vendredi 28 août 2020

Memori Sang Nomaden Babel

  

Sigit Susanto *

Gus Noy in Memoriam: “The real voyage of discovery consists not in seeking new landscapes, but in having new eyes.” (Marcel Proust)

Mungkin ini ciri manusia pulau, selalu punya fantasi ke mana kaki menjejak akan berlabuh ke mulut laut. Niscaya hanya nelayan yang memulai berlabuh ke pulau lain. Entah alasan waktu sudah larut malam untuk kembali. Perlahan-lahan mereka bermukim di pulau baru itu dan beranak cucu. Tak heran ada kepercayaan nenek moyangku orang pelaut, bisa merujuk dari jejak sang nelayan.

Akan tetapi zaman berkembang semakin maju, kapal besar, kereta api, kendaraan, pesawat terbang hadir. Zaman kini berpindah pulau bukan lagi dikuasai para nelayan, namun anak-anak birokrat yang tugasnya berpindah-pindah. Atau anak-anak orang berada menyekolahkan anaknya ke pulau lain.

Dari sini lah Agustinus Wahyono yang sering dikenal dengan Gus Noy menapaki jejak itu. Ia lahir di Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka-Belitung (Babel) dari keluarga orang Jawa. Usai tamat SMP ia mengeruk ilmu di Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana.

Sejak ia berbekal selembar ijazah arsitektur itulah, dimulai gerilya menyusuri kehidupan mandiri dari kota ke kota, dari pulau ke pulau. Hidup dan kehidupan salah satu paket yang harus dikemas untuk masa depannya.

Dari sederet perjalanan Gus Noy itu lah terkumpul kisah. Dengan berbekal ingatan yang cukup tajam, berhasil ditulis kejadian secara runut. Ia tak pedulikan apakah kisah detilnya itu menarik bagi pembaca? Baginya, seolah sebuah kewajiban spiritual untuk menumpahkan semua pengalamannya.

Saya teringat perkataan Oscar Wilde, barang siapa menuliskan biografinya tak dipungkiri akan terjadi kebohongan. Ucapan Wilde terbukti di Jerman. Ketika Günter Grass pada tahun 2006 hendak memperkenalkan novel terbarunya berjudul Menguliti Bawang(Beim Häuten der Zwiebel). Grass mendapat serangan dari berbagai kalangan. Sebab pada novel itu Grass mengaku pernah menjadi anggota tentara elit Waffen-SS Hitler. Polemik panjang itu mempertanyakan, kenapa Grass tutup mulut selama 40 tahun lebih? Grass punya argumen, memang sedang mencari format yang tepat untuk mengungkapkannya dalam bentuk novel. Paling terpukul dalam kasus ini adalah penulis biografi Grass. Kenapa penulis biografinya tak bisa mengorek borok Grass? Atau memang Grass sengaja menyembunyikan rapat-rapat.

Membaca tulisan Gus Noy ini terkesan rapat. Ia sepertinya memang ingin jujur dengan pengalaman pribadinya. Tentu saja tidak setiap jengkal jejaknya ditulis, namun bisa dipastikan perjalanan seorang budak Bangka, ia memberi istilah sendiri, melompat dari kota ke kota dan dari pulau ke pulau, merupakan kebhinekaan yang indah.

Ada kerinduan Gus Noy untuk dekat dengan alam dengan cara berkebun. Ia ibaratkan seperti olah raga dengan mengambil contoh ayahnya yang sudah berusia 85 tahun juga masih sehat berkat berkegiatan di kebun.

Detil memori itu dengan mudah akan ditemukan pada menumbuhkan kumis, membuatkan design tato “Look at Me.“ Sumur, belanja buku, minum wine, lagu Koes Plus, sampai kolong bekas tambang di daerahnya. Kadang Gus Noy melakukan monolog, bertanya sendiri dan menjawab sendiri, simak tema Tungku.

Akibat nomaden itulah Gus Noy mengenal berbagai istilah seperti matila dalam bahasa Bangka, dan modar dalam bahasa Jawa. Istilah lu gue, ia dengar dari televisi, pembantu rumah tangga, meskipun ia tinggal selama tiga tahun di Jakarta, tetap saja ia merasa kaku untuk mengucapkannya. Tapi ia menemukan kesamaan saat tinggal di Kupang ternyata sebutan lu juga dipakai untuk menyebut kamu, sedang gue dipakai beta.

Jean Paul Sartre ketika masih bocah dihadiahi buku peta dunia oleh tantenya. Dengan harapan Sartre kelak makin paham luas dunia. Tak jauh berbeda, Gus Noy kecil pun sudah sering ditunjukkan peta oleh ayahnya yang seorang guru teknik pada STM. Kota-kota di Jawa dari kerabatanya dan pulau-pulau nusantara diperkenalkan sejak dini.

Juga buku bacaan yang paling sering ia beli sewaktu kecil yaitu komik Superman. Bahkan ia mampu mengingat judul komik silat Pendekar Topeng Hitam.

Meskipun detil peristiwa yang ia rekam cukup variasi dan mencolok, namun ia tetap mengakui ada celah yang lupa. Misalnya, kapan tepatnya ke pantai Krakal dan Parang Tritis saat ia mondok di Yogyakarta. Kapan berdirinya toko buku Makmur Jaya di Sungailiat. Juga ia lupa pengarang komik kesukaannya Pendekar Topeng Hitam.

Gus Noy tak hanya mengamati pada kehidupan sekitarnya, kadang juga membaca dari media. Seperti pada langkah Ahok yang hendak membebaskan lokalisasi WTS di Kalijodo, Jakarta.

Franz Kafka pernah menulis pada buku hariannya, ia mengunjungi bordil dan membayangkan menulis di bordil. Sementara para pengarang kita belum pernah aku baca ada yang berani terus terang menyebut mengunjungi bordil. Walau pun aku sering dengar kelakar beberapa teman pengarang yang ke bordil sering menyamarkan namanya. Misalnya, ketika ditanya oleh mbak-mbak, pengarang itu mengaku bernama Goenawan Mohamad atau Taufik Ismail. Semata-mata untuk mengejek para sastrawan tua.

Gus Noy secara blak-blakan mengakui mengunjungi bordil di daerahnya sendiri Bangka Belitung. Meskipun ia tidak melakukan jajan, alasan tak mau menghamburkan uang. Ia masih ingat nama-nama bordil yang berawal bernama lokalisasi dan kompleks itu. Ia masih ingat betul, nama-nama bordil dimana ia tinggal, baik di Yogyakarta, Jakarta, Balik Papan maupun di Babel. Di Babel, tempat ia dibesarkan hingga menjadi remaja berusia 16 tahun. Ada 3 nama bordil yang terkenal, antara lain SG (Sambung Giri), Air Nona dan Parit Enam.

Tak sampai di situ, Gus Noy membeberkan tingkah teman kerjanya dan para bos di Jakarta yang sering mencari hiburan malam dengan perempuan-perempuan asing. Gus Noy seperti sedang mengukuhkan kembali buku Jakarta Undercover karya Moammar Emka.

Pada buku "Aku mengakui bernama NERUDA, aku telah hidup" (Ich bekenne NERUDA ich habe gelebt) dikisahkan Pablo Neruda punya satu kenangan masa kecilnya yang tak pernah dilupakan adalah pada hujan. Hujan yang sebulan penuh, bahkan setahun tanpa henti. Neruda mengintip dari jendela rumahnya. Jalan di depan rumahnya digambarkan berubah menjadi lautan lumpur. Rumah-rumah penduduk miskin terendam banjir dan terapung seperti kapal.

Sebagai penghuni negeri tropis, banjir sudah diperkenalkan sejak bocah dengan mandi hujan-hujanan di alam terbuka. Tak ayal, Gus Noy pun punya catatan Ada Banjir di Mata Saya. Ia bandingkan dari Babel, Yogyakarta dan Jakarta. Ia pun menyempatkan diri melakukan Wisata Banjir di Jakarta.

Rekening warung, sebuah istilah cara Gus Noy menitipkan dana kepada warung makan di dekat indekosnya, yang setiap akhir bulan dihitung kembali, apakah dananya masih tersisa atau minus?

Penulis yang suka membuat sketsa komik ini pernah tinggal di enam tempat cukup lama. Keenam kota itu adalah Babel, Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Kupang, dan di Balik Papan. Belum lagi kunjungan singkat di beberapa kota termasuk di pulau Sumba.

Ia merasakan perbedaan kebhinekaan yang cukup marak. Ia akui ketika di Babel, Yogyakarta dan Balik Papan merasa hidup di lautan muslim, sebaliknya saat dia di Kupang terasa aroma nasraninya mencolok. Namun ia masih saksikan di Kupang suara adzan subuh dari masjid bertalu mengusik tidur nyenyak kaum nasrani, tapi juga tak ada masalah.

Babel, Balik ke Belakang

Sampai di sini memori Gus Noy mudik ke kampung halaman lagi di Babel. Selama 16 tahun ia tinggal di Babel dan selama 17 tahun ia mengungsi mencari ilmu sejak SMA hingga kuliah jurusan arsitektur di Yogyakarta. Secara waktu durasi Gus Noy menghirup udara kampung halamannya dikalahkan setahun dengan kota rantaunya. Belum lagi ia harus melakukan ritual nomaden ke Jakarta, Kupang dan pada akhirnya menetap karena berkeluarga dan kerja di Balik Papan.

Biasanya hanya anak-anak tentara atau pejabat pemerintah yang dikenal sebagai anak nomaden nusantara. Tapi Gus Noy sebaliknya, ia menjadi warga nomaden bukan karena mengikuti orang tuanya, melainkan karena jejak kakinya sendiri secara mandiri.

Rupanya ia tidak menganut pepatah, ”setinggi bangau terbang,” akhirnya toh kembali ke kampung juga. Ia justru terbang ke pulau lain, mungkin untuk selamanya.

Akan tetapi yang pulang bukan raganya, sering cuma memorinya. Kenangan perayakan natal, paskah, tahun baru balik ke belakang sambil membandingkan perayaan sejenis di beberapa kota yang pernah ia singgahi baik sebentar maupun lama. Di Balik Papan misalnya, ia menemukan beragam etnik Tionghoa, Jawa, Toraja, Manado, Batak. Keragaman etnis itu mewarnai asesoris gereja yang setiap tahun berubah berdasar budaya etnis yang ada.

Sementara perayaan natal di Babel mirip lebaran, ada mengecat rumah, memotong ayam dilakukan oleh saudaranya yang beragama Islam. Ini sebuah cara menghormati sahabat atau tamu beragama Islam, karena dapat garansi bahwa menyembelihnya pakai mantra Bismillah.

Gus Noy seperti berada pada jembatan kemajemukan. Ia tak hanya menceritakan ritual agamanya sendiri, namun juga menyasar ke agama Islam yang dianut mayoritas di kampungnya; Sri Pemandang Atas, Sungailiat, dan Bangka.

Karena mayoritas muslim itulah di Sungailiat ia mengakui secara jujur lebih menikmati suasana lebaran dan hari raya Islam lain ketimbang perayaan natal. Ibunya sering membuat kue bolu untuk disumbangkan pada keluarga muslim di depan rumahnya, serta ayahnya memberikan uang jajan kepada anak-anak muslim tetangga.

Tak lupa tentu, Gus Noy semasa masih bocah sering nimbrung pada suasana perayaan Islam di rumah tetangganya. Sebagai bocah ia masih menyimpan goresan kenangan permainan bedug di majsid yang dipukul oleh teman sebayanya.

Lagi-lagi ia bandingkan suasana lebaran, bulan ramadhan di Sungailiat dengan keluarga ibunya di Surakarta, tempat belajar di Yogyakarta, tempat bekerja di Jakarta, Balik Papan dan Kupang. Mungkin ingatan masa kecil begitu kuat menancap, bahwa perayaan lebaran di kota-kota yang pernah ia singgahi, masih kalah semaraknya  dengan kampung kelahirannya.

Dari nama kampunya cukup aneh di telinga pembaca, Pemandang Atas, apakah pemandangan dari atas dan Sungailiat apakah sungai itu banyak tanah liat? Teka-teki ini mengundang penasaran untuk didatangi sendiri.

Pertanyaan akhir, kenapa Gus Noy menuliskan segala lintas kejadian beserta aneka remeh-temehnya? Tak lain ia ingin memahatkan ingatannya, sebelum daya ingatnya mulai memudar.

Selamat membaca dengan sabar, karena membaca buku ini seperti membaca kebanyakan kaum perantau nusantara selalu dikekang wilayah laut dan budaya.

Zug, Agustus 2016

*) Sigit Susanto, penulis buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia.

http://sastra-indonesia.com/2020/08/memori-sang-nomaden-babel/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria