dimanche 9 août 2020

MEMBACA TEATER DI KOTA GRESIK

Rakai Lukman *

Sabtu (28/12/19) di penghujung akhir tahun, saya menunggu kedatangan Meks Soetejo, ketua KotaSeger periode saat ini. Pukul 16.05 WIB, dia sampai di Rumah Kalirejo, Dukun, Gresik. Kami berencana menghadiri acara Sinoman yang diselenggarakan teman-teman Gresiknesia. Diskusi kali ini bertemakan “Mengintip Teater Gresik: Kini dan Nanti.” Kami pun menempuh perjalanan menuju lokasi, sampai Bungah mampir di warkop Yasak, warung kopi legendaris, tepatnya di utara jalan raya atau timurnya MAN I Bungah. Di sini, bertemu Bapak Mudhofar Ustman, beliau bercerita tentang Dusun Kalimati, Dukun, salah satu sesepuhnya Ki Surogono, dan berkisah mengenai Desa Raci (Dusun Dlanyar), yang dulu sempat jadi pusat keramaian di era transportasi air, yang sekarang malah menjadi dusun nun jauh terpencil dari peradapan.

Menjelang magrib, kami masih di warkop, orang-orang sudah berduyun-duyun menuju musholah dan masjid. Kami menunggu kedatangan saudara Fatihin IC, Mantan Ketua KotaSeger, yang berencana ikut serta. Karena sedikit telat, kami tinggal meluncur, dia menyusul langsung ke lokasi. Kami lanjut berjalan, dan sesampainya di POM timurnya pertigaan Betoyo, saya magriban. Lima belas menit kemudian melanjutkan perjalanan, syukurlah tidak terlalu macet, yang biasanya barisan Dump Truk mengisi jalan dari Panceng sampai Manyar. Pukul 18.48 WIB, sampai di Gresiknesia, Jl. Beton No. 07 Suci, Pongangan, Manyar, Gresik. Kedatangan kami disambut panitia dengan ramah. Kami pun masuk ke ruangan, tampak adanya sebuah perpustakaan, ini tempat kesukaan saya, dan teras menjadi lokasi diskusinya.

Dari pukul 18.48 WIB sampai 20.30 WIB, kami menunggu dimulainya acara. Layaknya pencinta kolor kewajiban molor. Untungnya ada Beni Nasrullah sang pencetus Ludruk Korea, kekonyolan bersamanya menjadi keasyikan tersendiri. Juga keramahan Irfan, dan kedatangan teman spesialis Mas Arif, jadi tidak terasa dalam menunggu. Saya dikawal dua bodyguard dari ‘negeri aladin’ Fatihin IC, dan Si Gimbal Gaul merek Quick. Datang juga Si Duda jagoan Neon Deni Jazuli, pimpinan Sanggar Pasir dan Pengampu Rumah Budaya Pantura (RBT).

Acara pun dimulai tepat pukul 20.30 WIB. Kami bertiga dipanggil moderator menuju ke ruang diskusi, Abizar Purnama, dia kawan lama. Bertiga itu bukan Si IC dan Si Quick, tapi Saya, Mas Thohir, dan Mas Ardi. Mulanya dikenalkan oleh Mas Thohir dari Teater Cager, Mas Ardi Teater Intra, keduanya dari lingkungan kota. Saya mewakili Sanggar Pasir, yang letaknya di pojok utara Gresik, Desa Banyuurip, UjungPangkah. Ya tentunya yang tua dulu memulai perbincangan, Mas Thohir-lah yang pantas untuk itu. Beliau ketua Teater Cager mengawali kisah perjalanan sebuah kelompok teater, butuh banyak energi yang dikeluarkan, kalau eksis tergantung pelakunya. Ada yang keberadaanya sampai beberapa periode, ada juga yang bubar barisan grak. Dulu diskusi seperti ini sering dilakukan, banyak sastrawan, teaterawan, budayawan, berdialog sehingga kreativitas karya dapat dipertanggungjawabkan, termasuk Pak Lenon Machali, Mardi Luhung, Ucok S., dan sebagainya.

Pembincang kedua Mas Ardi, nama lengkapnya Wahyu Lazuardi Putera, Tokoh Teaterawan Gresik, Pak Lenon Machali (Alm) Teater Cager. Beliau mulai berkisah tentang teater Intra yang anggotanya mulanya dari alumni SMA Muhammadiyah, lalu sanggar ini membuka ruang untuk menerima anggota dari luar. Keduanya dari kota, dari embrio yang sama teater Cager. Giliran saya berbincang soal teater di Gresik, Wah, rasanya adem-panas. Saya coba dari ranah historis, wacana teater, dan dikotomi Kota-Desa. Dari judulnya kurang sesuai, kata Mengintip biasanya prilaku tanpa seizin obyek yang dibidik. Masihlah banyak diksi lain misalnya kaleidoskop, meneroka, jelajah, memandang. Saya si baru membaca teater Gresik.

Gresik sebagai kota industri dan santri. Penunjukan itu rasanya kurang adil. Di Gresik juga ada sawah, ladang, tambak, laut, kerajinan kopyah, dlsb. Bahkan Gresik pernah menjadi Bandar atau pelabuhan utama, yang sempat jaya di masanya. Gresik juga dilewati Sungai (Bengawan) Solo, dan Kalimireng, pula punya pulau Bawean serta Mengare, ada juga penyebutan Gresik selatan. Wilayahnya luas, kekayaan alamnya melimpah, termasuk jajaran bukit kapur di wilayah utara. Lalu dimana letak seorang pelaku teater menyikapi perihal ini. Barangkali banyak ketimpangan terjadi, dan itu di depan mata; sajiannya setiap hari. Juga kesenian yang tumbuh subur dari tradisi serta teater modern pula ada.

Lantas apa yang menggelisahkan kita? Tentang keberadaan teater di Gresik. Dikotomi desa-kota, ataukah persaingan eksistensial. Yang mengesampingkan idealitas berteater? Adapun era hari ini, kota sudah meledakkan tubuhnya desa serupa kota, kota merindukan desa, percepatan ruang dan waktu, melipat ruangan, dan setiap orang berhak menunjukkan siapa dirinya, komunitasnya, jasa-jasanya, karyanya, tetapi lekas terkenal lekas pula diabaikan. Nah, di mana letak teater di Gresik? On going proyek, atau on going proses. Ataukah kita ahistoris. Dari sub judulnya sudah ada kode ahistoris kini dan nanti. Padahal W.S. Rendra sempat menuliskan... “Kemarin, esok adalah hari ini...” Jika diikuti perbincangan yang ada, kedua pembincang cenderung berbicara rumahnya sendiri, bukan Gresik secara menyeluruh. Ini yang membuat eksklusifitas hadir pada diskusi. Setidaknya kita hari ini harus open minded, membuka cakrawala pemikiran-kebudayaan lebih luas dan luwes. Bahkan tidak menutup kemungkinan Cager dan KotaSeger membuat kerjasama dalam satu kegiatan berkesenian.

Pada sudut ketokohan, yang menjadi ukuran perkembangan teater di Gresik, ada dua tokoh di lingkungan kota, Pak Lenon Machali (Teater Cager), lalu di sebagian kota dan desa Cak Roin KotaSeger. Bisa dilihat hari ini, adanya Jalil, Thohir, Beni N, Siwur, Abizar, Lazuardi, Irfan, semua bergerak hampir dalam ranah kebudayaan dan kesenian, yang rata-rata dalam asuhan Lenon, bahkan masuk menjadi beberapa pembina teater sekolah, dalam asuhan dan binaan mereka teater sekolah di lingkungan kota, ada diakui keberadaanya, bahkan kerap juara. Cak Roin mengasuh beberapa generasi, diantaranya Zuhdi Amin, pemilik Cafe Sastra dan membina beberapa teater sekolah di Gresik sampai Lamongan pantura, bahkan kerap anak didiknya juara, baik di tingkat daerah maupun propinsi. Juga Dicky P., yang menggawangi Gresik Teater sudah memproduksi berkali-kali pertunjukan. Dan yang kini sedang viral menikmati keasyikan dirinya yakni Sanggar Pasir, ini kalau diceritakan bisa panjang kali lebar.

Bagaimana teater memiliki daya tarik bagi generasi milenial? Agar teater menyenangkan dan memberi keasyikan dalam menyuguhkan pertunjukannya di ruang publik. Melepaskan batas-batas ruang eksklusivitas berteater. Mengembalikan teater sebagai wahana pengekspresian diri, wilayah berapresiasi tanpa memandang dia itu sapa. Membuat teater riang sekaligus ringan serta diterima masyarakat, adanya metode kedisiplinan dan komitmen membuka ruang diskusi publik. Adapun teater pelajar seharusnya dijembatani dan diekpresikan oleh para pelajar itu sendiri, serta butuh binaan dari pembina yang open minded, sehingga melahirkan ide-ide kreatif kolektif yang punya rasa kepemilikan terhadap garapan pertunjukannya. Urgensi teater hari ini membutuhkan obyektifitas keteateran, yang memiliki nilai, profesionalias, intelektualitas, juga spiritualitas, komentar Sholihul Huda.

Disamping itu, Gresik membutuhkan banyak kegiatan kebudayaan. Seperti latihan bersama, di KotaSeger ada Latihan Alam Bersama (Labs), Kemah Budaya (Lagistik). Saya yakin di Cager juga ada. Juga parade Teater, dan pernah KotaSeger membuat Semesta Seni Pesisir tahun 2011 di Bungah, saat itu ikut hadir Cak Nurel Javissyarqi, Pak Lenon, Pak Ucok, Cak Roin, Ali Soejono, Mbah Tohir (Srimulat), dan Zuhdi Amin, bahkan menghadirkan Teater Keliling dari Jakarta. Dua tahun lalu di Pon-Pes Watu Bodo, Program pendampingan DKJT 2018, pentas di Cak Durasim 2019, dan keliling di wilayah Gresik dalam satu tema Risalah Tujuh Bukit, yang disutradarai S. Huda, Produser Deni J, Penasehat Cak Roin, dikawal Lek Griyadi, Mas Galuh, Mahendra, Pak Dody. Dan di Kemantrean Lamongan dari tanggal 22-25 Des 2019, Rumah Budaya Pantura ditemani KotaSeger menghadirkan kegiatan multi dimensional; teater, batik, tari, dan orasi budaya, yang digawangi Deni Jazuli. Acara ini melepas sekat batas-batas gapura perbatasan Gresik-Lamongan. Adapun di kota, kegiatan teman-teman Cager pada Tadarus Budaya, Festival Sastra Gresiknesia, juga kawan-kawan Gasruk yang berkali-kali mengadakan GresArt, dan pameran seni rupa. Ialah sungguh SDM dan SDA Gresik sangat kaya-raya.

Diskusi kali ini dipungkasi dengan kata-kata yang aduhai dari si nelayan doyan berkesenian, ketua Sanggar Pasir, dia punya harapan menjadikan sanggar serupa iklim di Yogyakarta pada masanya, menjadikan teater wahaya penuh kegembiraaan, membangun, mengolah kantong-kantong budaya, menciptakan panggung teater bersama. Inilah peran teater sebagai penjaga keseimbangan. Mampu memanfaatkan media online sebagai sarana komunikasi, adapun si operator paham konten sajian, dengan menyajikan sesuai kebutuhan generasi milenial dan kalayak umum. Para pelaku teater lama berkolaborasi dengan generasi milenial, sehingga betah asyik-masyuk berteater. Sebab teater itu multi dimensional, tidak terbatas ruang-waktu, selalu hadir mengalir dalam perayaannya. Sedangkan teater mandiri (independen) harus memiliki ciri khasnya, bertahan dengan ideologi teknik berteater, dan olah tubuh sendiri. Adapun tahapan olah tubuh diriset, sehingga menarik juga mampu bertahan.

Diskusi ini dipungkasi Cak Thohir, teater boleh idealis, tapi jangan terlalu. Jangan menyerah soal SDM, kita juga harus mampu menyerap keluhan dan kebutuhan kaum milenial, imbuh Mas Ardi. Saya senyum-senyum tipis saja. Semoga catatan ini bisa memberi nutrisi, maaf bila ada yang tak berkenan. Semoga teater Gresik jadi sesuatu yang layak sekaligus pantas diperhitungkan, salam budaya. 

Selepas diskusi kami pamit pulang, kecuali ketua KotaSeger masih betah bercengkrama dengan teman-teman Gresiknesia. Kemudian saya dan Cak Fatihin menuju arah pulang, seperti biasanya pos singgah di Bungah, kami pun makan, dan ngeteh. Dikarena istri sendiri di rumah, saya harus lekas kembali. Sampai ketemu dengan kisah berikutnya.

Dukun, 29 Desember 2019

___________________

*) Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.

http://sastra-indonesia.com/2020/01/membaca-teater-di-gresik/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria