lundi 16 novembre 2020

NIKITA MIRZANI ITU PADANG KURUSETRA DALAM BHARATAYUDHA

  

Djoko Saryono *
 
Nikita Mirzani adalah padang kurusetra dalam Bharatayudha, medan pertempuran di perang mahadahsyat yang berakhir dengan ketiadaan, tak ada pihak yang menang dan kalah dalam arti sebenarnya. Pandawa dan Kurawa hancur, malah sama-sama punah. Pandawa alamat segala positivitas dan Kurawa alamat segala negativitas sama-sama punah, keberlanjutan trah atau generasi terputus, keduanya menjadi 'nothing' dalam pengertian filosofis.
 
Bagaikan Kurawa malah mungkin Duryudana, Nikita Mirzani telah menjadi alamat negativitas bagi blok HRS. Blok HRS bagaikan Pandawa mengklaim menjadi alamat segala positivitas. Dengan berbagai strategi dan retorika, blok HRS mengonstruksi sekaligus mengidentifikasi diri sebagai sosok positivitas, tempat segala kebenaran, kebaikan, kebersihan, dan kesucian berkerumun di situ. Pada sisi lain, blok HRS juga mengonstruksi sekaligus mengidentifikasi diri Nikita Mirzani sebagai sosok negativitas, tempat segala kesalahan, kebobrokan, kebejatan, keburukan, dan kekotoran bermukim di situ. Di sinilah kita menyaksikan pertempuran positivitas melawan negativitas yang termanifestasi dalam blok HRS sebagai institusi versus Nikita Mirzani sebagai persona.
 
Berbeda dengan individu pada umumnya di Indonesia yang selalu memosisikan diri sebagai korban saat mengalami negativisasi diri, Nikita Mirzani justru menempatkan dan menegaskan diri sebagai subjek. Dia dengan berani dan bernyali memosisikan sebagai subjek yang melawan negativitas yang sudah dikonstruksi sekaligus tersemat dalam dirinya. Bukan hanya penuh keberanian dan ketegasan, tapi juga sarat keluhuran dan keanggunan dia melakukan perlawanan tanpa beban sama sekali di mata publik. Bukankah dalam diri Nikita sudah bersatu segala kerendahan dan kenistaan yang dikonstruksi oleh Blok HRS, dan publik sudah tahu semua, sehingga dia tak perlu lagi repot mencari pupur kepura-puraan dan topeng martabat dan harkat diri lagi? Maka bahasa dan diksi keburukan dan keculasan yang dilayangkan oleh Blok HRS justru dilawan dengan bahasa dan diksi penuh keanggunan dan kesantunan oleh Nikita. Bukankah Nikita sama sekali tak terpancing menggunakan "linguistik dan retorika kebusukan" yang datang dari Blok HRS? Nikita malah membangun "linguistik dan retorika empatik" dalam usaha perlawanannya.
 
Strategi dan retorika perlawanan demikianlah yang kemudian menjadi magnet bagi Nikita, menjadi awal berhimpunannya energi moral dan kultural dari berbagai pihak di luar Blok HRS dan di luar diri Nikita. Kita menyaksikan perlahan-lahan Nikita bertiwikrama atau bermetamarfosa dari persona ke institusi. Berbagai pihak di luar Blok HRS dan diri Nikita berhimpun dan bergabung ke dalam diri Nikita, sehingga Nikita berubah dari persona menjadi institusi. Negativitas diri Nikita yang sudah dikonstruksi oleh Blok RHS begitu rupa pun akhirnya ambyar alias hancur, karena dalam diri Nikita sebagai institusi telah bersatu berbagai positivitas alternatif atau lain. Bukankah banyak kelompok masyarakat yang diam kemudian terang-terangan mendukung Nikita? Negativitas yang ada dalam diri Nikita tertimbun oleh positivitas alternatif yang telah melekat dalam dirinya. Dengan positivitas alternatif inilah Nikita sebagai institusi lantas membongkar dan "memboleng" (maaf, istilah tukang jagal) negativitas yang sebenarnya sejak awal terkandung dalam konstruksi positivitas yang dibangun oleh Blok HRS.
 
Di situlah kita menyaksikan hukum yin yang bekerja atau hukum kamal-jamal berfungsi. Dalam filsafat Timur bukankah sudah lama didalilkan kebaikan dan keburukan atau hitam dan putih itu koeksisten dan menyatu dalam setiap eksistensi. Demikian juga dalam pemikiran klasik Islam juga sudah diyakini setiap kebaikan menggendong keburukan pada satu sisi, dan pada sisi lain setiap keburukan selalu membopong banyak kebaikan. Tinggal bagaimana mata kita melihatnya. Begitulah, kita sedang menyaksikan kebaikan-kebaikan yang sedang berhimpun dan bergabung dalam diri Nikita yang sudah dikonstruksi oleh Blok HRS penuh keburukan. Kini Nikita perlahan terus bermetamarfosa menjadi positivitas alternatif yang dengan berani, bernyali, dan anggun melawan positivitas yang dikonstruksi oleh Blok HRS. Ah...sampai di sini saya jadi ingat lakon Damarwulan Kembar -- yang mana Damarwulan asli dan gadungan sukar ditentukan!
 
Dalam pertarungan positivitas alternatif yang terkonstruksi dalam diri Nikita melawan positivitas yang dikonstruksi oleh Blok HRS, di manakah posisi pemerintah atau penguasa? Terus terang, saya tak tahu. Dalam perspektif Bharatayudha, mungkin penguasa berposisi sebagai Bisma yang masgul melulu menyaksikan dahsyatnya Bharatayudha dan menanti Srikandi yang akan menjemput ajalnya. Mungkin pula penguasa berposisi sebagai Kresna yang kerap tak adil dan curang demi kemenangan Pandawa. Dalam perspektif lakon mashur Shakesperare, mungkin saja penguasa berposisi sebagai Hamlet, pangeran Denmark yang peragu.
 
Catatan: Memenuhi janji kepada Nurel Javissyarqi.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani-itu-padang-kurusetra-dalam-bharatayudha/
 
Catatan terkait:
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani/

http://sastra-indonesia.com/2020/11/mirszani-niki-ta/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria