Boy Mihaballo
Puisi adalah seni tertua yang pernah diciptakan oleh manusia. Dalam literatur banyak agama pun tertulis bahwa dunia diciptakan lewat larik puisi Yang Kuasa. Pada era purba puisi lalu disajikan sebagai pengantar menuju prosesi ritus, maka pemaknaan dari puisi turut berubah searah dengan perkembangan zaman.
Mendiang John F. Kennedy pernah berucap, “...saat politik menjadi kotor, puisi yang membersihkannya,” ini semacam pengakuan dari seorang politisi yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan oleh para penyair, bahwa puisi adalah salah satu kebutuhan untuk bertahan dalam hidup yang semakin keras dan kotor yang para politisi ciptakan. Tetapi, apakah pernyataan tersebut relevan kini bagi kebanyakan orang yang dijejali prioritas memenuhi kebutuhan primer semata dalam hidupnya? Disadari atau tidak, sesungguhnya manusia dari dulu hingga nanti memerlukan puisi dalam hidup sehari-hari.
Jangan dahulu dibayangkan bahwa puisi yang dimaksud adalah puisi sebagaimana para penyair melisankannya di atas panggung. Puisi dalam keseharian manusia sudah teraplikasi secara sengaja ataupun tidak disengaja dalam banyak kegunaan. Para pedagang keliling yang berpromosi, remaja yang sedang gundah karena rindu atau menulis kalimat dalam media sosial adalah contoh dari keseharian manusia yang membutuhkan puisi. Lalu kenapa kita membutuhkan puisi, dan puisi seperti apakah yang kita butuhkan?
Pertanyaan ini akan melebarkan inti dari tulisan ini, karena dibutuhkan penelusuran teraktual untuk memetakan puisi seperti apa yang menjadi kebutuhan dari sebagian besar manusia. Dan saya pun tidak ingin mengarahkan tulisan ini menuju arah itu, karena paragraf di atas adalah pengantar semata kepada premis bahwa puisi dibutuhkan setiap manusia.
***
Tulisan ini sebagaimana yang diwakili oleh judul lebih mengarah kepada opini yang timbul dari hasil pembacaan atas pentas music poetry bertajuk “Ribuan Kilometer Menjelajahi Tubuh” dari penyair Amien Kamil.
Bertempat di Panggung Apresiasi milik Rumah Belajar Keluarga AnakLangit di tepian Cisadane, Tangerang. Amien Kamil ditemani Yoko Nomura, Toto Sokle dan Hendrikus Wisnu Groho pada musik serta Psycho Biji pada visual, mempersembahkan puisi-puisinya yang dicuplik dari bukunya “Catastrophe 1965 ; Elegi Untuk Pramudya Ananta Toer”, yang akan terbit di bulan september 2016.
Bila kembali sejenak pada pertanyaan di alinea permulaan: Puisi seperti apakah yang dibutuhkan kebanyakan orang? Maka tidak ada jawaban tunggal untuk itu, karena walaupun terlihat seragam namun setiap manusia pada dasarnya memiliki perbedaan akan kebutuhannya, termasuk kebutuhan mengapresiasi puisi. Bagi awam puisi adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan penyair walau dalam banyak kesempatan dalam hidupnya ia pun membaca atau bahkan memakai puisi untuk keperluannya.
Puisi sebagai karya sastra tentulah berbeda dengan puisi sebagai sebuah seni pertunjukan. Puisi dalam bentuk tertulis akan menemukan bentuk yang berbeda bila dilisankan apalagi bila diimprovisasikan dengan musik dan atau visual grafis. Sebagai catatan, kata ‘diimprovisasikan’ pada kalimat sebelum ini saya maksudkan sebagai upaya mengembangkan bentuk berbasiskan kata-kata dalam puisi tersebut. Dan implikasi dari improvisasi tersebut adalah pemaknaan berlapis atas puisi dalam benak penonton. Setidaknya itulah yang terimpresikan dalam benak saya yang hadir sebagai penikmat pertunjukan tersebut.
Puisi sebagai sebuah seni pertunjukkan tidaklah menjadi ruang bagi para penyair semata, tetapi menjadi medan pemaknaan bagi publik yang heterogen dan penyairnya. Kebanyakan penyair yang murni sastrawan seringkali tidak mengindahkan publik, karena tidak ingin melebihi karyanya sendiri yang sudah tertulis dalam puisi. Tidaklah demikian dengan para penyair yang juga dramawan yang justru berpeluang melebihi karya tertulisnya dengan aksi pembacaan serta diimbuhi bunyi juga visual. Perbandingan di atas tidak dalam kerangka mana yang baik atau benar, tetapi dilandasi pembacaan atas pola pemanggungan puisi yang dilakukan aneka penyair selama ini.
Amien Kamil, selain penyair adalah seorang sutradara teater dari Republic Of Performing Arts, sebelumnya saya mengenalnya sebagai dedengkot Rombongan Toneel Soekar Madjoe. Deretan karya klasik Shakespeare atau yang kontemporer seperti Dario Fo pernah digarapnya. Selama proses pemanggungan teater tersebut, Amien dikawal rombongan pemusik yang mengisi ilustrasi. Para pemusik inilah yang kini juga menemani pentas music poetry kali ini. Menggarap musik pada pentas teater tentu berbeda dengan proses bermusik sebagai karya musik pada umumnya. Musik pada teater harus larut meruang bersenyawa dengan aktor dan elemen pertunjukkan lain, guna mampu menghidupkan suasana sebagaimana yang ditafsirkan sutradara atas naskah teater.
Proses seperti inilah yang diadaptasi Yoko Nomura, Hendrikus Wisnu Groho, dan Toto Sokle dalam menyikapi bait-bait teks puisi Amien Kamil. Musik yang mereka mainkan adalah ilustrasi auditif atas karya puisi. Ini membuat mereka tidak terpaku pada satu jenis intrumen saja, karena bukan intrumennya yang menjadi patokan, tetapi bunyi yang dihasilkan yang menjadi tujuan.
Aneka bebunyian bergotong royong tanpa berusaha mendominasi pertunjukan apalagi ditambah visual grafis (saya tidak tahu apakah ini istilah yang pas) dari belakang layar yang seringkali terasa pas dengan situasi dramatik di depan layar, walau kerap juga terasa abstrak pada beberapa momentum. Tetapi inilah spirit penjelajahan, upaya mengembangkan karya tertulis menjadi sebuah seni pertunjukkan, dengan proses pencarian tiada henti. Adalah menyaksikan pementasan ini laksana menyimak ribuan nada menjelajahi Amien Kamil.
***
Aucun commentaire:
Publier un commentaire