Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan kegiatan riset, turun setiap hari menemui masyarakat, mewawancarai, juga ke beberapa lembaga pemerintahan. Tak jarang menginap di rumah warga, jika narasumber yang saya temui melarang saya pulang malam, “Daerah ini masih rawan, Nak, mending menginap saja.” Sebenarnya, saya sama sekali tidak pernah khawatir itu, toh beberapa orang tetua dari si pembuat resah masyarakat saya kenal baik. Tetapi, karena jarak tempuh yang kadang kerap jauh, dan dinginnya serbuan angin malam, jika kekeh melaju dengan motor bebek untuk pulang dan tidur di rumah. Alasan lain juga karena di kawasan ini menjanjikan makanan laut seperti ikan, cumi, dan kepiting yang membuat niatan pulang selalu tak benar-benar saya laksanakan.
Setelah keesokan harinya, saya akan berangkat ke kota, menemui kepala dinas dari beberapa instansi untuk mewawancarai. Sepulang perjalanan di kota, saya kerap melihat beberapa pegiat literasi membuka lapak di pinggir-pinggir jalan di taman kota, dan saya bisa memastikan hal itu, karena dengan jelas terpampang papan besar bertuliskan “Perpustakaan Gratis”. Alhamdulillah, ternyata masih banyak yang peduli dengan minimnya tingkat pengetahuan kita. Namun dibalik pengelihatan itu, justru ada kesedihan yang teramat mendalam. Baik terhadap pemerintah dan beberapa pegiat literasi.
Kesedihan ini cukup mendasari, kenapa setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, sebut saja festival misalnya, selalu diadakan di kota? Kenapa semua kegiatan harus terfokus di kota? Begitu juga dengan para pegiat itu?!
Di pelosok-pelosok, ada beberapa martir-martir literasi yang terus bergerak, tapi mereka tidak memiliki cukup kapasitas, jangkauannya juga tidak luas, walupun senantiasa berjuang tertatih-tatih dengan bacaan yang selalu dijajakan seadanya. Saya semakin khawatir melihat kondisi ini, setelah beberapa kali mendapati para pelapak buku gratis hanya menggelar karpetnya di taman-taman kota? Lalu pertanyaan di benak ini muncul, sebodoh itukah orang kota, sehingga orang-orang yang melabeli diri mereka pegiat buku, hanya mau melapakkan perpustakaan mereka di kota? Sebaliknya orang-orang yang tinggal di dusun, di pelosok-pelosok itu cukup cerdaskah, sehingga tidak membutuhkan bacaan lagi?!
Seperti yang kerap kita baca dan tonton di beberapa media. Di luar sana, oknum-oknum yang gemar menyita buku dengan alasan tidak cocok beredar di negeri ini? Saya rasakan itu cukup absurd, coba telisik, hanya buku-buku berkelas yang menyuguhkan teori, data, dan revisi yang cukup revolusioner yang kerap menjadi target dan bulan-bulanan orang-orang goblok tersebut. Kau tidak percaya? Cobalah sesekali ajak mereka diskusi, pernah tidak membaca buku-buku yang mereka sita, sehingga tahu kadar betapa berbahayanya buku itu jika dibaca masyarakat negeri ketiga ini?! Atau jangan-jangan, banyak rahasia yang selama ini disembunyikan akan terungkap, kalau buku-buku tersebut beredar luas di masyarakat?
Lalu pertanyaannya, apakah model pendidikan kita memang sengaja disetel untuk tetap melamban? Dengan kata lain, masyarakat dibiarkan tidak tahu atas kebenaran-kebenaran sejarah bangsanya? Ini sama halnya dengan langkah pemerintah dan pegiat literasi yang kerap melakukan kegiatan di kota saja, mereka secara tidak langsung ikut serta dengan oknum turut menjaga agar kebodohan tetep berlanjut atau tetap terpelihara.
Di wilayah-wilayah marjinal, pelosok-pelosok, dusun-dusun, justru di sinilah kita mestinya bergotong royong membangun kesadaran serta kecintaan masyarakat terhadap pentingnya budaya baca (pengetahuan). Di sini kita seyogyanya berlomba-lomba melapak di setiap dusun, pelosok, dan tempat-tempat terpencil lainnya, mengajar, dan bercerita, bukan malah berlomba melakukan kegiatan di kota agar tampak keren dan peduli. Itu namanya goblok!
***
*) Hasan Gauk lahir di Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 3 Agustus. Seorang penggiat literasi yang membuat perpustakaan jalanan di wilayah selatan Lombok, anggota Gerakan Literasi Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/09/buku-dan-terjaganya-kebodohan/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire