Bicara tentang sastra, khususnya di Jawa Timur, tentu tak semua orang mampu memahaminya. Terlebih jika sampai berani melontarkan kritik tajam pada sejumlah karya sastra yang ada. Akibatnya, diakui atau tidak, perkembangan sastra di Jatim mengalami kemandegan.
Adalah fakta bahwa Jatim memiliki ratusan bahkan ribuan sarjana di bidang sastra. Akan tetapi, amat sedikit yang mendalami dan mengagendakan kritik sastra. Sekalipun ada, itu tidak lebih dari sikap ekspresif, subjektif, dan sebatas luar-luarnya saja, atau sangat boleh jadi, terlalu bersifat akademis dan teoretis. Maka tak heran bila dunia kesusastraan di Jatim, seolah benar-benar rigid.
Memang benar, belakangan muncul sejumlah karya sastra sastrawan Jatim yang bisa dibilang bermutu. Hal ini ditandai maraknya media massa Jatim yang menyediakan ruang khusus bagi kreativitas sastra-budaya, selain juga menyediakan ruang kritik demi memantik perdebatan kesusastraan, yang dari perdebatan itu diharapkan bisa melahirkan sastrawan-sastrawan baru yang tangguh. Sayangnya, hemat saya, media-media tersebut belum berhasil menampilkan sosok kritikus andal yang berkonsentrasi penuh untuk mengawal kesusastraan di Jatim.
Kendati tidak harus bertitel sarjana atau bergelar doktor di bidang kesusastraan, menjadi kritikus sastra tidaklah mudah. Tugas kritikus sastra, seperti disinggung Budi Darma dalam Harmonium (1995), adalah menemukan yang tidak sanggup terungkap oleh siapa pun, termasuk mungkin oleh pengarangnya sendiri. Jadi setiap pembaca pun bisa menjadi kritikus jika ia mampu melakukan interaksi antara dirinya dan karya sastra. Pembaca jenis ini mempunyai peluang besar untuk menemukan rahasia makna di balik kata-kata.
Sementara pembaca biasa, masih menurut Budi Darma, tak akan berhasil melacak rahasia yang tersembunyi di balik kata-kata. Pembaca dalam kategori ini sebatas memiliki persepsi sedang-sedang saja. Kalau pun dia memaksakan diri untuk menyelami rahasia tersebut, yang terungkap hanyalah kata-kata itu belaka. Dalam dunia kritik sastra, barangkali dia lebih baik menjadi penikmat sastra tanpa harus bersusah payah menjadi kritkus sastra.
Hampir dipastikan, jika pembaca biasa berlagak menjadi kritikus sastra, maka kritiknya akan disibukkan oleh hal-hal yang dangkal. Dengan agak nyinyir Budi Darma mengingatkan, bahwa lalu lintas kritik sastra dapat menjadi dagang sapi. Agar mendapat pasaran, para kritikus-kritikusan menobatkan sastrawan-sastrawan cacing menjadi ular naga, tentu saja ular-ularan belaka. Dengan banyaknya cacing menjadi ular-ularan, kritikus-kritikus ini kemudian bergaya seperti kritikus betulan (Harmonium, hlm.9).
Meskipun demikian, pencarian lorong-lorong rahasia di balik kata-kata merupakan sebuah proses bertahap. Dalam membaca mungkin kritikus menemukan sesuatu. Lalu dia menulis kritik. Kemudian membaca kembali karya yang sama, dia mungkin akan menemukan sesuatu yang lain lagi. Maka beragam kritik dapat ditulisnya mengenai karya yang sama. Penemuan demi penemuan pun terus terkuak, sehingga lahirlah berbagai kritik atas sebuah karya dengan aneka persepsi dan pendekatan yang berlainan.
Kritik(us) Sastra
Seperti halnya karya sastra, kritik sastra juga merupakan karya seni. Sebagai seni, kritik sastra pada gilirannya akan memantik kritik sastra lain, teori sastra. Karena itu, kritik apa pun dengan berbagai pendekatan tidak dianggap sebagai kritik sastra (bermutu) jika kritik itu tidak mampu membongkar makna terdalam dari suatu karya. Maka menjadi kritikus senyatanya adalah orang yang benar-benar menulis apa yang dikuasainya dengan cara yang juga dikuasainya.
Adapun perbedaan karya sastra dan kritik sastra, antara lain, bisa dilihat dari sisi objek fungsionalnya. Kalau karya sastra memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya kepada perasaan, sedangkan kritik sastra lebih ke masalah fikiran. Dengan kata lain, karya sastra mengajak manusia untuk merasa, sedang kritik sastra lebih mengajak manusia untuk berfikir, berfikir mengenai apa saja yang seharusnya ada atau tidak ada pada suatu karya.
Berbekal pisau analisa yang tajam, seorang kritikus sastra dimungkinkan dapat membedah suatu karya serta membandingkan dengan kenyataan lain yang semestinya dilakukan oleh seorang sastrawan. Si kritikus lalu membandingkan sesuatu yang ada dengan sesuatu yang mungkin ada. Sikap pembandingan semacam itu merupakan aspek penting dalam kritik sastra.
Itulah sebabnya kenapa hanya segelintir orang yang layak disebut kritikus sastra. Dalam kritiknya kritikus wajib mengerti sebuah karya seharusnya begini dan tidak begitu. Misalnya, sebuah cerpen semestinya menggunakan alur cerita begini, sebuah puisi seyogiyanya tidak memakai bahasa begitu, dan seterusnya. Seorang kritikus akan membandingkan suatu karya dengan karya lain yang dinilainya lebih sempurna atau memenuhi norma-norma tertentu.
Namun, bagaimanapun, sebuah nilai sulit dibuktikan kebenarannya. Ia lebih merupakan sesuatu yang boleh disepakati atau tidak. Sementara norma ialah ukuran-ukuran tertentu yang mengatur cara mencapai nilai. Tanpa norma dan nilai, kritik tidak dapat dilakukan. Seorang kritikus dari awal sudah mengetahui nilai suatu karya dikatakan bermutu apabila memenuhi norma-norma tertentu.
Sebelum melancarkan kritik, kritikus terlebih dahulu perlu memahami maksud yang terkandung dalam suatu karya. Dia meneliti sehalus mungkin setiap aspek, bahasa, dan teknik sebuah karya untuk menyelami keterkaitan antara bentuk dan isinya. Sebab hal penting dalam kesusastraan ialah bagaimana isi memengaruhi bentuk dan bagaimana bentuk menyampaikan isi. Baru kemudian kritik dapat dilakukan dengan teknik atau metode tertentu guna menafsir karya tersebut.
Persoalannya, di zaman kehidupan yang kian kompleks ini, tidak gampang untuk memastikan norma-norma dan nilai-nilai sebagai sebuah kritik bersama. Yang pasti, kita menolak kritik sastra secara liar, subjektif, dan kacau. Toh kritik sastra yang objektif masih bisa dicapai, selama sang kritikus berpegang teguh pada kriteria-kriteria yang mutlak bagi suatu karya yang relatif, menguasai teknik-teknik yang digunakan, memahami apa yang dilakukan, dan—yang terpenting—bertanggung jawab—atas kritiknya.
***
*) Ahmad Fatoni, Penyair dan Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab FAI UMM. http://sastra-indonesia.com/2021/01/jalan-sunyi-kritikus-sastra/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire