beralas koran bekas, sebab para pelanggan lebih menyukai pisang goreng srikaya panas.

“Malia, pisang goreng srikaya,”  begitu para pelanggan warung kopi memanggilnya jika hendak memesan pisang goreng srikaya. Inilah puncaknya, dia akan menggeser badannya ke meja almunium dan memainkan pisau dapurnya, lalu dengan piawai memotong-motong pisang goreng crispy itu menjadi delapan bagian. Baru kemudian dia mengoleskan dengan srikaya dalam botol ke atas permukaan pisang.

Dia hanya mengangguk tapi tak pernah menoleh dan beringsut sedikitpun jika dipanggil, ada beberapa perempuan lain yang akan menghampirinya untuk mengantarkan pisang goreng srikaya ke meja para pelanggan.
***

Secangkir kopi tiam akan membuat asam lambung jika perut kosong. Maka, pisang goreng srikaya adalah pasangan yang sempurna bagi kopi tiam yang agak pahit dan asam. Selain karena dapat mengisi perut keroncongan juga menjadi pelengkap rasa di lidah pelanggan.

Banyak pelanggan senang datang pada sore hingga malam. Selain karena ingin menikmati kopi dan menyantap pisang goreng srikaya, juga menantikan wanita berkerudung dan bermata laut itu. Begitulah para pelanggan, mereka gemar datang ke warung kopi yang penyajinya atau yang penjaganya adalah perempuan. Terlebih kalau perempuan itu cantik, berdasarkan standar cantik laki-laki : tinggi, wajah bersih, hidung mancung apalagi kalau bagian dada dan pantatnya menonjol.

Dia memiliki tatapan mata yang dalam seperti lensa mata. Di dalam bola matanya, terdapat air yang menggenang bagian mata hitamnya. Dia tidak pernah peduli dengan lensa mata, apalagi gincu maupun bedak. Dia bukan wanita yang mendambakan kecantikan. “Tak berguna berdandan di depan kompor dan wajan,” katanya. “Kecantikan bukanlah kunci dalam memasak”.

Dia menggoreng pisang goreng srikaya di pojok kanan warung kopi. Tempatnya disediakan khusus oleh pemilik warung kopi. Banyak pelanggan yang nakal coba menggodanya, jangankan meladeni, menggubris sedikitpun dia tak pernah. Orang-orang kadang heran dengan Malia, tapi dia tak pernah ambil pusing dengan semua itu. Malia memang punya kehidupan sendiri.

“Malia, pisang goreng srikaya buatan mu ini sangat gurih, apalagi dioleskan dengan selai srikaya. Ini jadi sangat lezat, rasa pisang dan srikayanya menyatu dalam lidah. Kau memang pintar memasak. Kau sudah cocok menjadi seorang istri. Apakah kau pernah jatuh cinta?” ujar seorang pelanggan suatu kali.

Dia tidak menjawab. Tapi air mukanya berubah.
***

Cinta. Perihal cinta membuatnya bungkam. Selain bungkam, cinta telah membuatnya tenggelam sunyi hingga usianya menginjak 35 tahun. Pelanggan sering bertanya kepada rekan kerja Malia.

“Apakah Malia pernah jatuh cinta?”
“Soal cinta, Malia tidak pernah bercerita. Dia tidak pernah tertarik setiap kali berbicara tentang cinta,” kata rekan kerjanya.
“Mungkin Malia pernah patah hati karena cinta?”
“Tidak tahu, tapi Malia akan marah jika ada rekan kerja yang lain menangis karena patah hati.” cetusnya.

“Jika kau patah hati ditinggalkan kekasih, seharusnya kau tidak menangis. Harusnya kau tertawa, kau wanita, kau selalu dilirik pelanggan, kau bertemu pelanggan lelaki setiap hari. Kau akan dilihat dari ujung kaki sampai ujung kepala, semua melihat mu. Kau bagai wanita telanjang mengenakan mahkota di kepala berjalan dengan pantat bergoyang, dari sekian banyak pelanggan kau bisa dengan mudah mencari pengganti kekasih mu,” begitu kata Malia kepada kawan kami saat itu.

“Apa kau tahu darimana Malia berasal?”
“Dia tak banyak bicara apalagi bercerita, tapi kata seorang kawan yang penasaran dari mana Malia berasal, pernah secara diam-diam membongkar tas kerja-nya dan melihat KTP-nya. Dia lahir di Kampung Jaya.”
“Malia, itu bukan nama sebenarnya, nama di KTP nya adalah Jamila”
***

Kedua lelaki itu memesan kopi dan pisang goreng srikaya. Keduanya baru saja menginjakkan kakinya ke Pontianak setelah puluhan tahun. Seseorang dari mereka mencoba menggoda malia.

“Sayang. Pisang goreng dua porsi untuk abang ya,” katanya.

“Husss, Wanita itu tampak pendiam. Kau pasti tahu bagaimana marahnya wanita pendiam. Di dalam kepala orang pendiam menyimpan banyak hal. Dia seperti memiliki kehidupan lain yang tak pernah kita tahu. Tapi jika kita mengusik dunianya bersiap-siaplah, dia akan murka,”

Malia, menoleh ke arah keduanya yang saat itu duduk di bangku depan tak jauh darinya. Itulah pertama keduanya menyaksikan matanya seperti yang orang-orang cerita tentang dia.

“hahaha.”
“Brengsek, kau malah tertawa,”
“Adek, sayang. Pisangnya jangan lama ya, Jangan lupa kasi senyum ya!”

Malia mengeluarkan pisau. Mengangkat dua porsi pisang goreng ke meja almunium, dia lalu memotong pisang-pisang itu dengan ganas. Lalu mengoleskannya dengan selai srikaya. Dia menyajikannya ke dalam piring kecil, ketika seorang perempuan mengampirinya. Malia menepis.

Dia sendiri yang mengantar pisang goreng srikaya itu. Semua mata tertuju kepada kedua lelaki itu, ketika wanita bermata laut itu menghampiri meja mereka. Dan satu di antara mereka masih tertawa. Dia telah membuat Malia murka. Dan yang satunya tak bergerak  nyaris tanpa suara.

Malia menyodorkan satu piring pisang goreng buatannya kepada mereka. Mungkin ini terasa spesial karena disajikan oleh Wanita bermata laut yang tak pernah dia lakukan selama ini.

“Makanlah selagi panas,” katanya masih berdiri dan menatap keduanya.
“Duduklah sayang, kita makan sama-sama pisang goreng srikaya buatan mu,” dia tak henti menggoda.

Keduanya lalu mengambil satu tusuk potongan pisang goreng srikaya yang masih panas. Gurih,  ini pisang goreng srikaya yang lezat. Ada crispy dan wangi pisang, serta rasa selai srikayanya membuat lidah seorang dari mereka mengingat sesuatu.

“Katakan saja, ini enak apa nikmat sayang?” kata Malia menatap lelaki yang mematung duduk di depannya dengan senyum sinis.
***

Lelaki itu kemudian mengingat pisang goreng yang wangi dan gurih 18 tahun yang lalu. Ada dua hal yang tak gampang dilupakan: luka dan rasa. Lidah adalah pengingat yang baik.

Waktu itu, di atas kapal yang bersandar di dermaga di tepi laut cina selatan. Lelaki itu hanya bermaksud membawa kekasihnya keluar untuk jalan-jalan. Saat itu, kawannya tiba-tiba mengajak mereka untuk bergabung ke kapal yang bersandar di dermaga. Dia bersama 11 kawan lain akan membakar ikan. Sepasang kekasih itu kemudian ikut bergabung.

Mula-mula ketika ikan-ikan itu sudah di bakar, kekasihnya disuruh oleh juragan kapal untuk menggoreng pisang di dapur kapal, sebagai pelengkap. Ketika dia menggoreng pisang. Mereka mengeluarkan satu peti bir cap bintang. Acara bakar ikan itu berubah menjadi acara mabuk-mabukan. Lelaki itu kemudian mabuk dan tak sadarkan diri, namun dia masih sempat mencicip pisang goreng buatan kekasihnya yang gurih, dan wangi itu.

Ketika lelaki itu bangun dari mabuknya. Dia sudah melihat kekasihnya tanpa busana dipeluk oleh kawannya. Kawan-kawannya bergantian, mengubah posisi, mengubah gaya, melampiaskan nafsu birahinya dan kemudian menawarkan kepada lelaki yang setengah sadar itu.

Dia kemudian menarik lengan kekasihnya, melepaskan seluruh pakaiannya, mengatur posisi, dia memilih berada di atas dan mulai memasuki tubuh kekasihnya. Dalam percintaan yang di saksikan 12 orang lelaki di atas kapal itu. Dia melihat kekasihnya sudah tak mampu bersuara, dan seluruh air mata yang tersisa berada dalam matanya, ketika lelaki itu dalam puncak kenikmatan, dia berkata : Enak apa nikmat, sayang?
***

________________
*) Gusti Eka lahir di Sekadau, 27 April 1993. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2018. Semasa menjadi mahasiswa, kerap terlibat dalam gerakan literasi kampus, jalanan, dan desa. Saat ini mengelola warung kopi sebagai tempat berkisah:  Lawang Kopi, di Kab. Sekadau, Kalimantan Barat.
Menulis cerita pendek, puisi, esai, dan feature. Kumpulan cerpennya “Memilih Jalan Sunyi” (Enggang, 2019), merupakan karya pertamanya. Cerpennya pernah terbit bersama 10 penulis Kalbar lainnya pada Antologi Cerita Pendek: Orang-Orang Untuk Masa Depan (Pustaka Rumah Aloy; 2019), dan puisinya terbit bersama 44 penulis Kalbar lainnya, dalam Antologi Puisi Penulis Kalimantan Barat: Bayang-Bayang Tembawang (Pijar Publishing; 2015). Pada Januari 2020, cerpennya terbit bersama 14 penulis Kalbar lainnya di Antologi Cerita Pendek: Rendezvous Di Barat Borneo (Pustaka Rumah Aloy; 2020).
http://sastra-indonesia.com/2020/07/wanita-bermata-laut/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria