http://pustakapujangga.com/?p=482
Affandi Koesoema lahir di Cirebon, Jawa Barat 1907 – meninggal di Yogyakarta 23 Mei 1990 adalah Maestro Seni Lukis Indonesia. Terkenal di dunia internasional berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Tahun 1950-an, banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa dan Amerika Serikat. Pelukis yang menghasilkan lebih dari dua ribu lukisan. Sebelum melukis menjadi guru juga tukang sobek karcis, pun pembuat reklame bioskop. Tahun 1930-an bergabung kelompok “Lima pelukis Bandung;” Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, Wahdi dan Affandi dipercaya menjabat pimpinan. Memiliki andil besar pada perkembangan seni rupa Tanah Air. 1943 mengadakan pameran tunggal pertama di Gedung Poetera Djakarta, saat berlangsung pendudukan tentara Jepang. Empat Serangkai terdiri Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansyur, memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat). Affandi bertindak pelaksana, S. Soedjojono penanggung jawab. Ketika republik diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta, tembok-tembok ditulisi “Merdeka atau mati!” Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Affandi bertugas membuat poster. Idenya Bung Karno, gambar orang dirantai yang terputus, modelnya pelukis Dullah. Kata-kata di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan ke Chairil, dengan enteng ngomong: “Bung, ayo Bung!” Selesailah poster bersejarah. Pelukis Affandi suka memakai sarung juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto, intuisinya sangat tajam. Meski hidup di jaman yang diidentikkan modern, masih dekat fauna-flora alam semesta. Ketika Affandi persoalkan “Perikebinatangan” 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan masih rendah. Bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, bagian seni rupa), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan rezim Suharto. Dan sampai mendekati ajal menjemputnya, Affandi tetap melukis yang sudah menjadi bagian hidupnya. Dimakamkan dekat museum yang didirikannya.
{dinukil dari http://www.facebook.com/pages/Affandi/52621872358?ref=mf}
I
Aku dengar Affandi dari Cirebon menaiki kereta pedati. Yang ditarik sapi-sapi jantan putih kemerah menuju kota Jogjakarta.
Roda-roda kayu berputar menggilas batuan tanggung, mencelatkan kerikil yang memedaskan mata. Debu-debu menerpa cahaya, semburat gemintang di matanya.
Melalui jalanan aspal tak rata, didorongnya kala melewati bencah tanah sehabis hujan melanda. Tak ada mencium keringatnya, kecuali kekasih tercinta.
Insan bermental baja terus menapaki laluan bersenyum sumringah, girang luar biasa. Seakan mimpinya sudah tertanda, telah dikabarkan alam raya.
Bersamaan keyakinan atas kesenimannya tidak terbantah. Seluruh angin beserta ruang waktu diarungi, merestui tapak-tapak hayati demi warna hidup lebih bermakna.
Sampailah di Jogja bagian utara, di pinggiran kali ada jembatannya. Di sana istirah bersama kekasih, sambil menelaah perjalanan lalu yang melelahkan sekaligus gembira.
Itulah pantulan insan merdeka atas cita-cita, tiada sesal kecuali kebodohan tak lekas tunaikan hajat. Senja pertama memanggil, dirinya masih belum pejamkan mata, merasai kesaksian mulia.
Decak kagum gending-gending purba dan bayang-bayang lakon pewayangan, mengisi pelupuk matanya. Hidupnya tergaris sejelas gairah membuncah, seranting kayu menggarit pasir pesisir, dikala ombak susut sendiri.
Atau lemparan ke tengah samudra ditelan gelombang, demi dihantar menemui relung hatinya. Affandi jenak bersketsa membaca gejala alam menimbang perasaan. Menjajal kemungkinan lama perkiraan nuanse sekitar, mengerubungi ide-ide besarnya.
II
Sebelum jauh, aku kumpulkan lebih dulu pandangan para tokoh atas watak karya kepribadiannya. Dari buku “Affandi 70 Tahun,” disusun Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, terbitan DKJ 1978:
Bila Van Gogh pernah berkata, sebuah lukisan harus menjadi suatu pesta warna dan secara paradoksal membuat lukisan berwarna kusam, Affandi membuat lukisan-lukisan kusam yang penuh “kecerahan”, karya yang mengungkap kesan kemenangan cinta hidup, sekalipun menggambarkan tema “mayat dan tulang-belulang korban Gunung Agung” (Sitor Situmorang).
Kerendah hatiannya “…tidak berani menganggap dirinya seniman, paling-paling hanya pelukis. Bagi Affandi, pengertian seniman lebih tinggi daripada pelukis.” (Ajip Rosidi).
“Kepekaan intuisi inilah kekuatan sebenarnya dari Affandi dalam seluruh lukisan-lukisannya. Suatu tanggapan dari kehidupan, bagi Affandi bukanlah hasil suatu analisa dengan pengertian yang analitis, tapi hasil “tanggapannya” yang langsung secara intuitif.” (Nashar)
“…Sesungguhnya beliau tidak melukis; beliau memberikan dirinya sendiri ke dalam kanvas, dengan tube-tube berisi cat pada tangannya, jarinya berfungsi sebagai kwas…” (Dr. Rodrigo de Andrade)
“Affandi ialah orang yang tak banyak omong. Tapi sebaliknya tentang soal bekerja, saya selalu heran, dari sumber mana di badan dia keluar energi meluap-luap itu” (S. Sudjojono).
“…mungkin dalam hal kesanggupan, Affandi mencapai puncak dalam seni lukis modern, jauh mengatasi yang dapat dicapai sarjana-sarjana dan ahli-ahli ilmu kita, hal itu sebagian juga berkat kebudayaan kita yang lama, terutama kebudayaan Jawa amat kuat tenaga estetiknya.” (S. Takdir Alisjahbana).
“Rasa kemanusiaannya sangat kukuh, syarat mutlak untuk perdamaian” [Canberra, Juni 1977, tanggapan Achdiat K. Mihardja atas penerimaan Hadiah Perdamian Internasional Dagh Hammarshjoel (1977) kepada Affandi].
“Affandi seorang insan yang penuh gairah hidup, cinta manusia sekelilingnya. Dia patut jadi tauladan bagi seniman muda Indonesia, mengenai ketekunannya bekerja, kesetiaannya pada seninya dan komitmentnya begitu total pada seninya” (Mochtar Lubis)
“…Ia tak mengadakan dialog dengan obyek, ia kurang menghormatinya, dirinya sendiri diberinya peranan utama; ia tak buat masalah-masalah dengan obyek, tapi dengan diri sendiri; ia agak egoistis. Egoisme ini mengurangi juga daya epik yang ada pada Affandi.” (Trisno Sumardjo)
III
Membaca lukisan Affandi bertitel “Tapak-Tapak Kaki” tertanda 1978. Tak jauh berbeda menyuntuki karya-karyanya yang lain. Watak penciptaan amat kuat terasa di bidang kanvas.
Goresan jemari tangannya sudah hafal atas jerih payah pencarian kepada obyek sedang digarap. Nalar-nalar pemberontakan dijelmakan pesta warna penuh perhitungan matang, tiada sudut tak bermakna.
Bintik kecil bias ketaksengajaan mencipta takdir tersendiri. Dan penentuan gelap terangnya cat, menggemakan nafas-nafas bayang pengamat.
Energi sebesar itu pantulan kesetiaannya meruhaniahi kesaksian jasadiah. Kelakuan kelas ekspresionis, yang diselusupkan pada persoalan subyektivitas.
Ini membalik sama sedaya. Keluar masuknya pelukis Affandi mengamat-amati tarian jemari, laksana rindunya gelombang berulang-ulang.
Ada sejenis percobaan diulang dengan kehati-hatian, dari jarak telah digenggamnya seperti hukum tertentu kehidupan.
Semisal teringat desiran angin hujan di depan rumah, menjatuhkan kecupan pada daun-daun pengertian.
Atau tumpukan batu-batu apik tertata alami, dari gerakan alam tiada sentuhan insan. Pun aturan manusiawi sudah dibakukan sebagai faham.
Nalarnya keras mencermati tiap benda, membuat hari-harinya tak banyak bicara. Apalagi saat suntuk meleburkan jiwanya berekspresi dalam lautan kanvas bergelora warna.
Kemampuannya melukis dengan garis-garis tegas, memberindingkan bulu-bulu penikmat. Ini persoalan serius seniman, tega bersikap tidak mengsla-mengsle atau pun lembek.
Setiap goresannya menghamburkan suara keras, nada-nada pesakitan bathin perih mencekam sangat. Hantu mencengkeram nasibnya diuntahkan hadir, lantas dipenggal lewat tatapan culas.
Betapa pengalaman pahit nyinyir dipandang sebelah mata sewaktu berproses, membuatnya geram dengan pengendalian purna menyetubuhi ruang-ruang tabah.
Kesabaranlah mematahkan telisik sempit, mata-mata pemerhati memicing sebelah -sebelumnya.
Di atas gairah keyakinan semua diatasi, sedang penjegalan menambah daya. Atau kepincangan keraguan orang pada dirinya, membentuk pribadinya maha mutu lebih dari pesona.
Kemahiran memadukan warna-warna yang sejatinya kontras. Terbacalah Affandi sudah purna sebadan jiwa menyetubuhi cat minyak.
Ini tantangan besar bagi pelukis lain, betapa dirinya mengatur titik kering tertentu dalam hitungan masa perdetik, agar peleburannya mencipta warna matang didamba.
Sunggu berat bagi pelukis pemula atau yang masih berkutat persoalan sempit teknik tetek bengeknya.
Maka tepatlah ungkapan, pengalaman ialah guru terindah. Affandi mencurahkan seluruh kemampuannya dalam setiap finising karya sebelum ditandatangani.
Dan ketakpuasan itu dewa-dewi selalu merayu melukis dan melukis, mengamati, mencermati, mengolah peristiwa yang tampak dijadikan obyek sudah tanak. Atau meleburkan bathinnya, karya berciri khas tersendiri tiada menyepadani.
Affandi seakan mewarisi daya spiritualitas ulama Sunan Gunungjati (1448-1580) dalam berolah rasa. Mungkin sebab sama-sama berangkat dari tanah Jawa Cirebon.
Ada sisi-sisi penolakan. Ruang sepatutnya diterangi cahaya oleh sebuah komposisi warna, ditenggelamkan nuanse gelap sehingga menghadirkan tolak ukur semburat berdimensi ganjil.
Meski tak beraturan, tapi di situlah kekuatannya, segemuruh ruang-waktu berpadu sejiwa dirasa.
Maka tampak melukis jiwa-jiwa benda, ekspresi semena-mena terwujud, sebab mengalami jaman penjajahan.
***
http://sastra-indonesia.com/2010/05/sang-maestro-seni-lukis-ekspresionis-indonesia/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire