IMAN, PUISI, PRIBADI
Pagi, kita membaca kalimat menenangkan: “Selama iman ini masih berdetik dalam dada, laksana detiknja djam tengah malam, selama itu pula kita tidak akan kekurangan kerdja. Iman senantiasa menumbuhkan amal saleh!” Kalimat terbaca di Pandji Masjarakat edisi 15 Desember 1959. Lama, Bandung M tak memikirkan atau menulis iman. Kata itu pernah membikin pusing saat menjadi murid SD dan ikut TPA. Bocah diminta menjelaskan iman.Ah, ingatan sering bolak-balik: rukun iman. Pada suatu pagi, ia mulai berpikiran iman lagi setelah rampung menonton dua pertandingan sepakbola. Oh, Real Madrid menang dengan menggeh-menggeh. Pertandingan sampai saat menunaikan ibadah. Subuh itu menenangkan setelah umbah-umbah dan isah-isah. Iman senantiasa menumbuhkan kemauan untuk melakukan peristiwa-peristiwa kecil, tak selalu harus dicap islami.
Masalah ibadah itu ditulis Ibnoe Al Hadjdjar dalam puisi berjudul “Sumpah Dimalam Bening”. Kita membaca puisi seperti ditulis remaja: Lima waktu tudjuhbelas kali/ demi siang demi malam kau mengabdi/ segala amanah diraih dan dimiliki/ dada kedepan dibathin Tuhan/ lagulama srinada sutji, anakda/ itulah hakimmu itulah saksimu/ tepiskan lagu baru dari sisimu/ Tuhanmu tjuma satu kau adalah sibaharu. Bandung M jarang membaca puisi-puisi tentang salat. Di majalah Pandji Masjarakat, pemuatan puisi-puisi bertema Islam itu kewajaran. Puisi itu terbaca tapi tak mengesankan. Semalam, hujan sebentar. Bandung M tak berniat menggubah puisi. Ia memilih membaca buku saja, buku berjudul Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (1996). Bacaan menjelang Desember, mengerjakan esai-esai bertema keibuan. Pada suatu hari nanti, ia pun ingin membaca buku garapan Hamka bertema wanita.
Pandji Masjarakat mengingatkan Hamka sebagai redaksi dan penulis. Halaman-halaman majalah sering mengiklankan buku-buku Hamka. Tahun demi tahun, Hamka selalu terbaca. Di halaman belakang, iklan buku Hamka berjudul Pribadi. Kalimat-kalimat dalam iklan menjadikan pembaca merasa bersalah: “Inilah salah satu persoalan jang hangat pula kita bitjarakan dewasa ini. Tampaknja kita telah sesat djalan dalam menumbuhkan kepribadian bangsa kita sendiri.” Pribadi itu masalah, tak rampung-rampung. Pada abad XXI, kita masih bermasalah dengan pribadi dan kepribadian. Buku Hamka juga masih cetak ulang, masih memiliki pembaca. Begitu.
***
DULU DAN SILAMPUKAU
Sejarawan di Malang sedang ancang-ancang menulis esai panjang mengenai Usmar Ismail dan film. Konon, tulisan bakal disuguhkan pada 2021. Kita menanti saja sambil berharap ada kejutan-kejutan. Sejak lama, orang-orang mengenali Usmar Ismail adalah manusia film, abai ia sebagai tokoh pernah dalam kancah sastra: menggubah puisi. Usmar Ismail memang “sejarah” bagi perfilman di Indonesia. Ia kondang dengan film berjudul Lewat Djam Malam. Pada masa 1950-an, film-film dibuat dan memberi capaian-capaian tercatat sepanjang masa. Usmar Ismail pun menggarap film berjudul Tiga Dara. Pada masa berbeda, Nia Dinata menghormati dan mengenang dengan membuat film berjudul Ini Kisah Tiga Dara. Film menjadi “sempurna” dengan pembuatan album lagu dan mengadakan Konser 60 Tahun Tiga Dara. Di Rolling Stone edisi September 2006, kita membaca: “Sebagai film musikal, sudah selayaknya lagu-lagu pada film Tiga Dara diberi perhatian.” Tokoh penting di situ bernama Saiful Bahri.
Di halaman berbeda, kita membaca tulisan panjang mengenai pesta musik akbar. Simak: “Festival musik terbesar dan paling tahan lama di Indonesia kembali. Soundrenaline 2016 akan berlangsung dengan lebih meriah, lebih megah, dan lebih dahsyat.” Sejarah dimulai pada 2002. Tahun demi tahun, umat musik mendapat tontotan bermutu, mencatat sekian perubahan dalam lakon musik di Indonesia. Pada 2016, direncanakan festival menampilkan Barasuara, Efek Rumah Kaca, Elephant Kind, Naif, Navicula, The Adams, The Upstairs, dan lain-lain. “Penonton dimanjakan oleh pilihan nama-nama besar Indonesia yang memberikan hiburan musik berkualitas, sementara para pemusiknya gembira karena bisa beraksi di hadapan penonton yang antusias sekaligus berkumpul dengan sesama musisi,” tulis di Rolling Stone.
Majalah itu memberi kabar gembira. Kita membaca: “Sudah sejak dua tahun lalu, Kharis Junandharu, setengah dari duo Silampukau, mempersiapkan konsep unik untuk album bandnya yang akhirnya rilis setahun kemudian. Konsep yang belakangan diketahui sering ia sebut sebagai narasi-narasi kecil kehidupan warga Surabaya….” Sekian tahun lalu, lagu-lagu Silampukau terdengar di Bilik Literasi saat menulis, membaca, atau obrolan. Bandung M mendengar tapi mengingat Kharis Junandharu adalah penulis. Dulu, ia bersua dalam sastra gara-gara memberi penghormatan untuk puisi-puisi gubahan Afrizal Malna. Pada suatu masa, tulisan-tulisan berada di belakang, kita mendengar lagu-lagu Silampukau. Begitu.
3 Nov 2020
DIBERITAKAN…
Rua (Jogjakarta) mau menerbitkan lagi buku berjudul Psikologi Jawa garapan Darmanto Jatman. Dulu, buku itu memberi godaan saat Bandung M merasa bimbang dengan hidup, masa remaja. Keinginan mengerti bahagia perlahan dipelajari dari buku-buku tipis memuat pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Buku-buku itu menjadi tebal dalam edisi terbitan Grasindo. Pada suatu hari, sinau bahagia semakin menguat dengan mendapatkan buku Psikologi Jawa terbitan Bentang. Tahun-tahun berlalu, Bandung M mendapatkan majalah Dudu Kowe, majalah berdakwah pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Buku garapan Darmanto Jatman teringat lagi saat mengalami bulan-bulan wabah. Bahagia masih ada. Nah, bahagia ingin terbaca lagi bila buku terbitan Rua ada di depan mata. Membaca sambil membuka lembaran-lembaran masa remaja memilih mengagumi Ki Ageng Suryomentaram.
Pada hari tak teringat, Bandung M membeli majalah berjudul Berita Bahagia terbitan Jajasan Hidup Bahagia (Jakarta). Ia mendapat satu edisi saja dengan keterangan No 17, Tahun V, tak lengkap. Di kulit muka, terbaca: “Membahas soal-soal kebatinan berdasarkan kenjataan dan pengertian diri sendiri.” Ada pula gambar biasa tapi bermakna dengan deretan kata: “Bagaikan bidji mangga menumbuhkan pohon mangga kemudian berbuah mangga. Demikianlah sebab dan akibat susul menjusul tiada batasnja.” Gambar pohon itu tak mengelirukan kita menganggat Berita Bahagia adalah majalah pertanian. Kata-kata di kulit muka dipetik dari tulisan Ki Ageng Suryomentaram berjudul “Sebab dan Akibat”, dimuat di halaman 1-3. Sekian halaman di tengah adalah “pertanjaan-djawaban” menggunakan referensi dari pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram.
Kita memilih menikmati tulisan berjudul “Filsafat Rasa Hidup”. Darmanto Jatman dan sekian pengamat biasa menganggap Ki Ageng Suryomentaram adalah filosof di Jawa. Sekian tulisan membandingkan pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dengan pemikiran-pemikiran di Barat. Tokoh itu memang bijak. Kita simak: “Berlawanan itu mesti mengandung diri sendiri dan jang bukan diri sendiri. Karena berlawanan itulah, maka tiap langkah, tiap utjapan dan tiap getaran pun mesti berlawanan dan mengandung pula diri sendiri. Djustru didalam langkah, utjapan dan getarannja sendiri itulah orang mengetahui dirinja sendiri.” Pagi sudah tiba dan terang. Umbah-umbah sudah rampung. Minum kopi dan makan rambak. Berita Bahagia sudah terbaca setelah mendapat berita MU kalah, Tottenham Hotspur menang, Juventus menang, Everton kalah, AC Milan memang… Begitu.
2 Nov 2020
DULU, BAHASA INDONESIA…
Oktober belum berakhir. Orang-orang mungkin masih mengikuti kemauan pemerintah bahwa Oktober itu “Bulan Bahasa dan Sastra”. Ratusan acara diadakan di pelbagai tempat. Kita tak memiliki catatan lengkap. Semua acara lekas berlalu, diadakan lagi tahun depan. Rutin. Indonesia pun memiliki rutinitas berupa Kongres Bahasa Indonesia, dirutinkan pada masa Orde Baru. Kita tak memiliki ingatan lengkap atas sekian masalah dan jawaban dari kongres demi kongres. Mochtar Lubis berpendapat: “Banyak kata bahasa Indonesia telah mengalami erosi makna, dan kehilangan keampuhannya. Mungkin kata seperti keadilan, hukum, kebebasan, tanggung jawab, dan sebagainya paling menderita erosi makna ini. Karena senantiasa dipergunakan, tetapi amat jarang didukung oleh tindakan yang menopangnya.” Pendapat terbaca dalam Horison edisi September 1978. Tulisan menjelang Kongres Bahasa Indonesia III, 28 Oktober-3 November 1978.
Pada suatu masa, kata-kata dalam bahasa Indonesia meriah gara-gara digunakan Emha Ainun Nadjib dalam menggubah puisi. Ia sedang tenar pada masa 1970-an, setelah sregep sinau di Malioboro. Ia mendapat gemblengan Umbu Landu Paranggi dan disemangati Umar Kayam. Kita membaca petika dari puisi berjudul “Ulat”, puisi tak ingin menjadikan kata-kata dalam bahasa Indonesia mengalami erosi makna. Kita membaca: ulat-ulat bergelantungan di meja, di jendela, di pintu/ di kursi, di gantungan pakaian, di buku-buku, di langit-/ langit bilikku, ulat-ulat melata di setiap helai rambutku, dialisku, di hidungku, di telingaku, di tanganku….” Puisi belum bergerak ke masalah-masalah besar ditanggungkan Indonesia tapi pembaca boleh saja menaruh puisi itu di jalan menuju kritik atau protes sosial. Sekian kata dicontohkan Mochtar Lubis tak ada dalam puisi. Emha Ainun Nadjib memang menggubah puisi, bukan lembaran makalah atau selebaran untuk demonstrasi.
Emha Ainun Nadjib berlari menjadi penulis esai-esai, setelah ia menganggap cukup mendapat perhatian sebagai penulis puisi dan cerpen. Pada esai-esai, kita membaca ada kekuatan dan kelenturan dalam penggunaan bahasa Indonesia meski ia bukan pakar bahasa Indonesia seperti Anton M Moeliono, Harimurti Kridalaksana, atau JS Badudu. Konon, orang rajin menulis sastra dipastikan paham bahasa Indonesia. Ah, bantah saja. Dulu, Mochtar Lubis juga mengingatkan: “Kita semua berkewajiban menyelamatkan dan memelihara serta mengembangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang jernih dengan perairan kata-kata yang bening, dengan makna kata-kata yang ampuh dan yang dapat menimbulkan reaksi semantik yang tepat dan wajar…” Mochtar Lubis sedang menjadi penggugat dan pemulia bahasa Indonesia. Begitu.
30 Okt 2020
NAMA-NAMA DAN KEHORMATAN SASTRA
Oktober, pengumuman demi pengumuman. Di sana, ada pengumuman peraih penghargaan sastra untuk novel berjudul Burung Kayu. Di sana, ada penghargaan untuk orang-orang sastra di Jawa Timur. Konon, sekian orang meraih penghargaan tekun bergerak di Madura. Di sana, ada juga nama-nama meraih penghargaan atau hadiah sastra di Jawa Tengah. Mereka bungah dengan buku puisi dan prosa. Pengumuman masih ada lagi. Sekian hari lalu, nama-nama pantas dihormati dalam gairah bersastra: Sunlie Thomas Alexander, Iyut Fitra, Dea Anugerah, dan lain-lain. Sastra masih mungkin girang dengan sekian acara dan misi penghormatan. Kemarin, ada kabar menggirangkan saat membaca nama Setyaningsih menjadi pemenang 2 dalam lomba kritik sastra diadakan oleh HISKI Denpasar, Bali. Ah, hari-hari sastra….
Di Horison edisi November 1992, Sapardi Djoko Damono menulis: “Dalam masyarakat kita, hadiah sastra bukanlah hal baru. Sejak tahun-tahun pertama kemerdekaan, kita sudah memikirkannya sebagai salah satu alat untuk mendorong berkembangnya kesusastraan. Semakin jauh jarak waktu hadiah itu dari kita, semakin berharga tampaknya. Demikianlah maka kita sebut-sebut hadiah sastra yang pada tahun 1950-an pernah diberikan oleh Balai Pustaka, Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, majalah Kisah, dan sebagainya. Pramoedya Ananta Toer, Toto Sudarto Bachtiar, Mochtar Lubis, AA Navis, dan Toha Mohtar adalah beberapa nama yang pernah menerima hadiah di zaman lampau itu.” Pada abad XXI, hadiah atau penghargaan sastra masih diberikan di Indonesia. Daftar nama semakin panjang. Mereka adalah pengerak dan memberi pengaruh dalam arus sastra mutakhir. Kita mencatat dan menghormati mereka dengan membaca sekian tulisan dan buku telah diterbitkan.
Kita berjumpa tulisan Budi Darma berjudul “Kritik Sastra Tanpa Sosok Pribadi”. Wah, kita teringat judul buku Subagio Sastrowardoyo. Kita berpikiran lagi sosok dan (kritik) sastra di Indonesia, dari masa ke masa. Budi Darma sudah tua, masih saja sregep menulis cerpen dan esai. Kita membaca di Kompas dan Jawa Pos. Pengarang tangguh, semakin penting gara-gara buku Solilokui cetak ulang oleh Gramedia Pustaka Utama, 2020. Setyaningsih sudah membeli dan membaca, berharap terpengaruh juga agar melulu menulis kritik sastra. Di Horison, kita membaca secuplik pembelaan Budi Darma: “Tapi, percayalah, para kritikus sastra sudah banyak berpeluh, sudah banyak bekerja. Meskipun, tentu saja, peluh dan kerja tidak selamanya identik dengan kualitas. Kita tidak perlu ikut menggempur kritik sastra telanjur dianggap loyo….” Budi Darma, pemikir penting perlu lekas dibuatkan acara dan mendapat penghargaan. Kita ingin menghormati Budi Darma telah berdarma untuk sastra selama puluhan tahun. Begitu.
29 Okt 2020
HILANG, TERBACA
Sekian halaman hilang, tak usah dicari atau ditangisi. Eh, mendingan cengeng gara-gara gagal khatam buku: berulang, berulang, berulang, Cengeng tanpa tisu atau sapu tangan. Kita sudah sampai halaman 9, membaca tulisan Wiratmo Soekito. Warisan tulisan masih terbaca di Star Weekly edisi 30 September 1961. Ia membuat resensi pentas teater untuk bocah. Pembaca gampang mengerti dengan judul “Bawang Merah Bawang Putih”. Pada masa 1950-an dan 1960-an, ia prihatin jarang ada pementasan teater dan film anak-anak. Ia tak prihatin gagal membuat esai selera anak. Tahun demi tahun, ia memilih menulis esai mbulet. Tulisan itu memberi nasihat: “Berilah nilai kesenian kepada anak-anak kita.” Pada tahun berbeda, ia sibuk dengan masalah-masalah besar. Wiratmo Soekito tak pernah menulis Manifes Kebudajaan Anak. Kita prihatin saja.
Kita marem membaca resensi Rendra untuk pentas “Penggali Intan” di Tegal. Lakon itu ditulis Kirdjomuljo. Pada pementasan, Rendra berpendapat: “Berdasarkan ukuran-ukuran realisme saja tak keberatan apabila sering terdjadi para pemain membelakangkan penonton. Karena dengan demikian aktor berusaha mendekati gerak sehari-hari. Tetapi saja berkeberatan apabila para aktor berbitjara dengan suara persis seperti sehari-hari, jaitu tak perlu keras-keras asal terdengar oleh lawannja berbitjara sadja dan kalau perlu malahan omongan itu setengah ditelan atau lenjap dalam keluhan lembut sebagaimana sering terdjadi dalam kehidupan sehari-hari.” Kritik itu keren. “Keseharian” jangan semua. Urusan suara itu penting dalam memberi bobot pementasan. Mulut jangan pelit memberi suara memenuhi kaidah-kaidah teater. Mereka wajin menjadikan suara Rendra itu contoh saat membaca puisi atau bermain sebagai aktor.
Kita masih membaca pentas. Di halaman belakang, ada tulisan mengenai malam musik di Jakarta. Acara diadakan untuk peringatan Hari Radio. Kutipan: “Maka dapat pulalah kita tjatat suatu keinginan dalam penjelenggaraan malam-malam musik itu untuk memusatkannja kepada musik tjiptaan-tjiptaan didalam negeri, sehingga kreasi-kreasi para komponis asing memang sengadja ditiadakan dalam susunan atjara.” Peringatan mungkin sesuai anjuran-anjuran Soekarno agar tak selalu memuja atau meniru asing-asing. Acara itu ingin memajukan musik di Indonesia, setelah orang-orang mendapat warisan dari WR Sepratman, Ismail Marzuki, Cornel Simandjuntak, dan lain-lain. Eh, esok kita mengenang WR Suprataman berlatar peristiwa kongres menghasilkan sumpah. Begitu.
27 Okt 2020
KALEM DAN TELAT
Kalem. Nama itu kalem. Kita tak meragu untuk membaca: Masyarakat Indonesia. Kita jangan tertawa bila menjadi pembaca Masyarakat Indonesia, “majalah ilmu-ilmu sosial Indonesia.” Di telinga, nama majalah itu kurang bergengsi. Kalem. Nama memang kalem tapi isi majalah dipastikan tak membuat pembaca kalem dan nglaras. Abot! Masyarakat Indonesia, No 2, 1985, memuat artikel-artikel dan tinjauan buku oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, AB Lapian, Umar Junus, Thee Kian Wie, Thun Ju Lan, dan lain-lain. Tolong, majalah dibaca di hari dinas saja, salah bila dibaca di akhir pekan atau liburan panjang. Halaman demi halaman, kita mikir, mikir, mikir, mikir….
Majalah terbitan LIPI. Pada masa lalu, orang-orang pernah membaca Masyarakat Indonesia boleh digolongkan manusia berpengetahuan, mau menggunakan pikiran untuk hikmah. Jumlah pembaca mungkin ratusan di seantero Indonesia, pembaca serius atau ketagihan. Kaum malas atau kaum ingin nglaras mungkin menghindari Masyarakat Indonesia. Pilihan membaca majalah-majalah umum atau hiburan masih dimaklumi. Masyarakat Indonesia memiliki ketentuan: “Mengandung karangan-karangan penelitian dan karangan-karangan tentang metodologi penilaian hasil penelitian, pendekatan-pendekatan baru dalam bidang ilmu-ilmu sosial, terutama mengenai Indonesia.” Bandung M beruntung mendapatkan Masyarakat Indonesia bekas, setelah sempat khatam membaca buku-buku Heddy Shri Ahimsa Putra, AB Lapian, Umar Junus, dan Thee Kian Wie. Ia berlagak sinau antropologi, sastra, sejarah, dan ekonomi. Masyarakat Indonesia itu terbukti bukan menghibur tapi meminta pembaca mikir, mikir, mikir, mikir….
“Orang-orang Cina di Indonesia, seperti umumnya orang-orang Cina di negara Asia Tenggara lainnya, dikenal sebagai kaum pedagang yang kekuatan ekonominya jauh melampaui penduduk asli, sehingga menimbulkan iri hari penduduk asli terhadap orang-orang Cina yang datang ke tempat yang bersangkutan,” kalimat dalam tinjauan Thung Ju Lan atas buku berjudul Dilema Minoritas Tionghoa (1984) garapan Leo Suryadinata. Buku itu sudah dibaca Bandung M. Dulu, buku dibeli di pasar buku bekas. Ia telat membaca tapi mengaku tak terlalu ketinggalan bila mengobrolkan tema-tema berkaitan Tionghoa di Indonesia. Buku terbaca telat dan tinjauan buku pun terbaca telat. Tinjauan buku dalam Masyarakat Indonesia abot-abot. Bandung M emoh meniru, takut tiba-tiba intelektual dan keminter. Begitu.
26 Okt 2020
Aucun commentaire:
Publier un commentaire