jeudi 19 novembre 2020

NASKAH MONOPLAY: BALADA LEDEK TAYUB

Karya: Agus R. Subagyo
 
SINOPSIS:
 
Seorang penari berusia paruh baya bernama Wgati Anandita. Pemilik sanggar tari warisan dari neneknya yang juga seorang penari. Tapi ibunya tak pernah mengijinkannya menjadi penari dan melarangnya sejak kecil.
 
ADEGAN
 
Di sanggar tari.
Musik mengalun.
Lampu menyala.
 
1.
Aku adalah seorang anak tunggal dari seorang penjual sayur. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku, karena ayahku meninggal saat aku masih kecil, dan ibuku tidak menikah lagi. Dari kecil, aku suka sekali menonton pagelaran tari, terutama tayub yang sering diadakan di desaku. Aku selalu mencuri waktu untuk menyaksikannya bersama teman-teman sebayaku. Karena ibuku selalu melarangnya. Ada aroma khas, setiap kali aku menyaksikan tayuban, dan pada saat itu aku tidak tahu aroma apa itu sebenarnya. Aroma yang hanya ada di acara tayuban. Yang baru aku tahu saat dewasa. Ternyata itu aroma minuman. Ya, aroma yang diminum oleh orang-orang dan tamu di hajatan yang nanggap tayub.
 
2.
Ibuku selalu saja bisa menemukanku di tempat tayuban... dan mengajakku pulang. Aku selalu menggerutu, karena masih ingin melihat. Tapi ibuku bersikukuh dan memaksaku pulang. Saat berjalan pulang... aku menirukan gerakan-gerakan tari tanpa sadar. Ibuku pasti geram dan pelototi aku. Aku selalu tersenyum, teringat peristiwa-peristiwa saat aku kecil dulu. Ternyata aku bandel sejak kecil...
 
3.
Saat aku kelas 5 SD, aku diajari tari oleh guruku, karena diikutkan lomba mewakili sekolah. Awalnya ibuku tidak mengijinkan. Tapi saat kepala sekolah datang ke rumah, ibuku akhirnya mengijinkan. Tiap hari latihannya di sanggar. Hasilnya jadi juara 1 dan maju ke tingkat provinsi. Mulai saat itu, aku ikut sanggar dan belajar tari sepulang sekolah. Aku tidak minta ijin ibu, karena aku tahu pasti tidak diijinkan.
 
4.
Suatu ketika saat aku kelas 1 SMA, ibuku pulang dari pasar dan melihatku latihan di sanggar. Ibuku memanggilku dan mengajakku pulang dan sampai rumah, ibuku memarahiku.
 
5.
(Ibu) Mulai besok kamu tidak boleh belajar tari! Aku menyekolahkanmu agar nanti bisa cari kerja, jadi pegawai atau guru, bukan jadi penari! Ibu tidak ingin kamu bernasib seperti nenekmu! Sekolah saja yang bener. Gak usah neko-neko belajar tari segala.”
 
6.
Setelah kejadian itu, aku mulai berbohong pada ibuku saat pulang telat karena latihan tari. Yang belajar kelompoklah. Yang ada kegiatan sekolahlah. Yang ke rumah temanlah. Kebohongan demi kebohongan mengalir begitu saja, saat aku ditanya sama ibuku.
 
7.
Entahlah! Sudah seberapa tinggi tumpukan kebohonganku pada ibuku. Sudah begitu banyak dosaku padamu, ibu. Sepulang sekolah aku selalu latihan tari dan selalu pulang sore. Setiap ditanya sama ibu, aku menjawab ada tugas kelompok. Ya, aku selalu berbohong pada ibu.
 
8.
Maafkan aku ibu. Aku telah berbohong padamu. Agar ibu tidak marah, agar ibu tidak khawatir. Aku berbohong, karena ingin belajar tari dan ingin menjadi penari. Mewujudkan cita-citaku, ibu.
 
9.
Ya... itu adalah cerita masa laluku. Aku memang bandel sejak kecil. Saat kelas 3 SMA, aku daftar beasiswa kuliah jurusan tari dan diterima. Tentu tanpa sepengetahuan ibuku. Saat tahu ibuku marah!
 
10.
(Ibu) Kuliah tari? Kamu kuliah jurusan lain saja. Jurusan ekonomi atau yang lainnya, biar jadi pegawai bank atau pegawai negeri. Jangan kuliah tari. Nanti aku carikan biayanya.
 
11.
Bu... aku dapatnya beasiswa tari bukan ekonomi. Bu... ijinkan aku wujudkan keinginan dan cita-citaku Bu.  Ijinkanlah bu....
 
12.
(Ibu) Tidak! Kamu gak boleh kuliah tari. Kamu gak boleh jadi penari.
 
13.
(Eyang Putri Sepuh tiba-tiba berada di pintu). Sepertinya ada kabar bahagia. Tapi kenapa kemarahan yang menyambutnya? (jeda).
Tadi aku dengar Wigati dapat beasiswa tari.
 
14.
Iya Eyang... tapi ibu gak mengijinkan.
 
15.
(Eyang Putri Sepuh). Iya aku sudah dengar tadi... Nduk Cah Ayu, Ibumu butuh dibuka hatinya. Butuh dibuka pikirannya. Baik buruknya manusia itu ditentukan oleh dirinya masing-masing. Sudahlah. Ijinkan anakmu wujudkan cita-citanya jadi penari. Kamu tidak mengijinkan, berarti kamu tidak berusaha menjadi ibu yang baik. Orang tua itu tugasnya mengantarkan anak hidup di jamannya, hidup di dunianya, seperti yang dikatakan W.S. Rendra.
Orang tua tidak boleh menyeret anaknya untuk hidup di jamannya, apalagi dengan ketakutan-ketakutanmu. Biarkan anak menjalani hidupnya dan menjadi dirinya.
 
16.
(Eyang Putri Sepuh). Anak itu hanya titipan nduk... Aku tahu kamu membenci tayub... sebenarnya tayub itu bagus... Tayub itu dari Tayuh lan Guyub. Tayuh itu wujud terima kasih dan syukur pada semesta dan Tuhan, sedang Guyub itu dilaksanakan bersama-sama dengan keguyuban. Tayub itu adalah tari-tarian suka ria pesta panen, mengungkapkan rasa syukur setelah mendapatkan berkah panenan. Ya, aku tahu tayub sekarang memang sudah kebablasan. Semua tergantung orangnya masing-masing Nduk.
 
17.
(Ibu) Tapi Budhe...
 
18.
(Eyang Putri Sepuh). Sulastri Ibumu yang kamu maksud? Aku dan Sulastri adikku satu-satunya. Adalah penari. Tapi nasib Sulastri memang beda. Anggap itu semua sebagai ujian dari Yang Maha Kuasa. Perlu kamu tahu Darmi, Ibumu dulu waktu masih remaja punya keinginan dan cita-cita mendirikan sanggar tari. Tapi tidak bisa terwujud gara-gara musibah itu dan mengajakmu pindah kesini. Dan perlu kamu tahu Darmi, anakmu Wigati selama ini latihan tari di sanggar tari miliknya sendiri. Semua yang berkaitan dengan Sanggar Tari Sayekti atas nama WIGATI ANANDITA dan itu kamu nduk.
 
19.
(Eyang Putri Sepuh). Sekarang biarkan anakmu wedok mengasah ilmu untuk mengembangkan sanggar tarinya. Masalah biaya kuliah, anakmu sudah punya biayanya apalagi dapat beasiswa. Semuanya dari sanggar dan semua nanti aku yang atur.
 
20.
(Eyang Putri Sepuh). Ini mimpi yang terwujud jadi kenyataan. Bukankah kamu juga punya keinginan punya sanggar tari? Nah... nanti setelah kamu lulus kuliah, semua akan aku serahkan padamu. Lagian aku tidak memiliki keturunan.
 
21.
(Eyang Putri Sepuh). Wigati... Pesanku... Tetaplah jadi cucuku yang sederhana, rajin belajar dan tetaplah latihan seperti biasa di sanggar. (jeda).
Bagaimana Darmi? Masihkan kau dendam pada masa lalu? Masa lalu ibumu?
 
22.
(Sudarmi menahan tangis dan beranjak masuk kamar. Wigati dan Sarinah memandangi. Keluar kamar membawa sampur/selendang tari).
(Ibu) Maafkan aku nduk, anakku. Selama ini aku merahasiakannya. Selama ini aku tak melaksanakan pesan Mbah Putrimu untuk memberikan ini pada cucunya. Untuk memberikan ini padamu nduk. (jeda). Nduk, anakku. Maafkan ibu... selama ini ibu menyimpan dan tidak memberitahukan padamu. Aku menyimpannya dan tak memberikannya padamu, karena aku tak ingin kamu jadi penari. Sekarang terimalah dan wujudkan cita-citamu. Aku ijinkan kamu kuliah tari... aku ijinkan kamu jadi penari. Aku restui kau wujudkan cita-citamu nduk.
 
23.
Iya bu... terima kasih. Aku tidak pernah membenci ibu. Maafkan juga anakmu ini. Terima kasih ibu... terima kasih. Maafkan anakmu ini yang selalu bandel dan sering bohong sama ibu. Terima kasih bu... Aku berjanji akan membanggakan ibu.  
 
24.
Terima kasih ibu. Kau adalah ibuku sekaligus pahlawanku.
 
LAMPU MATI (BLACK OUT)
TAMAT

http://sastra-indonesia.com/2020/11/naskah-monoplay-balada-ledek-tayub/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria