Sebuah novel perjalanan
hidup yang penuh intrik emosional dan mimpi
Beni Setia
KONSTRUKSI pementasan
wayang kulit bertumpu pada kelir–layar–, di mana si penonton ada di sebelah
luar dan menikmati serta mengapresiasi tampakan dari bayangan wayang yang
dimainkan dalang dan diproyeksikan oleh terang blencong–lampu minyak. Bila
dirinci, di zona batas: hadir wayang yang aktualistik dimainkan dalang, ada
wayang yang siap untuk dimainkan kalau pembabakan dan kebutuhan cerita
memaksanya tampil, dan sekaligus ada wayang-wayang yang hanya jadi pajangan dan
tidak akan dimainkan–berjejer di kiri dan kanan arena cerita yang ditandai oleh
batang pisang buat menegakkan wayang, di antara kelir dan blencong. Sedang di
zona dalam: ada dalang–realisasi Yang Maha Kuasa, yang mengatur cerita serta
pusaran nasib wayang–, dan sinden serta nayaga yang membuat ilustrasi dramatika
cerita bagi konflik batin dari wayang yang dimainkan teraksentuasikan.
Sekaligus pembabakan seperti itu membuat kita leluasa menarik makna simbolistik
dari fenomena: wayang itu manusia yang harus menjalani peranan seperti apa
skenario yang ditentukan dalang, sekaligus dalang itu Yang Maha Kuasa,
sedangkan para penonton merupakan komunitas yang mengamati dan
mengapresiasi–kita bisa menonton sebagai si sesama manusia dari zona depan
kelir, atau si yang ruhaniah sebangsa jin atau malaikat dari zona dalam, ada di
belakang dalang, bersama sinden dan nayaga.
Dalam pagelaran wayang
golek konstruksi itu tetap ada meskipun faktor kelir, layar pemisah antara dua
dunia sudah tak ada, tapi wilayah yang ditandai batang pisang tempat wayang
dimainkan dalang–setelah gunungan dicabut dan diakhiri pembabakannya ketika
gunungan yang ditegakkan kembali–merupakan wilayah batas di antara (dunia)
manusia dan (dunia) dewani, sekaligus bagaimana semua pihak itu–yang riil
manusia dan si yang rohaniah–menonton, mengapresiasi, serta memaknai lakon yang
disandang oleh wayang terpilih dengan skenario yang diatur dalang.
Fenomena hamparan si
batang pisang untuk menegakkan wayang, (pohon) gunungan yang dicabut, wayang
yang dihadirkan serta ada berinteraksi dengan sesama wayang lain itu wilayah
khusus. Sebuah zona yang disitandai spotlight, sehingga semua mata tertuju
padanya. Peran dari panggung sangat dominan–di sandiwara klasik layar yang
memisahkan si yang menonton dari si yang ditonton senantia hadir, sedangkan teater
modern tak memakai layar meski terkadang masih ada pergantian babak, sedangkan
pentas teater tradisi yang memakai konsep teater arena menempatkan si penonton
di seputar dan di dalam panggung yang melebar. Panggung itu media yang ada
mempertemukan si yang ditonton dan si yang menonton, yang mempertemukan apa-apa
yang diceritakan dengan mengongkritkannya lewat adegan dan tokoh yang
bersiinteraksi sesuai perkembangan cerita dengan si yang datang mengapresiasi
sehingga penonton bisa menarik runtutan utuh cerita, memahami keutuhan pesan
cerita, serta menyimpulkan apa makna yang disampaikan di panggung–sehingga sang
sutradara serta penulis cerita, yang di khazanah wayang terkadang diperankan
oleh seorang dalang, jadi terlupakan.
Terlebih ketika cerita
itu tak dihadirkan dalam konstruksi utuh tiga dimensi manusia dan properti
panggung, atau dua dimensi manusia dan properti riil keseharian dalam ujud film
seluloid atau digital. Ketika panggung yang merupakan satu inisiatif (rekayasa)
sadar perluasan dan pengkongkritan dari dunia artifisial wayang di atas batang
pisang, atau teks lakon menjadi manusia utuh yang menempati ruang khusus serta
kongkrit itu dihilangkan dalam manifestasi seni tutur cerita lisan. Sehingga si
pendengar cerita otomatis ”dipaksa” untuk memunculkan–oleh kebutuhan agar
berkuasa mengerti dan memahami cerita–dan menghadirkan ruang pertemuan serta
dikursus yang diisi pembayangan imajiner dari si tokoh serta lokasi yang sesuai
rangsangan cerita. Ruang subyektif di antara teks cerita dan yang mengapresiasi
penceritaan. Sebuah dunia kanak ketika di sebelum terlelap ibu, ayah, kakek,
nenek, dan siapa saja bercerita di tepi pembaringan. Sebuah dunia rekaan di
ambang lelap yang bisa terbawa ke dalam mimpi.
***
DI empat puluh tahunan
yang lalu, di Bandung, saya mengalami perayaan membaca yang bersipat komunal.
Pertama, ketika ritual syukuran panen, dengan pembacaan cerita lisan seusai
gabah yang telah kering dijemur akan dimasukkan ke dalam lumbung–meski
ceritanya amat baku dan tehnik bercerita yang juga baku. Kedua, saat tradisi
syukuran itu berkurang sebab jenis padi yang ditanam bukan lagi dari padi jenis
asli lokal, yang harus dikemas di dalam kepang segenggam kumpulan malai
bergabah yang sukar rontok, tetapi padi jenis baru yang gampang rontok karenanya
segera dirontokkan lantas dijemur dalam ujud bulir-bulir lepas–yang kemudian
dikemas dalam karung. Lumbung padi kehilangan fungsi. Pencerita lisan klasik
kehilangan pasar. Tapi ledakan buku hiburan bahasa Sunda, yang biasanya berseri
sampai 10-20 jilid itu, menghasilkan anomali komunitas perayaan membaca yang
serupa–di teras ketika petang dengan semua anggota keluarga menyimak pembacaan
buku itu oleh seorang anggota keluarga. Meski monoton, tanpa intonasi serta
jeda, tapi semua konsentrasi dan menyimak cerita yang disampaikan penulis lewat
mulut si pembaca. Momentum yang asyik yang selalu diperlihatkan oleh
tetangga–saat itu saya sudah masuk zona membaca serta asyik membaca buku apa
saja sendirian.
Tapi perayaan membaca
semacam itu amat menarik, dan selalu mengingatkan pada masa oralitas cerita
dari masa kanak-kanak yang intim dan intens dengan orang tua–saya memiliki
malam yang asyik, ketika menjelang lelap ibu atau bapak mendongeng, bahkan
melisankan cerita klasik yang dihiasi tembang dari buku dan kemudian
buku-bukunya itu ditertemukan di lemari. Jauh sebelum saya mengenal tradisi
reading naskah, ketika suatu kelompok teater sedang ada mempersiapkan satu
pementasan, atau perfoming baca puisi ataupun baca cerpen.. Meski ujud
konstruksi panggung, ikon antara si yang menceritakan kisah dengan fokus
seorang tokoh–simbolik wayang atau riil manusia rekaan–dengan si yang menyimak
cerita, yang menyimpulkan makna dari lelaku sadar apresiasi dan resepsi itu
menghilang dan/atau sengaja dihilangkan. Dalam membaca buku–sisi lebih jauh
dari menyimak oralitas suatu perayaan pembacaan buku–dunia antara itu sama
sekali hilang, tak dihadirkan secara kongkrit. Tidak ada si yang membacakan dan
tidak ada pihak yang mendengarkan, semua itu kini dilakukan sendiri dengan teks
yang bisu dan penulis yang tak pernah ramah menampakkan diri–tidak peduli
biografinya selalu disertakan di buku. Sekaligus membaca buku itu (kini)
membutuhkan kesepekatan: bahwa pengetahuan dari si yang menulis buku dan si
yang membaca buku itu seimbang serta sebanding, sehingga ketika si penulis
menceritakan A maka spontan si pembaca telah ada dan siap mempunyai pengetahuan
tentang A–yang kadang tidak pernah ada dijelaskan si penulis buku.
Dunia panggung, zona
tempat apa yang diceritakan dihadirkan oleh si penulis buku untuk yang membaca
buku tetap ada meski kini agak bergeser semakin subyektif di dalam angan dan
benak si pembaca buku–di mana semua yang biasanya telah dikonstruksi si dalang
dalam pentas wayang atau sutradara dalam pentas drama harus direkonstruksi
secara personal.
Semua kecamuk cerita
itu–atau paparan argumentatif atau wewaler filosifis–hanya ada di benak si
pembaca, sangat tak lengkap dan blank sehingga si pembaca harus kreatif
melengkapi semua tuturan serta narasi si penulis buku secara subyektif–sebagai
inisiatif personal. Dunia pemaknaan dari yang diceritakan tidak lagi bersitumpu
pada cerita yang dikongkritkan di panggung, tapi yang kuasa dibayangkan dan
dilengkapi di dalam benak –sehingga butuh banyak wawasan untuk
mengkongkritkannya. Semuanya jadi personal, dan tidak heran kalau kita sering
kesulitan menentukan: di mana posisi kita sebagai yang membaca buku di depan
yang menulis buku, yang menghadirkan tokoh yang aneh dalam serangkai peristiwa
asing dengan lokasi nun tidak bisa dikenali. Aneh. Tidak tertangkap oleh daya
imajinasi dan lanturan fantasi, karenanya tak bisa diterima oleh
pembayangan–tapi keanehan wayang kulit serta film kartun bisa aman diterima
sebagai dunia alternatif. Itu barangkali akibat dari hilangnya tampilan riil panggung
yang manusiawi tiga dimensi atau simbolistika dua dimensi. Ternyata kita butuh
sesuatu yang disepakati bersama, dan bukan melulu hanya subyektif dikonstruksi
teramat personal–bahkan meski dengan sadar membebaskan energi rekonstruksi dari
pembacaan sambil mematikan sang penulis seperti yang disarankan oleh Roland
Barthes.
***
ITU sisi ekstrim dari
penceritaan, saat pencerita yang kini menulis teks membiarkan si pembaca
membangun “panggung” pembayangan cerita secara subyektif, di mana dari titik
itu mereka kuasa melakukan penafsiran dan pemaknaan personal. Celakanya, bandul
ekstrimitas itu belum juga berhenti–kini mereka melangkah lebih ekstrim lagi.
Bukan lagi cerita tidak ”berpanggung” lengkap yang dihadirkan bagi para
pembacanya, tapi justru si pembaca itu yang ditarik dan dihadirkan di dalam
cerita–bahkan cerita yang hanya terjadi dalam benak si tokoh dan bukan di
panggung kehidupan. Mungkin orang biasa menyebut itu sebagai genre novel ”arus
kesadaran”, mungkin juga ”monolog interior”. Tetapi ada yang riil dan ada yang
tidak riil, fakta riil dan lintasan imajinasi si tokoh hadir serta harus dibaca
dan dimaknai langsung oleh si pembaca. Kita bisa melihat itu di dalam novel
Putu Wijaya, Telegram–apa yang sedang terjadi dan yang telah usai di masa lalu berkelindan
dengan yang diangankan dan tidak ada pernah terjadi di masa lalu, masa kini
serta nanti, diaduk-aduk dalam satu paragraf, sesuatu yang membuat Budi Darma
kebingungan lantas berkesimpulan: apa yang dianggap sebagai tokoh oleh Putu
Wijaya itu tidak pernah utuh sebagai tokoh esa dari awal sampai akhir, sebab
bisa jadi yang ini di sini dan si itu di situ. Inkonsisten. Selalu
imikri–mulah-malih berubah-berganti.
Tapi masalahnya bukan
bagaimana tokoh itu harus tetap konsekuen–sesuai tuntutan penokohan klasik–tapi
bagaimana tokoh itu mengalami satu kejadian serta berpindah ke peristiwa lain
dengan konsekuensi ia harus memakai kostum serta karakter yang berbeda. Tidak
ada yang linear ada berawal serta pasti berakhir–semua pusaran dari hal-hal
yang fragmentaristik dan bermakna sebagai episode. Dan semua itu terjadi serta
hadir sebagai cerita yang terjadi di dalam benak si tokoh. Dan Suwung adalah
cerita yang terjadi dalam benak seorang Ra Hasti Dewantari. Seorang anak di
luar nikah dari wanita pribumi yang diperkosa oleh bajingan/brandalan berkulit
putih di Surabaya, sehingga eksistensi sebagai si berdarah campuran membuatnya
diolok-olok warga pribuminya, ia terasing dan karena itu terpaksa dibawa
mengungsi oleh pamannya ke pedalaman Jawa–yang justru karena aktivitas
politiknya membuat ia harus menjauhi wilayah yang dikontrol oleh administrasi
polisi kolonial Belanda. Dengan teman seide pamannya Ra Hasti Dewantari ”babat
alas”, mendirikan kampung yang selalu bersiap siaga menunggu munculnya
mata-mata Belanda atau pasukan Belanda yang masih terus memburu mereka. Menetap
serta bersembunyi di enclave yang entah ada di mana di antara Babat-Jombang,
atau Bojonegoro-Nganjuk, di sebuah kampung (rekaan) terpencil di tepi sungai
yang masih kental diselimuti alam gaib, tapi segera menjadi kampung suwung yang
ditinggalkan penduduknya karena pembukaan jalur jalan baru oleh si pemerintah
kolonial Belanda–yang menghubungkan jalur tengah Jawa antara
Lamongan-Bojonegoro-Ngawi atau Blora dengan jalur selatan Jawa di antara Surabaya-Jombang-Madiun,
melengkapi jalur Jombang-Malang, Nganjuk-Kediri-Blitar, dan seterusnya. Kolone
itu menghasilkan satu kampung baru di tepi jalan baru di bawah kampung lama,
dan menjadi pusat kehidupan yang lebih ramai dari kampung lama yang semakin suwung–yang
dipilih oleh paman Ra Hasti Dewantari sebab merupakan buronan politik kolonial.
Kemudian Ra Hasti
Dewantari menikah dengan si pelaut seberang, yang kapalnya kandas dan kehabisan
bekal, lego jangkar di lepas pantai utara pesisir Jawa, yang ketika merintis
mencari bekal di kampung lewat muara sungai ia memasuki alam siluman yang
membuatnya pontang-panting lari. Terus berlari di hutan sampai tersesat ke
kampung Ra Hasti Dewantari. Kematian si paman, pengalaman traumatis kelaparan
serta luka berburu si paman (= phobia akan warna merah yang menghantuinya di
seumur hidup), kampung yang makin suwung akibat keberadaan kampung baru,
perkawinan yang diiringi kesulitan ekonomi yang membuat si suami memilih
kembali ke tanah asal buat berniaga atau hanya mencari (modal) warisan di
sebarang–dengan meninggalkan si Ra Hasti Dewantari yang sedang hamil–membuatnya
tidak bisa menjejak di kenyataan riil dan memaksanya lari ke dalam angan-angan.
Kondisi traumatik di antara bahagia punya anak, kesulitan ekonomi yang memuncak
dan kerinduan pada suami yang jauh dan tidak pernah bersikirim kabar membuat Ra
Hasti tak hidup dengan fakta dan berada di alam riil, membuatnya memilih suwung
(= kosong) dengan bersibuk dengan angan-angan, sehingga mengalami kejadian
riil, peristiwa imajiner, dan lanturan mistik secara tumpang tinding tanpa (ia)
kuasa untuk memilah-milah dan membedakan. Ia bukan si subyek yang terbuka pada
segala obyek di luar dirinya, tapi menjadi si obyek yang gelagapan menerima
serbuan banjir (subyek) hal-hal yang riil, hal-hal yang imajiner dan fantastis,
lanturan alam bawah sadar dan tonjokan dari alam gaib. Gelagapan serta
dipenjarakan oleh penampakan obyek yang jadi subyek–bahkan Subyek dengan S
besar.
Seiring dengan itu semua
kejadian dan peristiwa berhenti di momen saat melahirkan dan punya anak,
setelah itu ia berada di antara terkelucak punya anak dan membayangkan hidup
yang berbeda–bahkan ia disergap bayangan kehadiran manusia gaib serta kejadian
mistis. Waktu telah berhenti, kesadarannya tidak menjejak dan dibimbing oleh
kenyataan riil, malahan kini terbuka kepada apa-apa yang tampak, apa-apa yang
dibayangkan serta diangankan, dan apa-apa yang terlahir dari alam gaib dimensi
lain. Ketiganya memsibaur, sementara kenyataan tetap berjalan seperti apa adanya,
dan karena itu Ra Hasti Dewantari jadi terasing dari realitas karena
kesadarannya telah diblokir dari kenyataan yang bergulir sesuai perubahan
waktu. Kesadaran terhenti di momen kampung suwung, dan ia tak bisa menerima
bahwa kampung sudah tak suwung lagi. Ia juga tak menyadari kalau suaminya telah
pulang karena yang ia tahu: suaminya tak ada di rumah–dan lelaki yang kemudian
tertangkap ada di rumah adalah si orang lain yang selamanya dianggap orang
lain, seperti ia membayangkan dan percaya Natalia itu hilang, seperti ia juga
membayangkan dirinya menjadi orang lain tak peduli ketika menjadi orang lain
itu ia diganggu oleh penampakan manusia lain dari alam gaib. Ia terus bermain
peran, sambil dipaksa buat mengempatinya dengan sangat bersungguh-sungguh sehingga
(kesadaran) suwung tidak bisa jejak di alam nyata–seperti yang dengan lantang
diteriakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam sajak ”Herman”. Lepas dari
apresiasi kalau semuanya (kenyataan) itu berjalan sesuai kodratnya Ra Hasti
Dewantari memilih tak ingat apa-apa dengan selalu ingin melupakan segalanya.
Salto mortale ke dalam angan-angan.
Suwung ini bercerita
tentang apa yang terjadi di dalam benak dari si seseorang yang memutuskan untuk
memunggungi kenyataan karena beban hidup yang mengelucaknya–sekaligus ia
menghayati angan sebagai kebenaran, tak peduli ketenangan angan itu selalu
diintervensi oleh alam gaib. Satu saat ia disadarkan oleh kenyataan: suaminya
meninggal, anaknya (Natalia) sukses berkarier, dan harta peninggalan suaminya
melimpah. Tapi apa itu suatu kebenaran? Tapi apa itu riil? Ra Hasti Dewantari
tak bisa memastikannya–dan karenanya ia memilih untuk melupakan semuanya. Untuk
kembali ke rumah sakit, untuk kembali ke ketenangan artifisial dari perawatan.
Sejarah personal Ra Hasti Dewantari itu telah selesai, dan tidak seorangpun
yang tahu bahwa ia menyelesaikannya dengan lari ke dalam labirin
angan-angan–meski tak nekad lari ke dalam kegelapan kematian. Tapi apa bedanya?
Sekaligus apa yang dilakukan Negara untuk membendung upaya pembunuhan ide dan
nyawa dari yang kesulitan ekonomi di tengah kemiskinan yang mengelucakkan
rakyat kecil di pedalaman? Apa Negara selalu memilih absen–Suwung bercerita
tentang masa kolonial serta di masa pasca kolonial yang melahirkan kemakmuran
di dalam ujud pembangunan yang merubah raut fisik lokasi–pada setiap persoalan
eksistensial si rakyat kecil karena ihwal mereka itu dianggap terlalu sepele
dan hanya menyita waktu untuk ria menunjukkan mercu suar citra kepemimpinan
gemilang suatu rezim? Tidak ada jawaban, meski rentetan pertanyaan akan terus
memanjang dengan titik tolak dari penggambaran si seseorang menjadi stress dan
suwung oleh cekaman kemiskinan yang tak tertahankan dan tak tertanggungkan. Di
titik itu arti (kilasan samar) sosio-politik dari Suwung yang amat personal
ini.
***
http://sastra-indonesia.com/2011/12/panggung-penceritaan-suwung/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire