jeudi 19 novembre 2020

Buku, dan Terjaganya Kebodohan

Hasan Gauk *
 
Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan kegiatan riset, turun setiap hari menemui masyarakat, mewawancarai, juga ke beberapa lembaga pemerintahan. Tak jarang menginap di rumah warga, jika narasumber yang saya temui melarang saya pulang malam, “Daerah ini masih rawan, Nak, mending menginap saja.” Sebenarnya, saya sama sekali tidak pernah khawatir itu, toh beberapa orang tetua dari si pembuat resah masyarakat saya kenal baik. Tetapi, karena jarak tempuh yang kadang kerap jauh, dan dinginnya serbuan angin malam, jika kekeh melaju dengan motor bebek untuk pulang dan tidur di rumah. Alasan lain juga karena di kawasan ini menjanjikan makanan laut seperti ikan, cumi, dan kepiting yang membuat niatan pulang selalu tak benar-benar saya laksanakan.
 
Setelah keesokan harinya, saya akan berangkat ke kota, menemui kepala dinas dari beberapa instansi untuk mewawancarai. Sepulang perjalanan di kota, saya kerap melihat beberapa pegiat literasi membuka lapak di pinggir-pinggir jalan di taman kota, dan saya bisa memastikan hal itu, karena dengan jelas terpampang papan besar bertuliskan “Perpustakaan Gratis”. Alhamdulillah, ternyata masih banyak yang peduli dengan minimnya tingkat pengetahuan kita. Namun dibalik pengelihatan itu, justru ada kesedihan yang teramat mendalam. Baik terhadap pemerintah dan beberapa pegiat literasi.
 
Kesedihan ini cukup mendasari, kenapa setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, sebut saja festival misalnya, selalu diadakan di kota? Kenapa semua kegiatan harus terfokus di kota? Begitu juga dengan para pegiat itu?!
 
Di pelosok-pelosok, ada beberapa martir-martir literasi yang terus bergerak, tapi mereka tidak memiliki cukup kapasitas, jangkauannya juga tidak luas, walupun senantiasa berjuang tertatih-tatih dengan bacaan yang selalu dijajakan seadanya. Saya semakin khawatir melihat kondisi ini, setelah beberapa kali mendapati para pelapak buku gratis hanya menggelar karpetnya di taman-taman kota? Lalu pertanyaan di benak ini muncul, sebodoh itukah orang kota, sehingga orang-orang yang melabeli diri mereka pegiat buku, hanya mau melapakkan perpustakaan mereka di kota? Sebaliknya orang-orang yang tinggal di dusun, di pelosok-pelosok itu cukup cerdaskah, sehingga tidak membutuhkan bacaan lagi?!
 
Seperti yang kerap kita baca dan tonton di beberapa media. Di luar sana, oknum-oknum yang gemar menyita buku dengan alasan tidak cocok beredar di negeri ini? Saya rasakan itu cukup absurd, coba telisik, hanya buku-buku berkelas yang menyuguhkan teori, data, dan revisi yang cukup revolusioner yang kerap menjadi target dan bulan-bulanan orang-orang goblok tersebut. Kau tidak percaya? Cobalah sesekali ajak mereka diskusi, pernah tidak membaca buku-buku yang mereka sita, sehingga tahu kadar betapa berbahayanya buku itu jika dibaca masyarakat negeri ketiga ini?! Atau jangan-jangan, banyak rahasia yang selama ini disembunyikan akan terungkap, kalau buku-buku tersebut beredar luas di masyarakat?
 
Lalu pertanyaannya, apakah model pendidikan kita memang sengaja disetel untuk tetap melamban? Dengan kata lain, masyarakat dibiarkan tidak tahu atas kebenaran-kebenaran sejarah bangsanya? Ini sama halnya dengan langkah pemerintah dan pegiat literasi yang kerap melakukan kegiatan di kota saja, mereka secara tidak langsung ikut serta dengan oknum turut menjaga agar kebodohan tetep berlanjut atau tetap terpelihara.
 
Di wilayah-wilayah marjinal, pelosok-pelosok, dusun-dusun, justru di sinilah kita mestinya bergotong royong membangun kesadaran serta kecintaan masyarakat terhadap pentingnya budaya baca (pengetahuan). Di sini kita seyogyanya berlomba-lomba melapak di setiap dusun, pelosok, dan tempat-tempat terpencil lainnya, mengajar, dan bercerita, bukan malah berlomba melakukan kegiatan di kota agar tampak keren dan peduli. Itu namanya goblok!
***
 
*) Hasan Gauk lahir di Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 3 Agustus. Seorang penggiat literasi yang membuat perpustakaan jalanan di wilayah selatan Lombok, anggota Gerakan Literasi Indonesia.

http://sastra-indonesia.com/2020/09/buku-dan-terjaganya-kebodohan/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria