Erwin Setia *
Ini kisah tentang seorang lelaki yang dianggap gila oleh keluarganya sendiri. Pada sepuluh tahun terakhir kehidupannya, ia memilih hidup menggelandang, berkawan bersama para begundal di Bahia. Dia menghabiskan sisa hidupnya di tempat-tempat yang membuat “orang-orang baik” memicingkan mata: bar, rumah pelacuran, meja judi. Di Bahia ia terkenal sebagai seorang raja miras. Dia biasa menenggak miras dalam sekali tegukan dan mengeluarkan “ringkikan seekor hewan yang terluka parah” selepas menandaskan minuman tersebut. Ringkikan itulah yang membuatnya memperoleh julukan “Quincas Si Miras Meringkik”.
Novela penuh olok-olok vulgar ini dibuka dengan kematian Quincas Si Miras Meringkik dan memang topik itulah yang dibahas sampai ujung halaman. Tetapi kematian Quincas hanyalah kendaraan Jorge Amado untuk menyetir ceritanya menuju banyak hal. Lewat kematian Quincas ia mengungkapkan kedegilan dan kebusukan anggota keluarga Quincas. Orang-orang terdekat Quincas—anak, menantu, saudara, dan saudarinya—menganggap Quincas tak lebih dari gelandangan, yang karena itu mereka pun jadi tak sepenuh hati mengurus jenazahnya. Di antara bukti ketakbecusan mereka mengurus jenazah Quincas adalah kata-kata Marocas--saudari Quincas--berikut ini: “Apa mereka tidak memakaikannya parfum? Bau busuknya sampai ke langit ketujuh.” Padahal, mereka tahu bahwa sebelumnya Quincas adalah lelaki baik dan terhormat. Tetapi keputusan Quincas bergaul bersama orang-orang jalanan di sisa umurnya seketika mengubah pandangan mereka terhadap Quincas.
Di sisi lain, para sahabat Quincas yang keluarga Quincas sebut sebagai berandalan, begitu bersedih hati manakala mendapati kabar kematian Quincas. Empat sekawan Curio, Pastinha Si Negro, Kopral Martim, dan Pe-de-Vento langsung berduyun-duyun menyambangi tempat jenazah Quincas dibaringkan. Mereka melayat Quincas dengan ketulusan seorang kawan baik. Kesedihan dan ketulusan mereka lebih murni daripada anggota keluarga Quincas sendiri.
Bagian di mana empat sekawan itu melayat Quincas tak ubahnya tonjokan terhadap pandangan umum bahwa mereka hanyalah sampah masyarakat yang tak punya hati dan tak kenal kebaikan. Kenyataannya, di hadapan jenazah Quincas, mereka jauh lebih beradab daripada orang-orang yang sering menyepelekan mereka. Mereka rela menemani jenazah Quincas semalaman di tempat yang sama sekali tak nyaman. Memang mereka pun masih menampakkan egoisme dan kepolosan seorang berandalan saat di depan jenazah Quincas. Tetapi itu tak mengubah fakta betapa mereka jauh lebih manusiawi daripada Vanda, Leonardo, Eduardo, dan Marocas—para anggota keluarga Quincas.
Dalam “Dua Kematian Quincas Si Miras Meringkik” kesetiakawanan kaum begundal tampak jauh lebih mulia daripada relasi kekeluargaan. Dan kita bisa menarik hal itu ke dalam kehidupan nyata, di mana dalam banyak kasus, orang-orang selain anggota keluarga, orang-orang yang oleh keluarga dianggap sebagai tak berguna dan tukang bikin perkara, rupanya bisa menjadi orang-orang yang paling akhir pergi meninggalkan kuburan “kita”, bisa menjadi orang-orang yang tangisnya paling kencang saat “kita” terkena nasib buruk. Pada akhirnya, ketulusan mengalahkan segala macam omong kosong ‘relationship'.
16 Oktober 2020
*) Erwin Setia lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik.com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018). Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14. http://sastra-indonesia.com/2020/11/ketulusan-para-berandalan/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire