mardi 26 janvier 2021

ESAI, KRITIK, DIALEKTIK

S. Jai
 
SETIAP karya seni pada dasarnya adalah sebuah poisies—puisi, kata pemikir Martin Heidegger. Lalu apa yang terbayang di benak kita manakala sebuah karya seni—tepatnya seni menulis—ditulis oleh seorang pemuisi, penyair?
 
Dalam sejarah estetika, pemikiran Heidegger ini lantas ditelisik kembali oleh seorang filosof yang konon dia tak memiliki karya dalam bentuk buku, namun percikan pikiran-pikirannya disebut mewarnai jagad konsep estetika di era kontemporer. Dialah Giorgio Agamben.
 
Yang mengejutkan, konsep estetika yang digagasnya tak lain adalah; melawan estetika. Semacam menemukan jalan keluar nihilisme yang diketengahkan Heidegger. Kita tahu kaum nihilis telah begitu masif menafikan, melakukan penyangkalan atas segala pengetahuan; ilusi, tak bermanfaat, tak berarti, nisbi dan tentu saja tak bermakna.
 
Agamben memaknai secara baru dalam karya seni, apa itu ritme—suatu pola yang tersirat dari konsep waktu. Ringkasnya, dalam konsep keindahannya, sublimasi karya seni yang estetis adalah yang bercorak temporal-eksistensial. Dengan kata lain, ketika kita menikmati sebuah karya seni yang sublim, yang mencengangkan, pada saat itulah waktu yang berjalan dalam detik jam dan zaman seakan berhenti sesaat. Bagi Agamben, pengalaman berhadapan dengan karya seni adalah pengalaman paling asali, seperti seorang anak kecil yang memandang seluruh kenyataan dengan ketakjuban artistik. Perlawanan Agamben tak lain dengan cenderung mengartikan segala seni sebagai poiesis sebagai gerak keluar eksistensial yang paling mendasar—sebelum dikonstruksi oleh estetika.
 
Keindahan terang saja akan memiliki maknanya yang mendalam pada saat itu. Bukan saja dalam strukturnya yang indah melainkan juga dunia dalamnya—estetikanya dalam pengertian poiesis sebagai ‘pengetahuan’ tertinggi.
 
Tjahjono Widijanto, sastrawan kelahiran Ngawi, 18 April 1969 ini menyusun karya seni, menulis esai dalam Segugus Esai Budaya di buku ini, sekaligus mengusik pertanyaan yang belakangan ngendon di benak saya; apakah sebuah kritik bisa disampaikan dalam bentuk esai?
 
Dia menuliskannya senantiasa dalam suasana—menukil bahasa Ignas Kleden—“penghormatan pada kegembiraan hidup” dengan pelbagai profesinya, penyair, guru, kritikus, dan sudah barangtentu segala itu meneguhkan dirinya budayawan. Sebagai karya seni, esai-esainya kukuh sebagai tulisan sastra yang mempertimbangan sungguh perkembangan dan pertumbuhan bahasa.
 
Maka, boleh dikata disinilah semacam gang kecil untuk mencari jawab atas pertanyaan, seberapa menarik bila esai ditulis oleh seorang penyair. Seorang penyair adalah penyaksi dari tulisan-tulisan esainya, betapa bahasanya seperti manusia juga, hidup, dinamis, penuh kejutan, sepi yang mencari, menemui dan menemukan kegembiraannya sendiri. Tak terkecuali pertemuan antara kritik dan esai, dalam tulisan-tulisan di buku ini adalah perjumpaan pikiran dan perasaan yang berwarna-warni.
 
Dan, satu hal lagi selain kegembiraan—dan tentu saja harapan—tulisan-tulisan dalam buku ini sebagai gugusan esai menghamparkan begitu banyak dialog. Atau dalam kosa kata penulis yang cukup banyak digunakan dalam buku ini; dialektika. Sebuah kosa kata yang di dalamnya inhern adanya kontradiksi, dilema, paradoks, yang dalam sejarah pemikiran terhitung paling tua sejak Zeno, Socrates, Plato meski tetap aktual dan masih sering dikonfrontasikan dengan demonstrasi itu. Dahulu kala, dahulu sekali konon dialektika dituduh sebagai biang dari memamerkan dosa kesombongan manusia. Sekarang? Entah.
 
Pendeknya, esai-esai karya peraih penghargaan kritik sastra sebanyak tiga kali dari Dewan Kesenian Jakarta ini menempatkan watak dialektika sebagai seni pula. Yakni, seni yang tidak mengizinkan seseorang—siapapun, pembaca—membiarkan sesuatu hal tidak dipersoalkan. Dalam bahasa kesusastraan; seni untuk mengajukan pertanyaan, menggugat, menyoal, memparodikan, bahkan bermain-main terhadap sesuatu hal kenyataan. Prinsipnya seni untuk menjadikan sesuatu pengetahuan; menjadi masalah.
 
Barangkali, dialektika dalam ranah kritik ada semacam ikhtiar untuk menemukan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan sekalipun jawaban kecil. Atau dalam bahasa klise yang diperkenalkan pemikir Johann Gotlieb Fichte; ada tesis, ada anti-tesis ada pula sintesis. Apapun itu, saya kira kita bersetuju dengan Plato bahwa dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau untuk menghasilkan pengetahuan tertinggi.
 
Sebanyak 27 esai dalam buku ini sebagian besar telah dipublikasikan di koran rentang waktu sepuluh tahun (masa jaya koran hingga senjakala media cetak). Sebagian kecil lainnya ada yang sempat termuat dalam buku yang diterbitkan sebelumnya, dan sedikit tulisan dari buku ini “nasibnya’ belum terpublikasi dimana pun dan selama ini masih mendekam di file computer penulis.
 
Demikianlah, segugus esai dalam buku ini banyak berikhtiar menakik pengetahuan tertinggi dari pergulatan dialektika dalam pelbagai ranah budaya; politik, kekuasaan, seks, sastra, sejarah, perdagangan, seni pertunjukan. Juga tradisi, mitologi, ideologi, kebinekaan. Singkat kata pelbagai dialektika budaya kita—lintas budaya, silang waktu budaya—masa silam, masa kini dan teks budaya masa yang akan datang.
 
Pendeknya dialektika segala praktik budaya sebagai konvensi sosial—sebagaimana Roland Barthes katakan—dialektika dalam segugus esai Tjahjono Widijanto, dan tentu saja dengan penerbitan buku ini tak lain adalah dalam rangka ambil bagian di ruang dan waktu pertarungan ideologi. Semoga.
 
Tabik.

*) Sebuah pengantar buku “Dari Jagad Wayang hingga Perahu Lalotang,” kumpulan Esai Tjahjono Widijanto. http://sastra-indonesia.com/2020/03/esai-kritik-dialektik/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria