Beberapa bulan lalu saya kelar membaca salah satu karya kontroversial Yu Hua, To Live (Hidup) yang sempat dilarang beredar di tanah airnya, China. Novel terjemahan Agustinus Wibowo ini mendapat tempat di hati saya. Ia membekas. "Satu buku akan mengantarmu menuju buku yang lain," kalimat ini bertuah. Saya akhirnya mencari buku Yu Hua yang lain.
Saya lalu mendapatkan Chronicle Of A Blood Merchant (Kisah Seorang Pedagang Darah) dan menamatkannya beberapa hari yang lalu. Karya dengan penerjemah yang sama ini mengambil latar tempat dan waktu yang sama dengan novel sebelumnya -- kurang lebih beberapa waktu jelang dan saat Revolusi Kebudayaan rezim Mao Zedong merentang (1966-1976) dengan kampanye tersohornya Lompatan Hebat ke Depan (Great Leap Forward). Ini adalah bagian dari transisi menuju sosialisme.
Tema besar dan lanskap cerita dalam kedua novel ini pun kurang lebih sama, dengan beberapa modifikasi karakter dan alur cerita. Jika dalam To Live, alur ceritanya mundur maka dalam Chronicle Of A Blood Merchant alur maju yang digunakan. Yu Hua membangun ceritanya dari masing-masing karakter dalam satu keluarga batih dengan kompleksitas kehidupan di zamannya yang memilukan.
Sebagai orang yang turut mengecap pahitnya kehidupan pada masa Revolusi Kebudayaan, Yu Hua di dalam novel ini, menampilkan potret paling telanjang tentang kehidupan kelas-kelas pekerja (petani dan buruh) saat itu. Dengan gaya bahasa yang ringan dan ringkas, Yu Hua saya kira adalah salah seorang penulis yang cukup berhasil 'menghidupkan' kisah-kisah tragis, suram, dan getir dengan banyolan. Namun, meski sisipan banyolan itu kerap melintas dalam ceritanya, sebagai pembaca, hati saya seperti tetap tertikam oleh tragedi-tragedi yang hadir di sana.
Di dalam kedua novel ini, Yu Hua kerap menghadirkan kematian dengan caranya yang absurd. Pun penderitaan. Yang konsisten dari Yu Hua, setidak-tidaknya dari tiap-tiap karakter yang menggulati penderitaan dan kematian, ia optimistis terhadap kehidupan; bahwa harapan selalu ada untuk para pejuang kehidupan.
Saya pikir, kedua karya yang terbit pada tahun 1993 ini tetap relevan untuk dibaca hingga kapan pun. Di masa pagebluk yang entah kapan berakhir dengan kematian yang akrab dan datang bertubi-tubi, menyiasati hidup itu perlu. Kira-kira demikian pesan Yu Hua.
ps, 310720
*) Juan Kromen, lahir di Waibalun, Flores Timur, NTT. Penikmat sastra dan kopi hitam tanpa gula. http://sastra-indonesia.com/2020/09/membaca-yu-hua-to-live-chronicle-of-a-blood-merchant/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire