mercredi 18 novembre 2020

Puisi-Puisi Mardi Luhung

Kucing Beling
 
Mesin jahit di atas meja. Meja di atas usungan. Usungan di atas selusin pundak. Dan di mesin jahit itu dia menjahit tubuhku yang telah digunting dan dimal. Setelah dibentang seperti 7 meter kafan. Dan ditaburi minyak serimpi. Minyak si penari yang telah membuat usia menyingkap kerahasiaannya. Membiarkan risik tertabur pada yang tak pernah mengatupkan mulutnya: “Aku ingin menghadap tanpa riasan apa pun. Aku adalah teja senja yang tak terduga!”
 
Tapi, selusin pundak terus mengusung dan bergerak. Seperti gerak pelayat ketika selusin cahaya tumpas. Dan arah jalan menjadi lurus. Yang di kanan-kirinya sekian kucing berjejer. Kucing beling yang bermata bening. Kucing yang terus menatap dia yang menjahit tubuhku. Dan saat itu, aku merasa, dia menyerahkan kerjanya pada gambang. Gambang yang bertalu. Yang taluannya merambat dari depa ke depa. Dan jatuh pada kening Hawa. Yang tergagap saat maut menepuk pundak Adam.
 
Maut yang menggandeng dan mengajak Adam menyelam ke teluk. Seperti penyu yang menyelam setelah bertelur di pasir. Seperti meteor yang berisik di langit. Yang mencari jejak henti di tempat entah. Tempat yang selalu mengawetkan lubang kubur: “Saudara, bersediakah jadi saksi atas hidup orang ini?” Ya, pinta talkin akan dibuka sehabis penguburanku nanti. Dan tubuhku yang telah digunting, dimal serta dijahit itu, tinggal dipasanginya kancing.
 
 
 
Nasi Pandan
 
“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!” Dan dengan kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya begitu menggiurkan. Barangkali, gumpal-gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung sendiri setiap membuat nasi pandan,”
 
Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!”
 
Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama mengancam, hilir-mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal cahaya itu!” sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.
 
 
 
Bukit Onik
 
Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti manabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul,” sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.
 
Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat,”
 
“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!” Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!”
 
(Gresik, 2007)
 
*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.
 
MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah: Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002), Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK, 1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006. http://sastra-indonesia.com/2010/07/puisi-puisi-mardi-luhung-4/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria