Djoko Saryono *
Nikita Mirzani adalah padang kurusetra dalam Bharatayudha, medan pertempuran di perang mahadahsyat yang berakhir dengan ketiadaan, tak ada pihak yang menang dan kalah dalam arti sebenarnya. Pandawa dan Kurawa hancur, malah sama-sama punah. Pandawa alamat segala positivitas dan Kurawa alamat segala negativitas sama-sama punah, keberlanjutan trah atau generasi terputus, keduanya menjadi 'nothing' dalam pengertian filosofis.
Bagaikan Kurawa malah mungkin Duryudana, Nikita Mirzani telah menjadi alamat negativitas bagi blok HRS. Blok HRS bagaikan Pandawa mengklaim menjadi alamat segala positivitas. Dengan berbagai strategi dan retorika, blok HRS mengonstruksi sekaligus mengidentifikasi diri sebagai sosok positivitas, tempat segala kebenaran, kebaikan, kebersihan, dan kesucian berkerumun di situ. Pada sisi lain, blok HRS juga mengonstruksi sekaligus mengidentifikasi diri Nikita Mirzani sebagai sosok negativitas, tempat segala kesalahan, kebobrokan, kebejatan, keburukan, dan kekotoran bermukim di situ. Di sinilah kita menyaksikan pertempuran positivitas melawan negativitas yang termanifestasi dalam blok HRS sebagai institusi versus Nikita Mirzani sebagai persona.
Berbeda dengan individu pada umumnya di Indonesia yang selalu memosisikan diri sebagai korban saat mengalami negativisasi diri, Nikita Mirzani justru menempatkan dan menegaskan diri sebagai subjek. Dia dengan berani dan bernyali memosisikan sebagai subjek yang melawan negativitas yang sudah dikonstruksi sekaligus tersemat dalam dirinya. Bukan hanya penuh keberanian dan ketegasan, tapi juga sarat keluhuran dan keanggunan dia melakukan perlawanan tanpa beban sama sekali di mata publik. Bukankah dalam diri Nikita sudah bersatu segala kerendahan dan kenistaan yang dikonstruksi oleh Blok HRS, dan publik sudah tahu semua, sehingga dia tak perlu lagi repot mencari pupur kepura-puraan dan topeng martabat dan harkat diri lagi? Maka bahasa dan diksi keburukan dan keculasan yang dilayangkan oleh Blok HRS justru dilawan dengan bahasa dan diksi penuh keanggunan dan kesantunan oleh Nikita. Bukankah Nikita sama sekali tak terpancing menggunakan "linguistik dan retorika kebusukan" yang datang dari Blok HRS? Nikita malah membangun "linguistik dan retorika empatik" dalam usaha perlawanannya.
Strategi dan retorika perlawanan demikianlah yang kemudian menjadi magnet bagi Nikita, menjadi awal berhimpunannya energi moral dan kultural dari berbagai pihak di luar Blok HRS dan di luar diri Nikita. Kita menyaksikan perlahan-lahan Nikita bertiwikrama atau bermetamarfosa dari persona ke institusi. Berbagai pihak di luar Blok HRS dan diri Nikita berhimpun dan bergabung ke dalam diri Nikita, sehingga Nikita berubah dari persona menjadi institusi. Negativitas diri Nikita yang sudah dikonstruksi oleh Blok RHS begitu rupa pun akhirnya ambyar alias hancur, karena dalam diri Nikita sebagai institusi telah bersatu berbagai positivitas alternatif atau lain. Bukankah banyak kelompok masyarakat yang diam kemudian terang-terangan mendukung Nikita? Negativitas yang ada dalam diri Nikita tertimbun oleh positivitas alternatif yang telah melekat dalam dirinya. Dengan positivitas alternatif inilah Nikita sebagai institusi lantas membongkar dan "memboleng" (maaf, istilah tukang jagal) negativitas yang sebenarnya sejak awal terkandung dalam konstruksi positivitas yang dibangun oleh Blok HRS.
Di situlah kita menyaksikan hukum yin yang bekerja atau hukum kamal-jamal berfungsi. Dalam filsafat Timur bukankah sudah lama didalilkan kebaikan dan keburukan atau hitam dan putih itu koeksisten dan menyatu dalam setiap eksistensi. Demikian juga dalam pemikiran klasik Islam juga sudah diyakini setiap kebaikan menggendong keburukan pada satu sisi, dan pada sisi lain setiap keburukan selalu membopong banyak kebaikan. Tinggal bagaimana mata kita melihatnya. Begitulah, kita sedang menyaksikan kebaikan-kebaikan yang sedang berhimpun dan bergabung dalam diri Nikita yang sudah dikonstruksi oleh Blok HRS penuh keburukan. Kini Nikita perlahan terus bermetamarfosa menjadi positivitas alternatif yang dengan berani, bernyali, dan anggun melawan positivitas yang dikonstruksi oleh Blok HRS. Ah...sampai di sini saya jadi ingat lakon Damarwulan Kembar -- yang mana Damarwulan asli dan gadungan sukar ditentukan!
Dalam pertarungan positivitas alternatif yang terkonstruksi dalam diri Nikita melawan positivitas yang dikonstruksi oleh Blok HRS, di manakah posisi pemerintah atau penguasa? Terus terang, saya tak tahu. Dalam perspektif Bharatayudha, mungkin penguasa berposisi sebagai Bisma yang masgul melulu menyaksikan dahsyatnya Bharatayudha dan menanti Srikandi yang akan menjemput ajalnya. Mungkin pula penguasa berposisi sebagai Kresna yang kerap tak adil dan curang demi kemenangan Pandawa. Dalam perspektif lakon mashur Shakesperare, mungkin saja penguasa berposisi sebagai Hamlet, pangeran Denmark yang peragu.
Catatan: Memenuhi janji kepada Nurel Javissyarqi.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani-itu-padang-kurusetra-dalam-bharatayudha/
Catatan terkait:
http://sastra-indonesia.com/2020/11/nikita-mirzani/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire