mardi 15 septembre 2020

Ribuan Nada Menjelajahi Amien Kamil

 

Boy Mihaballo

Puisi adalah seni tertua yang pernah diciptakan oleh manusia. Dalam literatur banyak agama pun tertulis bahwa dunia diciptakan lewat larik puisi Yang Kuasa. Pada era purba puisi lalu disajikan sebagai pengantar menuju prosesi ritus, maka pemaknaan dari puisi turut berubah searah dengan perkembangan zaman.

Mendiang John F. Kennedy pernah berucap, “...saat politik menjadi kotor, puisi yang membersihkannya,” ini semacam pengakuan dari seorang politisi yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan oleh para penyair, bahwa puisi adalah salah satu kebutuhan untuk bertahan dalam hidup yang semakin keras dan kotor yang para politisi ciptakan. Tetapi, apakah pernyataan tersebut relevan kini bagi kebanyakan orang yang dijejali prioritas memenuhi kebutuhan primer semata dalam hidupnya? Disadari atau tidak, sesungguhnya manusia dari dulu hingga nanti memerlukan puisi dalam hidup sehari-hari.

Jangan dahulu dibayangkan bahwa puisi yang dimaksud adalah puisi sebagaimana para penyair melisankannya di atas panggung. Puisi dalam keseharian manusia sudah teraplikasi secara sengaja ataupun tidak disengaja dalam banyak kegunaan. Para pedagang keliling yang berpromosi, remaja yang sedang gundah karena rindu atau menulis kalimat dalam media sosial  adalah contoh dari keseharian manusia yang membutuhkan puisi. Lalu kenapa kita membutuhkan puisi, dan puisi seperti apakah yang kita butuhkan?

Pertanyaan ini akan melebarkan inti dari tulisan ini, karena dibutuhkan penelusuran teraktual untuk memetakan puisi seperti apa yang menjadi kebutuhan dari sebagian besar manusia. Dan saya pun tidak ingin mengarahkan tulisan ini menuju arah itu, karena paragraf di atas adalah pengantar semata kepada premis bahwa puisi dibutuhkan setiap manusia.

***

Tulisan ini sebagaimana yang diwakili oleh judul lebih mengarah kepada opini yang timbul dari hasil pembacaan atas pentas music poetry bertajuk “Ribuan Kilometer Menjelajahi Tubuh” dari penyair Amien Kamil.

Bertempat di Panggung Apresiasi milik Rumah Belajar Keluarga AnakLangit di tepian Cisadane, Tangerang. Amien Kamil ditemani Yoko Nomura, Toto Sokle dan Hendrikus Wisnu Groho pada musik serta Psycho Biji pada visual, mempersembahkan puisi-puisinya yang dicuplik dari bukunya “Catastrophe 1965 ; Elegi Untuk Pramudya Ananta Toer”, yang akan terbit di bulan september 2016.

Bila kembali sejenak pada pertanyaan di alinea permulaan: Puisi seperti apakah yang dibutuhkan kebanyakan orang? Maka tidak ada jawaban tunggal untuk itu, karena walaupun terlihat seragam namun setiap manusia pada dasarnya memiliki perbedaan akan kebutuhannya, termasuk kebutuhan mengapresiasi puisi. Bagi awam puisi adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan penyair walau dalam banyak kesempatan dalam hidupnya ia pun membaca atau bahkan memakai puisi untuk keperluannya.

Puisi sebagai karya sastra tentulah berbeda dengan puisi sebagai sebuah seni pertunjukan. Puisi dalam bentuk tertulis akan menemukan bentuk yang berbeda bila dilisankan apalagi bila diimprovisasikan dengan musik dan atau visual grafis. Sebagai catatan, kata ‘diimprovisasikan’ pada kalimat sebelum ini saya maksudkan sebagai upaya mengembangkan bentuk berbasiskan kata-kata dalam puisi tersebut. Dan implikasi dari improvisasi tersebut adalah pemaknaan berlapis atas puisi dalam benak penonton. Setidaknya itulah yang terimpresikan dalam benak saya yang hadir sebagai penikmat pertunjukan tersebut.

Puisi sebagai sebuah seni pertunjukkan tidaklah menjadi ruang bagi para penyair semata, tetapi menjadi medan pemaknaan bagi publik yang heterogen dan penyairnya. Kebanyakan penyair yang murni sastrawan seringkali tidak mengindahkan publik, karena tidak ingin melebihi karyanya sendiri yang sudah tertulis dalam puisi. Tidaklah demikian dengan para penyair yang juga dramawan yang justru berpeluang melebihi karya tertulisnya dengan aksi pembacaan serta diimbuhi bunyi juga visual. Perbandingan di atas tidak dalam kerangka mana yang baik atau benar, tetapi dilandasi pembacaan atas pola pemanggungan puisi yang dilakukan aneka penyair selama ini.

Amien Kamil, selain penyair adalah seorang sutradara teater dari Republic Of Performing Arts, sebelumnya saya mengenalnya sebagai dedengkot Rombongan Toneel Soekar Madjoe. Deretan karya klasik Shakespeare atau yang kontemporer seperti Dario Fo pernah digarapnya. Selama proses pemanggungan teater tersebut, Amien dikawal rombongan pemusik yang mengisi ilustrasi. Para pemusik inilah yang kini juga menemani pentas music poetry kali ini. Menggarap musik pada pentas teater tentu berbeda dengan proses bermusik sebagai karya musik pada umumnya. Musik pada teater harus larut meruang bersenyawa dengan aktor dan elemen pertunjukkan lain, guna mampu menghidupkan suasana sebagaimana yang ditafsirkan sutradara atas naskah teater.

Proses seperti inilah yang diadaptasi Yoko Nomura, Hendrikus Wisnu Groho, dan Toto Sokle dalam menyikapi bait-bait teks puisi Amien Kamil. Musik yang mereka mainkan adalah ilustrasi auditif atas karya puisi. Ini membuat mereka tidak terpaku pada satu jenis intrumen saja, karena bukan intrumennya yang menjadi patokan, tetapi bunyi yang dihasilkan yang menjadi tujuan.

Aneka bebunyian bergotong royong tanpa berusaha mendominasi pertunjukan apalagi ditambah visual grafis (saya tidak tahu apakah ini istilah yang pas) dari belakang layar yang seringkali terasa pas dengan situasi dramatik di depan layar, walau kerap juga terasa abstrak pada beberapa momentum. Tetapi inilah spirit penjelajahan, upaya mengembangkan karya tertulis menjadi sebuah seni pertunjukkan, dengan proses pencarian tiada henti. Adalah menyaksikan pementasan ini laksana menyimak ribuan nada menjelajahi Amien Kamil.

***

7 Agustus 2016

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria