Gusti Eka *
“Kalian berdua kan sudah ku ingatkan. Hati-hati dengan wanita penggoreng pisang di warung kopi ujung jalan gajahmada. Dia bisa melempar kalian ke lautan seperti dia melempar pisang ke minyak mendidih. Menggulung-gulung kalian bagai ombak dengan penjepit di tangannya. Memotong-motong kalian menjadi delapan bagian dengan pisau dapurnya. Lalu menyeret kalian jauh ke lautan dalam tatapan dan menenggelamkan kalian dalam bentuk senyuman. Kalian berada lima depa dari maut,” kata seorang lelaki tua menasehati dua orang yang baru datang dari Pulau Jawa.
***
Dia tak pernah meninggalkan tempat itu. Sejak sore hingga awal malam dia selalu berdiri di depan wajan besar dan mengenakan celemek lusuh menghadap ke jalan gajahmada. Wajahnya dingin, sangat kontradiktif dengan minyak panas mendidih di dalam wajan. Dia melempar tiga belas pisang yang telah dilumuri dengan adonan pisang goreng ke dalam wajan.
Dia selalu memilih angka tiga belas setiap kali menggoreng, meski wajan itu masih muat untuk beberapa potong pisang lagi. Tangannya yang dialas dengan plastik putih dengan cekatan mengambil pisang yang sudah diiris menjadi empat bagian dalam adonan lalu memasukannya ke dalam minyak panas. Ketika pisang sudah menguning di bagian bawah dia sigap membalikkan dengan penjepit stanlessnya.
Jika pisang goreng itu menguning, merata di seluruh bagian, dia akan mengangkat satu persatu dan menyusunnya pada kawat-kawat yang melingkar ditepi wajan sampai minyaknya turun. Biasanya tak sempat pisang itu disusun ke sebuah plastik beralas koran bekas, sebab para pelanggan lebih menyukai pisang goreng srikaya panas.
“Malia, pisang goreng srikaya,” begitu para pelanggan warung kopi memanggilnya jika hendak memesan pisang goreng srikaya. Inilah puncaknya, dia akan menggeser badannya ke meja almunium dan memainkan pisau dapurnya, lalu dengan piawai memotong-motong pisang goreng crispy itu menjadi delapan bagian. Baru kemudian dia mengoleskan dengan srikaya dalam botol ke atas permukaan pisang.
Dia hanya mengangguk tapi tak pernah menoleh dan beringsut sedikitpun jika dipanggil, ada beberapa perempuan lain yang akan menghampirinya untuk mengantarkan pisang goreng srikaya ke meja para pelanggan.
***
Secangkir kopi tiam akan membuat asam lambung jika perut kosong. Maka, pisang goreng srikaya adalah pasangan yang sempurna bagi kopi tiam yang agak pahit dan asam. Selain karena dapat mengisi perut keroncongan juga menjadi pelengkap rasa di lidah pelanggan.
Banyak pelanggan senang datang pada sore hingga malam. Selain karena ingin menikmati kopi dan menyantap pisang goreng srikaya, juga menantikan wanita berkerudung dan bermata laut itu. Begitulah para pelanggan, mereka gemar datang ke warung kopi yang penyajinya atau yang penjaganya adalah perempuan. Terlebih kalau perempuan itu cantik, berdasarkan standar cantik laki-laki : tinggi, wajah bersih, hidung mancung apalagi kalau bagian dada dan pantatnya menonjol.
Dia memiliki tatapan mata yang dalam seperti lensa mata. Di dalam bola matanya, terdapat air yang menggenang bagian mata hitamnya. Dia tidak pernah peduli dengan lensa mata, apalagi gincu maupun bedak. Dia bukan wanita yang mendambakan kecantikan. “Tak berguna berdandan di depan kompor dan wajan,” katanya. “Kecantikan bukanlah kunci dalam memasak”.
Dia menggoreng pisang goreng srikaya di pojok kanan warung kopi. Tempatnya disediakan khusus oleh pemilik warung kopi. Banyak pelanggan yang nakal coba menggodanya, jangankan meladeni, menggubris sedikitpun dia tak pernah. Orang-orang kadang heran dengan Malia, tapi dia tak pernah ambil pusing dengan semua itu. Malia memang punya kehidupan sendiri.
“Malia, pisang goreng srikaya buatan mu ini sangat gurih, apalagi dioleskan dengan selai srikaya. Ini jadi sangat lezat, rasa pisang dan srikayanya menyatu dalam lidah. Kau memang pintar memasak. Kau sudah cocok menjadi seorang istri. Apakah kau pernah jatuh cinta?” ujar seorang pelanggan suatu kali.
Dia tidak menjawab. Tapi air mukanya berubah.
***
Cinta. Perihal cinta membuatnya bungkam. Selain bungkam, cinta telah membuatnya tenggelam sunyi hingga usianya menginjak 35 tahun. Pelanggan sering bertanya kepada rekan kerja Malia.
“Apakah Malia pernah jatuh cinta?”
“Soal cinta, Malia tidak pernah bercerita. Dia tidak pernah tertarik setiap kali berbicara tentang cinta,” kata rekan kerjanya.
“Mungkin Malia pernah patah hati karena cinta?”
“Tidak tahu, tapi Malia akan marah jika ada rekan kerja yang lain menangis karena patah hati.” cetusnya.
“Jika kau patah hati ditinggalkan kekasih, seharusnya kau tidak menangis. Harusnya kau tertawa, kau wanita, kau selalu dilirik pelanggan, kau bertemu pelanggan lelaki setiap hari. Kau akan dilihat dari ujung kaki sampai ujung kepala, semua melihat mu. Kau bagai wanita telanjang mengenakan mahkota di kepala berjalan dengan pantat bergoyang, dari sekian banyak pelanggan kau bisa dengan mudah mencari pengganti kekasih mu,” begitu kata Malia kepada kawan kami saat itu.
“Apa kau tahu darimana Malia berasal?”
“Dia tak banyak bicara apalagi bercerita, tapi kata seorang kawan yang penasaran dari mana Malia berasal, pernah secara diam-diam membongkar tas kerja-nya dan melihat KTP-nya. Dia lahir di Kampung Jaya.”
“Malia, itu bukan nama sebenarnya, nama di KTP nya adalah Jamila”
***
Kedua lelaki itu memesan kopi dan pisang goreng srikaya. Keduanya baru saja menginjakkan kakinya ke Pontianak setelah puluhan tahun. Seseorang dari mereka mencoba menggoda malia.
“Sayang. Pisang goreng dua porsi untuk abang ya,” katanya.
“Husss, Wanita itu tampak pendiam. Kau pasti tahu bagaimana marahnya wanita pendiam. Di dalam kepala orang pendiam menyimpan banyak hal. Dia seperti memiliki kehidupan lain yang tak pernah kita tahu. Tapi jika kita mengusik dunianya bersiap-siaplah, dia akan murka,”
Malia, menoleh ke arah keduanya yang saat itu duduk di bangku depan tak jauh darinya. Itulah pertama keduanya menyaksikan matanya seperti yang orang-orang cerita tentang dia.
“hahaha.”
“Brengsek, kau malah tertawa,”
“Adek, sayang. Pisangnya jangan lama ya, Jangan lupa kasi senyum ya!”
Malia mengeluarkan pisau. Mengangkat dua porsi pisang goreng ke meja almunium, dia lalu memotong pisang-pisang itu dengan ganas. Lalu mengoleskannya dengan selai srikaya. Dia menyajikannya ke dalam piring kecil, ketika seorang perempuan mengampirinya. Malia menepis.
Dia sendiri yang mengantar pisang goreng srikaya itu. Semua mata tertuju kepada kedua lelaki itu, ketika wanita bermata laut itu menghampiri meja mereka. Dan satu di antara mereka masih tertawa. Dia telah membuat Malia murka. Dan yang satunya tak bergerak nyaris tanpa suara.
Malia menyodorkan satu piring pisang goreng buatannya kepada mereka. Mungkin ini terasa spesial karena disajikan oleh Wanita bermata laut yang tak pernah dia lakukan selama ini.
“Makanlah selagi panas,” katanya masih berdiri dan menatap keduanya.
“Duduklah sayang, kita makan sama-sama pisang goreng srikaya buatan mu,” dia tak henti menggoda.
Keduanya lalu mengambil satu tusuk potongan pisang goreng srikaya yang masih panas. Gurih, ini pisang goreng srikaya yang lezat. Ada crispy dan wangi pisang, serta rasa selai srikayanya membuat lidah seorang dari mereka mengingat sesuatu.
“Katakan saja, ini enak apa nikmat sayang?” kata Malia menatap lelaki yang mematung duduk di depannya dengan senyum sinis.
***
Lelaki itu kemudian mengingat pisang goreng yang wangi dan gurih 18 tahun yang lalu. Ada dua hal yang tak gampang dilupakan: luka dan rasa. Lidah adalah pengingat yang baik.
Waktu itu, di atas kapal yang bersandar di dermaga di tepi laut cina selatan. Lelaki itu hanya bermaksud membawa kekasihnya keluar untuk jalan-jalan. Saat itu, kawannya tiba-tiba mengajak mereka untuk bergabung ke kapal yang bersandar di dermaga. Dia bersama 11 kawan lain akan membakar ikan. Sepasang kekasih itu kemudian ikut bergabung.
Mula-mula ketika ikan-ikan itu sudah di bakar, kekasihnya disuruh oleh juragan kapal untuk menggoreng pisang di dapur kapal, sebagai pelengkap. Ketika dia menggoreng pisang. Mereka mengeluarkan satu peti bir cap bintang. Acara bakar ikan itu berubah menjadi acara mabuk-mabukan. Lelaki itu kemudian mabuk dan tak sadarkan diri, namun dia masih sempat mencicip pisang goreng buatan kekasihnya yang gurih, dan wangi itu.
Ketika lelaki itu bangun dari mabuknya. Dia sudah melihat kekasihnya tanpa busana dipeluk oleh kawannya. Kawan-kawannya bergantian, mengubah posisi, mengubah gaya, melampiaskan nafsu birahinya dan kemudian menawarkan kepada lelaki yang setengah sadar itu.
Dia kemudian menarik lengan kekasihnya, melepaskan seluruh pakaiannya, mengatur posisi, dia memilih berada di atas dan mulai memasuki tubuh kekasihnya. Dalam percintaan yang di saksikan 12 orang lelaki di atas kapal itu. Dia melihat kekasihnya sudah tak mampu bersuara, dan seluruh air mata yang tersisa berada dalam matanya, ketika lelaki itu dalam puncak kenikmatan, dia berkata : Enak apa nikmat, sayang?
***
________________
*) Gusti Eka lahir di Sekadau, 27 April 1993. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2018. Semasa menjadi mahasiswa, kerap terlibat dalam gerakan literasi kampus, jalanan, dan desa. Saat ini mengelola warung kopi sebagai tempat berkisah: Lawang Kopi, di Kab. Sekadau, Kalimantan Barat.
Menulis cerita pendek, puisi, esai, dan feature. Kumpulan cerpennya “Memilih Jalan Sunyi” (Enggang, 2019), merupakan karya pertamanya. Cerpennya pernah terbit bersama 10 penulis Kalbar lainnya pada Antologi Cerita Pendek: Orang-Orang Untuk Masa Depan (Pustaka Rumah Aloy; 2019), dan puisinya terbit bersama 44 penulis Kalbar lainnya, dalam Antologi Puisi Penulis Kalimantan Barat: Bayang-Bayang Tembawang (Pijar Publishing; 2015). Pada Januari 2020, cerpennya terbit bersama 14 penulis Kalbar lainnya di Antologi Cerita Pendek: Rendezvous Di Barat Borneo (Pustaka Rumah Aloy; 2020).
http://sastra-indonesia.com/2020/07/wanita-bermata-laut/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire