Kucing Beling
Mesin jahit di atas meja. Meja di atas usungan. Usungan di atas selusin
pundak. Dan di mesin jahit itu dia menjahit tubuhku yang telah digunting dan
dimal. Setelah dibentang seperti 7 meter kafan. Dan ditaburi minyak serimpi.
Minyak si penari yang telah membuat usia menyingkap kerahasiaannya. Membiarkan
risik tertabur pada yang tak pernah mengatupkan mulutnya: “Aku ingin menghadap
tanpa riasan apa pun. Aku adalah teja senja yang tak terduga!”
Tapi, selusin pundak terus mengusung dan bergerak. Seperti gerak pelayat
ketika selusin cahaya tumpas. Dan arah jalan menjadi lurus. Yang di
kanan-kirinya sekian kucing berjejer. Kucing beling yang bermata bening. Kucing
yang terus menatap dia yang menjahit tubuhku. Dan saat itu, aku merasa, dia
menyerahkan kerjanya pada gambang. Gambang yang bertalu. Yang taluannya merambat
dari depa ke depa. Dan jatuh pada kening Hawa. Yang tergagap saat maut menepuk
pundak Adam.
Maut yang menggandeng dan mengajak Adam menyelam ke teluk. Seperti penyu
yang menyelam setelah bertelur di pasir. Seperti meteor yang berisik di langit.
Yang mencari jejak henti di tempat entah. Tempat yang selalu mengawetkan lubang
kubur: “Saudara, bersediakah jadi saksi atas hidup orang ini?” Ya, pinta talkin
akan dibuka sehabis penguburanku nanti. Dan tubuhku yang telah digunting, dimal
serta dijahit itu, tinggal dipasanginya kancing.
Nasi Pandan
“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!” Dan dengan
kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang
ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya begitu menggiurkan.
Barangkali, gumpal-gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah
diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu
berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung
sendiri setiap membuat nasi pandan,”
Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah
mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor
itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan
menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si
jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku
teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!”
Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti
kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke
jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti
menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama
mengancam, hilir-mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal
cahaya itu!” sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan
akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.
Bukit Onik
Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat
cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti manabuhi
lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah
aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak
pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik
Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul,” sambil terus berbalik dan
hilang di hutan bambu yang penuh warna.
Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama
persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu
atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai.
Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan
membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit
onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat:
“Percayalah, dia selalu menampik tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat,”
“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku.
Terpisah paksa atau pasrah!” Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya
telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami,
seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan
saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah
melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang
kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!”
(Gresik, 2007)
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka
puJAngga, 2010.
MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra
Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai
media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo,
HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT,
Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah:
Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia
(Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002),
Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK,
1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004)
dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah
Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan
lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang
Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti
Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi
(2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale
(2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-puisi-mardi-luhung-4/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire